Angin Kencang Mengembus Menteri Susi

Sulindomedia – Walau merupakan negara kepulauan yang mayoritas penduduknya tinggal di pesisir laut, hanya sedikit orang Indonesia yang tahu siapa nama menteri kelautan dan perikanan. Hingga Susi Pudjiastuti ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Kerja, Oktober 2014.

Sejak didapuk jadi menteri, lulusan SMP itu mengubah kementerian yang baru ada setelah reformasi politik 1999 itu muncul dalam pemberitaan media massa hampir setiap hari. Perempuan setengah abad dengan tato di kaki itu menggoncang birokrasi dengan gayanya yang tegas dan sikapnya yang ngotot soal pencurian ikan oleh negara lain di perairan Indonesia.

“Saya bertanya pada presiden, memilih saya sebagai menteri akan menjadi kontroversi, dan ia menjawab negeri ini butuh ‘orang gila’,” kata Susi kepada Financial Times beberapa waktu lalu.

Si “orang gila” itu kemudian menjadi kesayangan media massa alias media- darling. Lembaga riset Indonesia Indicator dalam rilisnya, medio April lalu, menyatakan Menteri Susi adalah figur perempuan yang paling banyak dikutip media massa, sehingga dapat disebut sebagai perempuan paling berpengaruh saat ini. Jumlah pernyataan Menteri Susi tercatat dikutip hingga sekitar 34.000 kali oleh ratusan media dalam jangka waktu setahun terakhir.

Peran Susi menjadi penting, karena sejak Jokowi dilantik sebagai Presiden RI, restorasi reputasi sejarah Indonesia sebagai kekuatan maritim adalah bagian terpenting dalam reformasi ekonomi pemerintahannya. Dalam Nawa Cita, sembilan program utama pemerintahan Jokowi-JK, pembangunan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia untuk Kesejahteraan Rakyat, butir 1 berbunyi, “Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada semua warga negara…dan memperkuat jati diri sebagai bangsa maritim.”

Presiden Jokowi sendiri juga “sedikit gila” ketika mengklaim illegal fishing membuat Indonesia kehilangan pemasukan sekitar Rp 300 triliun atau US$ 24 miliar per tahun. Studi akademis memperkirakan nilai industri para penyamun itu sekadar US$ 1 miliar hingga US$ 2 miliar per tahun.

Dan “kegilaan” itu makin meledak ketika Susi mulai membakar kapal nelayan asing yang tertangkap mencuri ikan di perairan nusantara. Hingga kini sudah sekitar 5.400 kapal asing berbagai ukuran dibakar.

Susi mengatakan kebijakan yang dilakukan dalam masa kepemimpinannya di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam rangka merombak habis-habisan sektor kelautan dan perikanan tanah air. “Kami sedang melakukan dekonstruksi perikanan Indonesia,” tegasnya.

Ia pun bergeming ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla mengirimkan surat meminta Susi mengevaluasi kebijakan-kebijakannya. Dalam surat tersebut, JK menjabarkan sejumlah akibat dari pemberlakuan kebijakan Susi, diantaranya, tentang moratorium kapal asing, pelarangan transhipment, dan pengaturan sertifikasi kapal. Menurut JK, akibat kebijakan itu hasil produksi pengolahan ikan serta kegiatan ekspor di wilayah Maluku dan Sulawesi Utara menurun. Kabarnya, Presiden Jokowi pun telah meminta Susi mengevaluasi kebijakannya.

Di Ambon, produksi pengolahan ikan hanya 30 persen dari total kapasitas terpasang pabrik. Di Tual bahkan produksi berhenti sama sekali. Dampaknya, pada 2014, sekitar 10.000 orang dirumahkan dari hampir 13.000 orang yang terdata sebagai pekerja di industri pengolahan ikan. Nilai ekspor Provinsi Maluku juga turun dari US$ 173,58 juta tahun 2014 menjadi US$ 44,79 juta tahun 2015.

Menteri Kelautan dan Perikanan pada pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, Rokhmin Dahuri, berpendapat senada dengan JK. Menurut Rokhmin, industri perikanan tangkap Indonesia sekarang ini hancur. “Bukan hanya perusahaan besar tapi juga nelayan kecil. Sentra-sentra kawasan perikanan di Bitung dan Ambon hancur. Bahkan beberapa bulan ini Indonesia sudah mengimpor ikan,” katanya, dalam wawancara khusus dengan Koran Suluh Indonesia.

Rokhmin mengatakan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Menteri Susi hanya mempertimbangkan soal perlindungan kelestarian lingkungan, tapi tidak memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan nelayan. Padahal, dalam pembangunan sektor perikanan terdapat tiga hal yang menjadi tujuan pokok. Yang pertama adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga menyejahterakan nelayan, dan meningkatkan produksi baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor.

