Koran Sulindo – Nanda, begitu ia biasa disapa oleh kerabat dan kawan-kawannya. Nama lengkapnya Ananda Emira Moeis. Perempuan yang lahir pada 17 Oktober 1984 ini adalah sarjana desain lulusan Universitas Trisakti, Jakarta.
Sebagai orang muda yang akrab dengan dunia kesenian, hati nuraninya memang menjadi peka atau sensitif. Nanda tak ingin bangsanya terus tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Ia selalu ingin terlibat dalam berbagai upaya memajukan bangsa Indonesia.
Nanda akhirnya memilih bidang politik sebagai medan pengabdiannya kepada bangsa dan negara. Darah politik memang mengalir kental di tubuhnya.
Ayahnya politisi senior PDI Perjuangan, Izedrik Emir Moeis. Kakeknya juga merupakan tokoh partai politik besutan Bung Karno, Partai Nasional Indonesia (PNI), yang merupakan Kepala Daerah Swatantra Pertama Kalimantan Timur (Kaltim), Inche Abdoel Moeis.
Nanda pun masuk menjadi anggota PDI Perjuangan. Di partai banteng bermoncong putih ini, ia ditugaskan untuk berkiprah di tanah leluhurnya, Kaltim. Nanda pun langsung terjun aktif di Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI Perjuangan Kaltim.
Totalitasnya dalam kerja-kerja politik kepartaian untuk memajukan masyarakat Kaltim membuat Nanda diberi amanah menjadi Sekretaris DPD Kaltim PDI Perjuangan. Amanah tersebut masih ia jalankan sampai sekarang.
Pada Pemilihan Calon Anggota Legislatif (Caleg) 2019 nanti, Ananda Emira Moeis ingin mengabdi lebih jauh lagi di Bumi Etam. Ia ingin berkiprah di parlemen, sebagai Caleg DPRD Provinsi Kaltim dari PDI Perjuangan. Nanda mendapat nomor urut 1, dengan Daerah Pemilihan 1 Kota Samarinda.
Provinsi Kaltim, lanjutnya, tidak bisa lagi dibayangkan seperti 10 tahun yang lalu. “Pada masa itu kan hasil lifting minyak dan gas masih besar dan harganya masih tinggi. Begitu juga batubara. Makanya, penerimaan negara dari komoditas-komoditas itu sangat besar. Dana bagi hasil sumber daya alam sangat tinggi, tertinggi di Indonesia malah. Bahkan, di masyarakat luas sampai muncul persepsi Provinsi Kaltim adalah provinsi terkaya se-Indonesia,” tutur perempuan yang ayahnya dari Banjar dan ibunya dari Jawa ini.
Namun, sekarang, situasi sudah berbalik, akibat berkurangnya volume lifting minyak dan gas serta harganya yang merosot tajam. Hal yang sama terjadi pada batubara.
“Dari penerima dana bagi hasil terbesar, sekarang terpuruk jauh di bawah. APBD provinsi dan kabupaten/kota pun berkurang banyak, bahkan sempat belanja pegawai terganggu dan subsid buat masyarakat kecil berkurang,” ujar Nanda.
Memang, selama lebih dari 30 tahun, Kaltim merupakan provinsi terkaya di Indonesia. Kontribusinya untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara terbesar, dengan mengandalkan sumber daya alam (SDA), terutama dari pertambangan minyak, gas, dan batubara, serta kehutanan.
Selama rentang waktu tahun 1970 sampai 1990, provinsi ini menggantungkan pembangunannya dari sektor kehutanan. Pertumbuhan ekonominya relatif tinggi, 7,42% per tahun.
Waktu sektor kehutanan tak dapat lagi diandalkan, tulang punggung pembangunan Kaltim pada priode 1990 sampai 2000 adalah sektor pertambangan, minyak dan gas (migas), serta industri pengilangan minyak bumi dan gas alam cair. Pertumbuhan ekonominya turun, meski masih terbilang tingg, rata-rata 5,71% per tahun.
Memasuki tahun 2000, penyangga utama pembangunan Kaltim adalah sektor tambang non-migas, yakni batubara. Tapi, tak sampai 20 tahun, sektor pertambangan batubara tak lagi dapat diandalkan oleh Provinsi Kaltim.
Sampai akhir tahun 2015 lalu, misalnya, pertumbuhan ekonomi provinsi tersebut mengalami kontraksi yang cukup dalam, yakni sampai minus 0,85%, lebih rendah dari tahun tahun 2014, yang mencapai 2,02%.
Tahun 2016 kembali terjadi kontraksi, sehingga pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur kembali defisit, minus 0,30%. Namun, pada tahun 2017, Badan Pusat Statistik mencatat, pertumbuhan ekonomi Kaltim tidak lagi negatif, tumbuh 3,13%.
