Amnesty International: Elit Memainkan Politik Kebencian

Ilustrasi/istimewa

Koran Sulindo – Amnesty International (AI) menyatakan fenomena global, juga di Indonesia, berkembang para pemimpin dan elit yang memainkan politik kebencian yang melahirkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Politik seperti ini melahirkan pemimpin yang lahir dari retorika kebencian dan menganggap biasa memainkan politik seperti itu.

AI merilis laporan analisis situasi HAM di 159 negara pada tahun 2017. Dalam laporan perkembangan HAM di 159 negara di dunia ini, AI menyatakan, ujaran kebencian dianggap biasa oleh beberapa pemimpin politik dunia.

Menurut AI, pemimpin Mesir, Filipina, Venezuela, China, Rusia, dan Amerika Serikat, merampok hak-hak warga dengan menggunakan seruan kebencian dalam pidatonya.

Presiden AS Donald Trump adalah contoh utama.

“Dalam krisis global yang membuat 21 juta orang mengungsi karena perang dan persekusi, AS menutup pintunya dan menolak membantu sama sekali,” tulis pengantar laporan AI tersebut.

Menurut AI, Trump menyerukan penolakan muslim memasuki AS.

“Aksi Trump membuat pengaruh besar di seluruh dunia. Retorikanya benar-benar diubah menjadi kebijakan AS, dan menyengsarakan jutaan orang-orang lemah dan terpinggirkan,” kata Sekjen Amnesty International, Salil Shetty,  Kamis (22/2/2018) waktu setempat, seperti dikutip newsweek.com.

Di Indonesia, pada Pilkada DKI 2017, pergerakan massa menjatuhkan calon yang dicap menistakan agama sampai berujung penjara.

“Tampak sekali bahwa politik kebencian yang diretorikakan para pemimpin sangat efektif dan bukan mustahil 2018 pas Pilkada, Pileg, dan Pilpres politik kebencian yang sama dengan berbagai penyesuaian,” kata Direktur Eksekutif AI Indonesia, Usman Hamid, di Jakarta, Kamis (22/2/2018), seperti dikutip kompas.com.

Politik kenbencian dengan unsur komunis juga dilakukan aparat negara untuk memenjarakan mereka yang mengkritik pembangunan. Contohnya, kasus petani dan aktivis lingkungan Heri Budiawan atau Budi Pego yang ditahan dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunisme, setelah salah satu spanduk yang digunakan dalam demonstrasi menolak tambang emas di Banyuwangi, Jawa Timur, ditemukan logo Palu Arit.

“Ini bentuk politik kebencian yang disponsori negara, di mana aparatur negara memaksakan kesakralan ideologis,” katanya.

Upaya pemerintah menanggulangi isu kebencian yang terus muncul dalam praktiknya bertindak tidak menghapus retorika kebencian, malahan menekan pihak yang dianggap sebagai sumber pemicu pelaku-pelaku kekerasan atau praktik kebencian.

Dalam kasus penyerangan kantor YLBHI, misalnya, polisi tidak mengusut provokator atau dalang, malahan YLBHI dipaksa untuk tidak melaksanakan seminar yang sebenarnya tak sesuai dengan yang dituduhkan.

“Pendekatannya yang keliru itu. Tujuan benar tapi dalam praktiknya dia malah menyimpang dari standar HAM,” kata Usman.

Tahun Politik Kebencian

Khusus di Indonesia, politik kebencian memang menggunakan sejumlah isu. Isu pertama, tuduhan kebangkitan PKI, seperti yang menimpa LBH Jakarta tadi.

Yang kedua adalah politik kebencian berbasis sentiman agama. AI Indonesia mencatat sebanyak 11 orang divonis bersalah atas tuduhan penistaan atau penghinaan agama selama 2017.

“Mulai kasus Ahok hingga kasus Gafatar,” kata Usman.

Ada pula kebencian yang digunakan untuk menuduh orang sebagai kelompok separatis. Di Papua, misalnya, para penentang yang memprotes kebijakan yang melanggar HAM dituduh mau memisahkan diri dari RI.

Pola yang sama juga digunakan untuk menuduh seseorang anti Pancasila. Terakhir, kebencian digunakan untuk menyasar orang-orang yang memiliki orientasi seksual yang berbeda.

“Terhadap 12 waria yang ada di Aceh, mereka diperlakukan dengan cara yang memalukan, merendahkan martabat mereka, bukan karena mereka mereka melakukan kejahatan, tetapi karena identitas mereka,” katanya.

Meski menilai 2017 sebagai tahun politik kebencian, AI Indonesia menyatakan kondisi HAM Indonesia tidak lebih buruk dari negara lain.

“Kami tidak sedang memberikan peringkat kepada negara tetapi Amnesty mengingatkan kepada seluruh pemerintahan di dunia, termasuk Indonesia, bahwa ada kecenderungan secara global yaitu politik kebencian di mana-mana,” kata Usman. [DAS]