BAGI NANDA, ada dua program utama yang akan ia usung jika menjadi anggota DPRD Provinsi Kaltim. “Pertama: bagaimana memajukan dan membela Provinsi Kaltim. Kedua: bagaimana membela dan memajukan Kota Samarinda. Itu yang akan saya lakukan,” kata Nanda, pertengahan Oktober 2018 lalu.
Provinsi Kaltim, lanjutnya, tidak bisa lagi dibayangkan seperti 10 tahun yang lalu. “Pada masa itu kan hasil lifting minyak dan gas masih besar dan harganya masih tinggi. Begitu juga batubara. Makanya, penerimaan negara dari komoditas-komoditas itu sangat besar. Dana bagi hasil sumber daya alam sangat tinggi, tertinggi di Indonesia malah. Bahkan, di masyarakat luas sampai muncul persepsi Provinsi Kaltim adalah provinsi terkaya se-Indonesia,” tutur perempuan yang ayahnya dari Banjar dan ibunya dari Jawa ini.
Namun, sekarang, situasi sudah berbalik, akibat berkurangnya volume lifting minyak dan gas serta harganya yang merosot tajam. Hal yang sama terjadi pada batubara.
“Dari penerima dana bagi hasil terbesar, sekarang terpuruk jauh di bawah. APBD provinsi dan kabupaten/kota pun berkurang banyak, bahkan sempat belanja pegawai terganggu dan subsid buat masyarakat kecil berkurang,” ujar Nanda.
Memang, selama lebih dari 30 tahun, Kaltim merupakan provinsi terkaya di Indonesia. Kontribusinya untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara terbesar, dengan mengandalkan sumber daya alam (SDA), terutama dari pertambangan minyak, gas, dan batubara, serta kehutanan.
Selama rentang waktu tahun 1970 sampai 1990, provinsi ini menggantungkan pembangunannya dari sektor kehutanan. Pertumbuhan ekonominya relatif tinggi, 7,42% per tahun.
Waktu sektor kehutanan tak dapat lagi diandalkan, tulang punggung pembangunan Kaltim pada priode 1990 sampai 2000 adalah sektor pertambangan, minyak dan gas (migas), serta industri pengilangan minyak bumi dan gas alam cair. Pertumbuhan ekonominya turun, meski masih terbilang tingg, rata-rata 5,71% per tahun.
Memasuki tahun 2000, penyangga utama pembangunan Kaltim adalah sektor tambang non-migas, yakni batubara. Tapi, tak sampai 20 tahun, sektor pertambangan batubara tak lagi dapat diandalkan oleh Provinsi Kaltim.
Sampai akhir tahun 2015 lalu, misalnya, pertumbuhan ekonomi provinsi tersebut mengalami kontraksi yang cukup dalam, yakni sampai minus 0,85%, lebih rendah dari tahun tahun 2014, yang mencapai 2,02%.
Tahun 2016 kembali terjadi kontraksi, sehingga pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur kembali defisit, minus 0,30%. Namun, pada tahun 2017, Badan Pusat Statistik mencatat, pertumbuhan ekonomi Kaltim tidak lagi negatif, tumbuh 3,13%.
Diperkirakan, pada tahun 2018 ini, pertumbuhannya akan tetap positif. Tapi, tetap saja masih yang paling rendah dibanding provinsi-provinsi lain di Pulau Kalimantan.