Diperkirakan, pada tahun 2018 ini, pertumbuhannya akan tetap positif. Tapi, tetap saja masih yang paling rendah dibanding provinsi-provinsi lain di Pulau Kalimantan.
Seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) di Kaltim, apa itu aparat negara, pelaku bisnis, maupun masyarakat luas, tambah Nanda, harus berani melakukan diversifikasi pekerjaan.
“Kalau dulu melulu menggeluti bidang migas, pertambangan, dan kehutanan, kini harus berani beralih ke bidang pertanian, perkebunan, kerajinan, parawisata, dan berbagai bidang jasa lainnya. Masyarakat Kaltim harus sudah benar-benar dipersiapkan untuk menggeluti bidang industri jasa. Pendapatan Asli Daerah, PAD, harus bisa ditingkatkan lagi. Saya akan memperjuangkan semua itu untuk kesejahteraan masyarakat Kaltim,” katanya.
Untuk sumber-sumber daya alam yang masih berserakan dan banyak di Kaltim, antara lain batubara, menurut pandangan Nanda, dapat dibangun pembangkit listrik di mulut tambang.
“Dengan begitu tentunya harga listriknya menjadi lebih murah karena tempatnya menjadi satu dengan sumber energi primernya. Energi yang dihasilkan pembangkit itu juga bisa dijual ke Jawa lewat kabel bawah laut, daripada harus menjual dan mengangkut batubaranya ke Jawa,” tutur Ananda Emira Moeis.
Di jalur transmisi kabel listrik itu juga dapat dibangun gardu-gardu induk. “Jadinya, industri-industri yang ada di Kaltim juga dapat membeli energi listrik dari pembangkit listrik mulut tambang itu. Ini akan memberi nilai tambah pada hasil sumberdaya alam Kaltim dan dapat mendatangkan pendapapatan yang sangat besar bagi masyarakat Kaltim,” ujarnya.
Di kawasan pesisir Kaltim pun, tambahnya, nantinya akan banyak bermunculan industri-industri baru, karena adanya jalur transmisi listrik tersebut, sehingga harga listriknya pasti lebih murah daripada di Jawa. “Untuk itu, tugas saya nanti sebagai anggota DPRD adalah membantu dan mendorong Pemerintah Provinsi Kaltim agar mempersiapkan infrastruktur dan sarana-sarana lain untuk mewujudkan target-target program tersebut,” kata Nanda.
Upaya yang tak kalah pentingnya agar program itu dapat diwujudkan adalah menjalin komunikasi yang baik dengan DPR RI dan aparat pemerintah pusat, termasuk Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). “Menjalin hubungan dengan pusat ini diperlukan agar pusat dapat memberikan perhatian lebih ke Kaltim dan ikut membantu mewujudkan gagasan-gagasan ini. Saya juga akan mendorong Pemerintah Provinsi Kaltim dapat lebih berperan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah, Musrembangda, sehingga dukungan dari pusat, Kementerian Keuangan, dan Bappenas benar-benar bisa nyata,” tuturnya.
Akan halnya untuk Kota Samarinda sebagai daerah pemilihannya, Nanda akan memperjuangkan perbaikan drainase dan aliran sungai di ibu kota Provinsi Kaltim tersebut. Dengan demikian, penyakit Kota Samarinda yang bisa dikatakan sudah kronis, sehingga dijuluki Kota Banjir, bisa dihilangkan.
”Masalah utamanya antara lain adalah soal drainase, masalah aliran sungai, yang bolak-balik diperbaiki dan sampai hari ini masih ada yang belum tuntas. Ini harus diperbaiki sampai benar-benar tuntas,” ungkapnya.
Masalah lainnya dari Kota Samarinda adalah masalah air bersih. “Sumber air bersih ini juga di Samarinda masih menjadi masalah. Kebiasaan yang langsung menggunakan air dari Sungai Mahakam sekarang sudah hampir tidak mungkin karena sungainya sudah semakin terpolusi. Karena itu, pekerjaan pembuatan sumber air bersih harus benar-benar diutamakan,” tutur Nanda.
Selain itu, ia juga akan mendorong Pemerintah Provinsi Kaltim dan Pemerintah Kota Samarinda mulai mempersiapkan pengalihan atau perluasan kota ke daerah pinggiran. “Ini bisa menghindari banjir. Juga dapat mengurangi kepadatan dan kekumuhan Kota Samarinda. Karena, daerah pusat atau daerah bawah, yang berdekatan dengan Sungai Mahakam, sudah semakin sempit dan kumuh, sehingga daya dukung alamnya sudah tidak bisa dipaksakan, sebelum terjadinya bencana,” kata Ananda Emira Moeis dengan nada prihatin.
Terkait aliran listrik, fasilitas kesehatan, dan pendidikan di Samarinda, ia menilai, yang sekarang ada harus dipertahankan. “Kalau perlu ditingkatkan,” ujar Nanda. [PUR]