Kedua, pembangunan perikanan juga harus bisa mengatasi masalah kesenjangan, tidak menumpuk di segelintir orang. Dan ketiga, untuk kelestarian lingkungan.

Menurut Rokhmin, Menteri Susi hanya melihat poin terakhir saja. Hal itu dia lihat pada beberapa kebijakan yang dikeluarkan Susi, seperti peraturan menteri tentang moratorium kapal bekas asing; peraturan menteri tentang pelarangan alih muatan tengah laut; peraturan menteri tentang penangkapan lobster dan kepiting; serta aturan yang melarang penggunaan pukat hela dan pukat tarik.

Belum lagi ada kenaikan tarif pungutan pajak hasil penangkapan (PHP) yang mencapai 1.000 persen. Kebijakan ini membunuh ribuan nelayan berkapal lebih kecil dari 30 GT. Sekitar 1.000 lebih kapal tak boleh beroperasi lagi. “Saat ini lebih dari 1 juta nelayan dan pembudidaya ikan menganggur, industri pengolahan perikanan terabaikan,” kata Rokhmin.

Bukan hanya angin dari atasannya di kabinet dan luar kabinet yang menghantam Susi. Kabar berhembus ia juga tak disukai para pejabat di kementeriannya. Hampir semua dirjen di bawahnya dicopot dan diganti. “Sejak Susi jadi menteri, sampai sekarang sudah sekitar 400 orang pegawai KKP dicopot atau dipindahkan,” kata seorang pengamat perikanan.

Menurut pengamat yang mengaku tahu banyak seluk-beluk KKP itu, karakter Susi yang ngotot dan tak mau mendengarkan argumentasi, bahkan seilmiah apapun, menyebabkan suasana kerja di kementerian yang pertama kali dibentuk Presiden Abdurahman Wahid itu tak nyaman lagi. Beberapa pejabat mengaku memberikan ide atau konsep, yang lalu dikerjakan Susi tanpa pernah mereka diajak berkomunikasi lagi dengan Bu Menteri.

Beberapa kebijakan Susi sebenarnya juga sudah dilakukan pendahulunya. Pada Oktober 2014, misalnya, KKP membekukan sementara izin 100 kapal di bawah 30 GT yang mencari ikan di Natuna. Kapal berbendera Indonesia itu mempekerjakan tenaga kerja asing.

Sebagai kementerian baru yang dibentuk sebagai hasil reformasi, sebenarnya peletak dasar kebijakan KKP adalah Rokhmin, Menteri KKP pada Kabinet Gotong Royong Megawati. Menteri pertama, Sarwono Kusumaatmaja, keburu lengser bersama makzulnya Presiden Gus Dur.

Di zaman Rokhmin inilah perikanan dan kelautan Indonesia mulai ditata. Penggantinya, Fredy Numberi membuat kebijakan kapal asing tak boleh lagi beroperasi di perairan Indonesia. Mereka boleh mencari ikan di sini, asal melakukan investasi di tanah air. Ikan tangkapan juga harus didaratkan dulu, sehingga ekonomi tumbuh.

Pada masa kepemimpinan Fadel Muhammad dan Cicip Soetardjo, peraturan lebih keras lagi. Fadel membersihkan investor asing yang membikin perusahaan abal-abal di Indonesia sekadar agar memenuhi syarat bisa menangkap ikan. Cicip mengembangkan kapal nasional yang bisa berlayar hingga keluar zona ekonomi ekslusif Indonesia.

Soal ZEE ini, Indonesia sudah menandatangani perjanjian dengan Cina, Thailand, dan Vietnam, pada 2007. Intinya mereka mengakui 200 mil laut di sisi terluar adalah milik Indonesia. Ini sebuah kemenangan sangat penting dari sisi politik.

Masalahnya, Indonesia sampai kini tak punya satu buah pun kapal yang bisa menangkap ikan hingga ke luar kawasan ZEE. Juga, penanaman modal asing masih kecil sekali di sektor perikanan. “Jika ada yang mampu bikin, itu juga orang yang mendukung keuangan Susi ketika mengembangkan perusahaan Susi Airlines,” kata pengamat tadi.

Jadi, meski ikan berlimpah-ruah di lautan kawasan ZEE, tapi tak ada cukup kapal yang untuk menjaringnya. Nelayan juga makin miskin, perusahaan perikanan terpuruk.

Angin yang akan menghantam Susi akan makin keras di depan nanti. Apalagi menurut Konvensi Hukum laut yang berlaku secara internasional, jika negara pemilik ZEE tak mampu melakukan penangkapan ikan, negara-negara lain boleh melakukannya. Jika tak ditangkap, ikan-ikan itu toh akan menerima ajalnya sendiri. [DIS]