Anggaran Pendidikan Harus Tepat Sasaran

Ilustrasi: Suasana belajar di di sebuah sekolah di Tajur Cibinong Jawa Barat/delapanpenjuru.wordpress

Pemerintah telah mengumumkan kenaikan anggaran pendidikan untuk tahun depan menjadi Rp722,6 triliun sebagaimana tercantum dalam RAPBN tahun 2025. Ada kenaikan cukup besar dibandingkan tahun 2024 yang nilainya sebesar Rp665 triliun.

Anggaran pendidikan selama ini ditetapkan sebesar 20 persen dari APBN sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (4) yang memandatkan pemerintah untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Besaran alokasi anggaran pendidikan 20 persen mulai berlaku sejak tahun 2009 sebagai pengeluaran wajib pemerintah (mandatory spending). Dengan alokasi anggaran sebesar itu Indonesia menjadi salah satu negara dengan belanja publik untuk pendidikan terbesar di Asia.

Selama ini pemerintah pusat selalu konsisten menetapkan besaran anggaran pendidikan sesuai konstitusi. Begitu pula di daerah, hampir semua provinsi atau kabupaten/kota menetapkan anggaran pendidikan mencapai 20 persen.

Sebagai negara dengan anggaran pendidikan yang besar Indonesia seharusnya mampu membangun sektor pendidikan sehingga memiliki SDM luarbiasa secara jumlah maupun kualitas.

Masalah pendidikan di Indonesia saat ini

Besarnya anggaran belum tentu dapat meningkatkan kualitas pendidikan karena banyak faktor yang perlu ditangani dengan baik. Salah satu contohnya adalah masalah akses terhadap pendidikan hingga kini masih terkendala.

Akses pendidikan sangat erat berkaitan dengan kondisi ekonomi masyarakat dan tersedianya fasilitas yang mudah dijangkau. Hingga kini pada daerah terpencil dan terisolasi, akses anak untuk bersekolah masih sulit karena keterbatasan infrastruktur transportasi. Begitu pula anak-anak di pulau-pulau kecil dan daerah terpencil kerap dipaksa menempuh perjalanan yang jauh dan sulit untuk mencapai lokasi sekolah.

Hal lain adalah biaya pendidikan anak yang masih tinggi. Meski pemerintah memiliki program wajib belajar tanpa dipungut biaya, namun pengeluaran orang tua untuk buku, seragam, transportasi dan kegiatan sekolah tetap menjadi beban yang terlalu berat bagi keluarga miskin. Akibatnya, banyak anak dari keluarga miskin terpaksa putus sekolah atau bahkan tidak mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023 terdapat 26 persen lebih anak di Indonesia yang tidak dapat mengenyam pendidikan hingga SMA termasuk karena faktor biaya. Partisipasi pendidikan berkorelasi juga dengan angka pengangguran yaitu 22 persen dari total 44,47 juta orang anak muda berusia 15-24 tahun masuk dalam kategori tidak bersekolah, tidak bekerja, juga tidak sedang mengikuti pelatihan.

Sedangkan di tingkat pendidikan tinggi (PT), angka partisipasi kasar penduduk masih rendah. Di tahun 2022, APK ke PT berada di angka 39,37%. Indonesia tertinggal dari beberapa negara ASEAN seperti Malaysia yang mencapai 43%, dan Singapura yang telah mencapai 91%.

Masalah lain adalah pemerataan pendidikan, masih terdapat kesenjangan cukup besar antara pendidikan di kota dan desa. Di perkotaan sekolah-sekolah dilengkapi dengan fasilitas yang memadai, seperti laboratorium, perpustakaan, dan sarana olahraga. Sebaliknya, di pedesaan, fasilitas pendidikan sangat terbatas.

Dalam hal kualitas tenaga pendidik, di perkotaan umumnya lebih baik dibandingkan dengan di pedesaan. Di perkotaan jumlah guru dan kualitas guru cenderung lebih baik dibandingkan di daerah pedesaan atau pedalaman. Hal ini disebabkan ketersediaan guru dan terbatasnya akses guru untuk meningkatkan kualitas melalui pelatihan. Selain itu terkait juga dengan kurangnya kesejahteraan guru di daerah.

Manajemen anggaran pendidikan

Mutu pendidikan dapat meningkat dengan adanya komitmen termasuk penyediaan anggaran yang memadai. Masih banyaknya masalah dalam pendidikan di Indonesia menyiratkan anggaran pendidikan belum memberikan kontribusi maksimal dalam menunjang pelaksanaan pendidikan secara menyeluruh.

Penyediaan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD saat ini sebenarnya cukup besar dibanding dengan negara lain, namun penggunaan anggaran tersebut masih menjadi masalah tersendiri.

Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek), dari alokasi anggaran pendidikan tahun 2024 sebesar Rp665 triliun hanya sebagian kecil yang dikelola Kemdikbudristek yaitu Rp98,99 triliun (14,9%). Sedangkan porsi terbesar anggaran pendidikan adalah transfer ke daerah dan dana desa sebesar 52,1 persen atau sejumlah Rp346,56 triliun.

Anggaran pendidikan juga terpangkas untuk penggunaan lain seperti pendidikan dinas dan alokasi untuk Kementerian Agama (Kemenag) RI, kementerian atau lembaga lainnya sebesar Rp95,16 triliun. Selanjutnya, pembiayaan pendidikan termasuk dana abadi di bidang pendidikan sekitar Rp77 triliun serta belanja non kementerian dan lembaga sebesar Rp47,31 triliun.

Dengan alokasi penggunaan anggaran pendidikan tersebut tentu akan sulit untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Dana pendidikan seharusnya dipakai sebesar-besarnya meningkatkan akses rakyat terhadap pendidikan, pemerataan kualitas pendidikan hingga menjamin kesejahteraan tenaga pendidik.

Anggaran pendidikan harusnya tepat sasaran, terutama ditujukan untuk penyelenggaraan pendidikan di bawah naungan Kemdikbud. Tapi realitanya masih banyak salah sasaran, sehingga ada satuan pendidikan yang tidak berada di bawah pengelolaan Kemdikbud bisa mendapat alokasi anggaran pendidikan tersebut termasuk sekolah kedinasan.

Selama 79 tahun Indonesia merdeka semestinya permasalahan biaya tidak lagi menjadi kendala bagi anak-anak bangsa untuk bisa sekolah. Begitu pula masalah kekurangan guru, minimnya fasilitas hingga anak harus berjalan kaki belasan kilometer harusnya hanya cerita masa lalu jaman kakek kita dulu. Memajukan pendidikan di Indonesia membutuhkan komitmen dari pemerintah, terutama dari pemimpin baru yang akan menjabat Oktober nanti. [DES]