Anies Berencana Hadirkan Becak di Jakarta

Koran Sulindo – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berencana mengizinkan beroperasinya becak di ibu kota setelah puluhan tahun dilarang.

Meski begitu, becak tetap tak boleh beroperasi di jalan-jalan utama dan hanya melayani rute di jalanan kampung.

Menurut Anies, keberadaan becak sampai saat ini masih dibutuhkan oleh masyarakat khususnya mereka yang tinggal wilayah perkampungan padat di Jakarta.

“Sekarang itu ada becak, tapi mereka hanya beroperasi di dalam kampung, tidak keluar ke jalan. Nah, kami akan mengatur supaya becak berada tetap dalam kampung tidak becak berada di jalan,” kata Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (15/1).

Anies mencontohkan mereka yang masih setia menggunakan becak adalah ibu-ibu yang berbelanja ke pasar atau warga yang membuka warung di rumah. Becak diperlukan untuk membawa barang belanjaannya dari pasar.

Ia juga menyebut salah satu wilayah di Jakarta yang memiliki populasi becak dalam jumlah besar adalah Jakarta Utara.

“Nanti kami atur agar abang becak beroperasi di rute-rute yang ditentukan. Nantinya menjadi angkutan lingkungan. Kami ingin di kota ini warga yang memang membutuhkan becak, bisa pakai becak,” kata Anies.

“Tapi di sisi lain, kami juga mengatur jangan sampai hadirnya becak justru memperumit masalah lalu lintas. Karena itu, mereka tidak dibuat untuk keluar dari jalur kampung.”

Ia menyebut meski beroperasi di kampung-kampung, becak harus tetap memiliki payung hukum dan berkoordinasi.

Anies mengaku akan segera berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan DKI Jakarta untuk membuat aturannya. Dengan payung hukum diharapkan membuat para penarik becak itu merasa aman dalam menjalankan profesinya.

“Kejar-kejaran sama petugas Satpol PP kami dan tidak memberikan rasa aman pada mereka yang bekerja. Dan dengan begitu, jumlahnya juga bisa terkontrol,” kata Anies.

Berbeda dengan sang gubernur, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menyebut pengoperasian becak akan digunakan untuk menunjang pariwisata Jakarta. Ia mengklaim, beroperasinya becak membuka lapangan pekerjaan baru.

“Jadi, kayak angling, angkutan lingkungan. Nah, untuk memastikan lapangan pekerjaan ada, terus pariwisata, kami sambungkan dengan beberapa destinasi wisata kita. Itu yang jadi pemikiran,” kata Sandiaga.

Pengamat tata kota Nirwono Joga dari Universitas Trisakti menilai rencana Pemprov DKI mengizinkan beroperasinya becak sebagai langkah mundur. Pendekatan itu dianggap tak sesuai dengan semangat mendorong warga ibu kota beralih menggunakan transportasi massal.

Berbagai pertimbangan yang membuat becak tak lagi cocok di ibu kota adalah lebar jalan yang saat ini sudah padat oleh kendaraan.

Bila dipaksakan becak justru membuat menjadi jalan semakin terasa sempit yang ujung-ujungnya memicu kemacetan. “Untuk kondisi sekarang jalan saja tidak cukup, terbukti orang jalan kaki saja susah, sepeda saja sekarang berjibaku,” kata Nirwono seperti dikutip dari tribunews.com.

Selain itu, udara Jakarta yang tercemar polusi jelas bukan lingkungan yang sehat bagi pengendara becak. Apalagi umumnya mereka adalah golongan orang-orang yang sudah berumur.

Menurutnya, becak masih tetap bisa beroperasi selama bukan sebagai alat transportasi namun sebagai angkutan khusus pariwisata seperti di Kota Tua, Monas, Ancol atau TMII. Itupun harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Jika dirunut sejarahnya, keberadaan becak di Jakarta mulai ditemui sebelum era kemerdekaan yakni pada tahun 1936 yang segera membengkak menjadi 3.900 becak di tahun 1942.

Moda transportasi ini mulai ditolak tahun 1967 ketika DPRD-GR Jakarta mengesahkan perda tentang pola dasar dan rencana induk Jakarta 1965-1985 yang salah satu isinya menolak becak sebagai moda transportasi umum.

Di era kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin melalui Perda Nomor 4/1972, becak dianggap bukan sebagai jenis kendaraan yang layak. Tak hanya cuma, oplet juga mendapat penilaian serupa.

Becak baru menghilang secara besar-besaran di era Gubernur Wiyogo Atmodarminto pada awal tahun 90-an. Ia memberlakukan aturan kaku melarang beroperasinya becak. Di masa itu jamak pengendara becak dikejar-kejar olah aparat ketertiban karena dianggap mengganggu lalu lintas.

Sejak saat itu becak pelan-pelan bergeser ke wilayah pinggiran Jakarta dan hanya beroperasi di pemukiman. Tak semua minggir, sebagian besar justru berakhir menjadi rumpon di Teluk Jakarta [TGU]