Ilustrasi/http://hamimpou.blogspot.co.id

Koran Sulindo – Pendidikan di Indonesia saat ini dalam kondisi memprihatinkan. Meskipun anggaran pendidikan mengalami kenaikan, namun hasilnya tidak sesuai harapan.

“Sistem pendidikan Indonesia sangat carut marut. Anggaran naik, tetapi outputnya kualitas pendidikan justru semakin menurun, banyak anak-anak putus sekolah dan terbentuk geng-geng remaja nakal,” kata Yuliani dari Persatuan Orangtua Peduli Pendidikan (Saranglidi) saat menggelar jumpa pers di Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Selasa (2/5).

Yuliani juga menyoroti adanya otonomi sekolah yang tidak dibarengi dengan pengawasan dari pemerintah baik daerah maupun pusat. Hal ini dipandang sebagai salah satu penyebab timbulnya berbagai kasus korupsi di dunia pendidikan.

Karena itu Yuliani menyerukan pemerintah dan aparat penegak hukum melakukan pencegahan, pemberantasan, serta penegakan hukum dalam kasus-kasus korupsi dan pungli di dunia pendidikan Indonesia.

Pada kesempatan itu Tenti Novari Kurniawati dari Institute of Development and Economic Analysis (IDEA) menegaskan pentingnya tata kelola yang baik dalam pengelolaan dana pendidikan. Adanya alokasi dana pendidikan dalam APBN tahun 2016 sebesar Rp. 419,2 triliun, maka diperlukan tata kelola yang baik agar kualitas pendidikan yang dihasilkan semakin meningkat.

“Minimal 20% APBN di sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD harus digunakan dengan sebaik-baiknya sehingga hak dasar warga negara dalam hal pendidikan dapat dipenuhi tanpa kecuali,” ujarnya.

Sementara itu peneliti PUKAT UGM Zaenur Rochman menekankan perlunya regulasi terkait biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar dan menengah, baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, permen, maupun perda. “Regulasi yang menegaskan bahwa tidak diperbolehkan lagi mengenakan pungutan biaya pendidikan mulai tingkat SD hingga SMA,” katanya.

Tidak boleh lagi adanya pungutan ini, menurut Zaenur, sebagai konsekuensi dari dijalankannya wajib belajar 12 tahun di Indonesia. “Harus ada penegakan dan sanksi yang tegas  terhadap sekolah yang masih melakukan pungutan atau sumbangan yang memaksa,” tuturnya lagi.

Zaenur juga menolak tegas adanya pungutan yang dilegalkan melalui peraturan Permendikbud. Sebab, pungutan tersebut bertentangan dengan UU Sisdiknas, pasal 34 ayat 2 yang menyebutkan pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Selain itu, pungutan pendidikan juga tidak sesuai dengan PP Wajib Belajar, PP Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan, serta Permendikbud Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan pendidikan Dasar.

“Kami juga meminta pemerintah mervisi PP Pendanaan Pendidikan karena pada pasl 51 ayat 4 c bertentangan dengan UU Sisdiknas,” kata Zaenur.

Dosen Mogok Kerja

Sementara itu Para dosen dan Tenaga Pendidikan UPN “Veteran” Yogyakarta yang tergabung dalam Forum Pegawai Tetap Yayasan (PTY) mogok kerja.

“Kami mogok sebagai bentuk protes tidak jelasnya nasib kami setelah 3 tahun penegerian UPN,” ujar Arif Rianto BN, MT, Ketua Forum PTY, Selasa (2/5).

Mogok kerja pada hari Pendidikan Nasional, menurut Arif, dimaksudkan untuk mengingatkan pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo dan Menteri Ristekdikti, bahwa penegerian UPN “Veteran” Yogyakarta sejak tahun 2014 menyisakan masalah kepegawaian yang kompleks. Setidaknya jumlah dosen dan karyawan yang tak jelas nasibnya mencapai 412 orang.

“Status kami tak jelas, kesejahteraan menurun, gaji terlambat, tunjangan kinerja tidak diberikan penuh, dan sekarang uang makan belum bisa diberikan karena alasan status PTY yang tidak jelas itu,” jelas Arif Rianto.

“Ini adalah ironi besar Pendidikan Nasional. Negara tak boleh abai dengan hak warga negara, dan wajib bersikap fair. UPN dinegerikan harusnya pegawainya juga otomatis dinegerikan. Jangan hanya aset PTS yang diambil, tapi SDMnya dibiarkan terlantar,” tambah Arif.

Sementara itu Ketua Dewan Penasihat Forum PTY, Ir. Lestanta Budiman, M.Hum menambahkan, aksi mogok kerja dimaksudkan agar segera ada solusi untuk masalah Kepegawaian PTY.

“Kami mohon maaf kepada Mahasiswa, izinkan kami mogok mengajar, karena pemerintah tidak peduli dengan nasib kami. Kami tak ingin dijadikan tumbal penegerian. Kami cinta UPN  “Veteran” Yogyakarta tapi kami tak ingin jadi korban penegerian,” ujar Lestanta.

Menurut Lestanta, segala upaya juga telah dijalankan seperti mengadu nasib ke DPRD, DPD RI, Menristekdikti, Setkab RI, hingga DPR dan MPR. Toh, belum ada hasil sama sekali. “Karena itu mogok kerja menjadi pilihan sikap kami untuk kembali mengingatkan tanggung jawab pimpinan Universitas dan pemerintah,” tegas Lestanta. [YUK]