“Anak Harto”

Ilustrasi: Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya/istimewa

Belakangan ini wabah SRS (sindrom rindu Soeharto) kambuh lagi. Reformasi telah berusia lebih dari 20 tahun, presiden sudah gonta-ganti, dan itu belum mengubah persepsi banyak tentang ”zaman Soeharto”.

Muncul pertanyaan serius: siapa kita sebenarnya? Kita sering bernostalgia mengenang masa lalu yang indah, meratapi masa kini yang susah, dan kurang paham merancang masa depan.
Kita terjebak dalam ”pembabakan zaman/orde” yang divisive. ”Zaman normal” lebih baik daripada setelah merdeka atau lihat Orde Baru yang dulu jaya, dicela, dan kini dipuja lagi.

Entah siapa yang menciptakan istilah ”Orde Baru”. Tetapi, tak lupa dibuat pula identitas ”Orde Lama” sebagai pembanding yang konon lebih buruk dibandingkan dengan Orde Baru.

Jangan lupa, Orde Baru dilahirkan oleh peristiwa ”Gestapu” (Gerakan September 30). Ini mirip dengan ”Gestapo”, dinas intelijen kepolisian Jerman saat Adolf Hitler berkuasa.

Tak sampai lima tahun setelah lahir, sejumlah kalangan dan tokoh sudah mengkritik Orde Baru menyimpang dari cita-citanya. Demokrasi mulai ditinggalkan, pers dan oposisi dibungkam, dan korupsi pun merajalela.

Pemilu-pemilu Orde Baru sejak 1971 mulai direkayasa demi kemenangan Golkar. Rezim Orde Baru memaksakan pula fusi partai tahun 1973 sebagai cara untuk melakukan depolitisasi.

Mungkin Orde Baru dianggap ”sukses” karena Pak Harto lebih memusatkan perhatian pada pembangunan ekonomi. Ironisnya, pembangunan ekonomi inilah yang jadi sumber korupsi.

Korupsi yang gila-gilaan jelas merupakan warisan Orde Baru. Mungkin yang membedakan korupsi yang terjadi saat itu dengan sekarang ini hanya soal metode dan jumlahnya saja.

Kualitas korupsi tetap sama. Kalau di zaman Orde Baru korupsi terjadi di bawah meja, di zaman Orde Reformasi sampai meja-mejanya diangkut sekalian.

Namun, tidak ada yang membedakan antara presiden sejak era Orde Baru sampai sekarang. Mereka kurang peka menangkap aspirasi rakyat, malah cenderung tutup telinga dan mata terhadap kritik dan saran.

Kritik paling pedas terhadap Pak Harto ditujukan oleh Ali Sadikin bersama 49 tokoh yang menerbitkan ”Pernyataan Keprihatinan”. Isinya mengecam pidato Pak Harto dalam Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru, 27 Maret 1980, dan HUT Kopassandha di Cijantung, 16 April 1980.

Petisi 50 terdiri dari beragam tokoh berbagai latar belakang. Jenderal-jenderal purnawirawan, selain Bang Ali, ada Jenderal Besar AH Nasution (mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata) dan Jenderal (Pol) Hoegeng (mantan Kepala Polri).

Politisi-politisi kawakan juga banyak, seperti tokoh Islam Mohammad Natsir, tokoh nasionalis Manai Sophiaan, sampai perempuan pejuang kita, SK Trimurti. Beberapa bekas aktivis perjuangan mahasiswa juga ada, seperti Judilherry Justam (angkatan Malari).

Isi pernyataan keprihatinan ditujukan pada kebiasaan Pak Harto yang tiap sebentar mengidentifikasikan dirinya dengan Pancasila. Jadi, menyerang Pak Harto berarti menyerang Pancasila dan itu subversif.

Begitu marahnya Pak Harto sampai anak Bang Ali dilarang meminjam uang ke bank. Mereka tak bisa datang ke pesta pernikahan jika Pak Harto hadir dalam kenduri tersebut.

Meski Pak Harto banyak kesalahannya, janganlah kita melupakan jasa dia. Lebih penting lagi, jangan kita lupa pada orang-orang di sekitar Pak Harto yang ikut menjerumuskan dia sekaligus memetik keuntungan.

”Anak-anak Harto” (anak-anak hasil didikan Pak Harto) sampai sekarang masih berkeliaran. Dalam bahasa Inggris mereka disebut men for all seasons atau, dalam bahasa Indonesia, petualang musiman.

Dalam bahasa politik mereka disebut ”cognoscenti” atau kelompok ”maha tahu” yang mondar-mandir di pusat-pusat kekuasaan Ibu Kota. Sampai kini mereka masih ada di sekeliling kita menyembunyikan identitas sebagai pengurus partai politik, anggota DPR, pakar dan ilmuwan, bankir dan wartawan, sampai pejabat.

Kelompok ”cognoscenti” cuma mengenal istilah kekuasaan, kekayaan, dan orang-orang peliharaan. Mereka jadi pusat perhatian, sangat menguasai ilmu ”pengibulan”, cepat menyabet kesempatan, dan secepat kilat kabur ke luar negeri menghindari penangkapan.

Mereka cepat berganti rupa, pindah-pindah afiliasi politik, ahli menjadi tukang tadah, dan lihai menyelesaikan aneka masalah. Di masa Orde Baru sebagian jadi menteri, di masa Orde Reformasi jadi anggota DPR, bisa juga jadi pemuka etnis, dan sampai kini dicurigai terlibat korupsi.

Dalam tiga kali pemilu, 1999, 2004, dan 2009, mereka mendanai sekaligus mengotaki partai-partai yang berganti-ganti nama dan ideologi. Dalam rangka menyelamatkan diri, mereka tampil sebagai pengurus olahraga, pembina ini-itu, sampai budayawan.

Mereka tahu persis berapa banyak anggaran pembangunan yang bisa ditilep, berapa harga mark-up proyek, dan berapa pula tarif sogok aparat. Mereka bisa menyelenggarakan korupsi secara solo atau bersama-sama.

Sebagian dari mereka sudah lama menyingkir bahkan ketika Pak Harto tak lagi berkuasa. Sebagian lagi sampai kini masih berkiprah dan kadang Anda bisa lihat mereka di media massa.

Selama sekitar 30 tahun, mereka menjalani peran sebagai anak Harto. Tatkala zaman berubah, mereka cepat-cepat ganti loyalitas kepada Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, SBY dan Joko Widodo.

Sebagian besar dari capres yang sering disebut-sebut media massa dan media sosial juga anak-anak Harto. Mungkinkah era anak Harto segera berakhir? Saya tak tahu jawabannya.