Koran Sulindo – Tentu sidang pembaca pernah mendengar kata anemia. Anemia berasal dari bahasa Yunani, anaimia, yang artinya kekurangan darah, Dalam khasanah medik, anemia menunjukkan kondisi tubuh manusia dalam keadaan jumlah hemoglobin atau protein pembawa oksigen dalam sel darah merah berada di bawah normal. Sel darah merah mengandung hemoglobin yang memungkinkan mereka mengangkut oksigen dari paru-paru menuju jantung, lantas mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh.
Anemia adalah penyakit darah yang sering ditemukan. Beberapa anemia memiliki penyakit dasarnya. Anemia bisa diklasifikasikan berdasarkan bentuk atau morfologi sel darah merah, etiologi yang mendasari, dan penampakan klinis. Penyebab anemia yang paling sering adalah perdarahan yang berlebihan, rusaknya sel darah merah secara berlebihan (hemolisis) atau kekurangan pembentukan sel darah merah ( hematopoiesis yang tidak efektif).
Persis seperti itulah yang dialami dunia politik Indonesia hari-hari ini: mengalami anemia politik yang mendekati akut. Penyebabnya, tak lain tak bukan, karena kita mengalami defisit kualitas hemoglobin sistem politik– yang bernama politisi. Sumber defisit kualitas politisi itu sejatinya berakar jauh dari leburnya etika politik dalam kehidupan perpolitikan.
Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda dan terpisah. Etika politik seakan menjadi tidak relevan dalam situasi masa kini. Padahal, relevansi etika politik justru terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan segala bentuk kekuatan yang menghalalkan cara itu untuk kemudian mengatur kembali kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.
Persoalan transaksi jangka pendek dalam praktik politik juga merupakan salah satu persoalan serius di era reformasi. Ketidaksanggupan suatu kelompok politik menyelenggarakan kebaikan publik, mestinya tak dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan tawar-menawar berdasarkan materi (atau yang dikenal luas sebagai money politics) antar-politisi.
Reformasi memang telah membawa beberapa kemajuan dalam bidang politik. Pemilu yang relatif jurdil, kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat, merupakan beberapa catatan positif era reformasi. Tapi, itu semua masih harus disempurnakan. Berpolitik tidaklah semata-mata seni mengatur kekuasaan negara; berpolitik juga merupakan seni untuk memperbaharui.
Etik berdemokrasi dan berpolitik merupakan sesuatu yang mutlak. Paul Ricoeur, salah seorang filsuf Perancis kenamaan abad 20. Ricoeur menyatakan, tujuan etika politik adalah mengarahkan kehidupan yang lebih baik, secara bersama-sama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang menjamin keadilan masyarakat.
Definisi etika politik itu, dengan demikian, menjadi semacam alat bantu untuk mengenali berbagai korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika dan perilaku individual dalam bernegara. Atas dasar itu, pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan. Pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain, terutama yang terpinggirkan; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan, dan ketiga, membangun institusi-institusi yang yang menjamin terwujudnya keadilan.
Ketiga tuntutan itu saling terkait. Dalam pandangan Ricoeur, hidup baik bersama dan untuk orang lain, terutama untuk mereka yang tersisih, tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Di sisi lain, hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Sementara itu, institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warga-negara atau kelompok-kelompok dari tindakan saling merugikan.
Sebaliknya, kebebasan warga-negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini mencakup beberapa syarat fisik, sosial, dan politik yang diperlukan demi pelaksanaan kongkret kebebasan, democratic liberties, seperti: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya. Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual semata, tetapi terkait langsung dengan apa yang diistilahkannya sebagai “tindakan kolektif” (etika sosial-politik).
Dalam etika individual, jika orang mempunyai pandangan tertentu dapat secara langsung diwujudkan dalam tindakan. Sementara dalam etika politik, yang juga merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga-negara lain, karena menyangkut tindakan kolektif. Karena itu, hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif membutuhkan semacam penghubung atau perantara.
Perantara berfungsi untuk menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu sendiri dapat mengambil berbagai bentuk simbol maupun nilai-nilai, seperti: agama, demokrasi, nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itulah seorang politisi yang memahami etika akan berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warga-negara agar menerima pandangannya, sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Dari sisi ini, maka politik disebut sebagai seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui kecanggihan menyusun argumentasi dan memiliki daya persuasi. Dengan demikian, tindakan manipulasi, kebohongan, apalagi kekerasan, sepenuhnya berada di luar nilai etika politik.
Politisi yang beretika adalah mereka yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, dan memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum. Ini berarti bahwa politisi yang menjalankan etika adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral.
Tuntutan etika dan moralitas itu tampaknya terlalu mewah bagi dunia politik Indonesia hari-hari ini. Tapi yakinlah, jika kita gagal memenuhi hal itu, anemia politik akan terus menjangkiti negeri ini. [Imran Hasibuan]