Koran Sulindo – Meningkatnya popularitas kampanye #2019GantiPresiden di media sosial yang menentang pencalonan kembali Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo pada pemilihan presiden (pilpres) tahun depan memperoleh reaksi dari pendukung Jokowi dan kepolisian.
Beberapa kampanye gerakan ini yang diadakan di Pekanbaru, Riau dan Surabaya, Jawa Timur, digagalkan oleh pendukung Jokowi, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur, dan Badan Intelijen Negara Daerah (BINDA). Akibatnya lembaga keamanan negara dituduh tidak netral.
Aksi pendukung Jokowi tersebut menunjukkan bahwa kubu Jokowi mulai merasa terancam dengan kemungkinan bahwa kampanye ini bisa mencegah Jokowi terpilih tahun depan.
Sejak diluncurkan pada Maret 2018, gerakan ini telah meluas dan siap untuk mengubah peta politik dukungan di tingkat akar rumput menjelang pemilihan presiden 2019.
Dengan demikian, memahami gerakan #2019GantiPresiden menjadi penting karena bisa saja gerakan tersebut mempengaruhi hasil pilpres tahun depan.
Apa itu #2019GantiPresiden?
Mardani Ali Sera, politikus dari partai oposisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menginisiasi gerakan #2019GantiPresiden melalui serentetan cuitan di Twitter pada Maret 2018. Motifnya adalah untuk mencari sosok alternatif selain Jokowi.
Gerakan ini juga dibentuk untuk melawan kampanye “Jokowi Dua Periode” yang terlebih dahulu dideklarasikan oleh sebuah kelompok relawan yang mendukung pencalonan Jokowi. Kelompok yang dikenal sebagai Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi ini memainkan peran penting dalam menentukan kemenangan Jokowi saat pilpres 2014.
Kampanye #2019GantiPresiden telah memperoleh dukungan dari partai-partai oposisi –Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto akan bersaing kembali dengan Jokowi dalam meraih kursi kepresidenan dalam pilpres 17 April 2019.
Dengan kembalinya Prabowo untuk berlaga di pilpres 2019, #2019GantiPresiden memberikan dukungannya kepada Prabowo.
Selain dukungan dari partai-partai politik, gerakan ini juga memperoleh dukungan finansial dari berbagai sumber. Gerakan tersebut telah menerima Rp40 juta (US$2,733) dari Neno Warisman, seorang mantan penyanyi yang kini menjadi politikus, dan kontribusi finansial dari simpatisan lainnya. Neno yang juga merupakan anggota PKS, telah menjadi seorang yang vokal di balik kampanye #2019GantiPresiden. Ia telah bepergian ke berbagai daerah di Indonesia untuk mempromosikan gerakan tersebut.
Strategi dan Dampak #2019GantiPresiden
Para aktivis di balik kampanye #2019GantiPresiden telah meluncurkan berbagai strategi yang terorganisasi dan terstruktur untuk mengkritik pemerintahan Jokowi.
Mereka telah menggunakan isu agama dan ekonomi untuk menyerang Jokowi. Sebagai contoh, mereka menuduh Jokowi atas pembiaran terhadap penganiayaan ulama, diskriminasi terhadap Muslim, dan kenaikan harga bahan pokok.
Strategi lain melibatkan musik. Johny Alang sebagai komposer musik telah menciptakan tembang #2019GantiPresiden. Proses produksi lagu tersebut melibatkan beberapa politikus dari partai-partai politik oposisi. Simpatisan #2019GantiPresiden menyanyikan lagu ini secara lantang pada saat mereka berdemonstrasi.
Strategi lainnya adalah penggunaan platform media sosial. Melalui media sosial, para pendukung #2019GantiPresiden menyebarluaskan gambaran dan ilustrasi yang secara khusus menyerang kebijakan pemerintahan petahana. Secara bersamaan, mereka juga mempromosikan konten-konten yang dapat meningkatkan popularitas Prabowo.
Sementara keefektifan dari strategi-strategi yang digunakan oleh gerakan #2019GantiPresiden belum dapat dibuktikan, sebuah perusahaan “big data” Drone Emprit menemukan bahwa gerakan ini berhasil menarik lebih banyak perhatian pengguna media sosial dibandingkan kampanye Jokowi.
Para aktivis #2019GantiPresiden di tingkat nasional dan daerah telah melaksanakan pertemuan massal di berbagai daerah di Indonesia. Pertemuan pertama telah diadakan di Solo, Jawa Tengah. Beberapa minggu setelahnya, pertemuan massal diadakan di luar Pulau Jawa, termasuk Medan, Sumatra Utara; Makassar, Sulawesi Selatan; dan Batam, Kepulauan Riau.
Temuan terbaru saya menunjukkan bahwa keberhasilan pertemuan yang dilaksanakan di Batam disebabkan oleh kolaborasi yang solid antara aktivis #2019GantiPresiden dengan seorang ulama lokal di Batam.
Kesuksesan pertemuan #2019GantiPresiden juga terjadi di Medan dan Makassar. Hal ini juga disebabkan adanya kerja sama yang kuat antara beberapa politikus dari Gerindra, PAN, dan PKS dengan pemimpin-pemimpin di tingkat lokal.
Reaksi dari Kubu Jokowi
Berbeda dengan gerakan #2019GantiPresiden, kubu Jokowi terlihat lebih pasif. Sekretariat Nasional Jokowi mengumumkan kampanye #Jokowi2Periode pada Februari 2018. Kendati demikian, belum terdapat gerakan pada tingkat akar rumput untuk mempromosikan kampanye tersebut.
Selain promosi aktif yang dilakukan di media sosial, kampanye dari kubu Jokowi tidak memiliki koordinasi yang baik dan tidak seefektif #2019GantiPresiden. Selain #Jokowi2Periode, kubu Jokowi juga membuat berbagai hashtag, seperti #2019TetapJokowi, #DiaSibukKerja, dan #JokowiTetapPresiden2019. Hal ini menunjukkan inkonsistensi dalam penyampaian pesan politik kepada publik.
Pendukung Jokowi juga tidak memiliki dukungan politik yang substantif dari partai-partai politik. Partai Golkar adalah satu-satunya partai politik yang telah membentuk sebuah kelompok berbasis relawan untuk pemenangan pencalonan Jokowi. Mereka menamakannya Relawan Golkar-Jokowi (Relawan GoJo).
Pada mulanya, Jokowi memandang remeh gerakan #2019GantiPresiden. Dalam sebuah pidato yang berapi-api, ia menyampaikan bahwa kampanye yang kotor tersebut tidak cukup kuat untuk mengalahkannya.
Namun, saat gerakan #2019GantiPresiden semakin meluas, kubu Jokowi memulai menggelar pertemuan-pertemuan tandingan untuk menantang lawannya.
Melalui pertemuan massal tandingan, pendukung Jokowi berhasil menggagalkan kampanye musuh politik mereka di beberapa kota. Sebuah pertemuan di Pekanbaru berakhir dengan pengiriman kembali aktivis-aktivis #2019GantiPresiden, termasuk Neno, ke Jakarta.
Pertemuan-pertemuan lainnya berakhir ricuh. Kericuhan yang baru-baru ini terjadi di Surabaya dan Pekanbaru memaksa pihak kepolisian untuk mengintervensi. Polisi menghentikan acara #2019GantiPresiden di beberapa kota atas dasar alasan keamanan.
Pendukung Jokowi dari kalangan perempuan yang membentuk kelompok Emak-Emak Militan Jokowi baru-baru ini mengajukan gugatan melawan gerakan #2019GantiPresiden. Para penggugat berpendapat bahwa kampanye tersebut melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena mengandung ujaran kebencian.
Reaksi-reaksi yang berbeda terhadap kampanye #2019GantiPresiden dari kubu Jokowi menunjukkan tidak adanya strategi-strategi yang komprehensif dari kubu Jokowi. Jika pun ada, strategi mereka terlihat terpecah-pecah.
Pelajaran bagi Pendukung Jokowi
Ketika persaingan antar pendukung dari dua kubu semakin memanas, pendukung Jokowi perlu untuk menenangkan diri. Alih-alih terlibat dalam kekerasan untuk menghentikan kampanye dari pihak lawan, mereka perlu untuk mengkonsolidasikan gerakan mereka dengan cara membangun afiliasi dengan koalisi partai politik pendukung Jokowi dan membentuk narasi publik yang konsisten.
Bagi Jokowi, sebuah strategi yang lebih komprehensif untuk menyeimbangkan pengaruh dari #2019GantiPresiden sangat dibutuhkan. Tanpa strategi tersebut, gerakan #2019GantiPresiden berpotensi untuk mempengaruhi pendukung-pendukung pada tingkat akar rumput agar tidak kembali memilih Jokowi pada pilpres 2019. [Dedi Dinarto; Research Associate with the Indonesia Programme, S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University]. Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia. DAS.