Amina Sabtu Nyaris Tak Terlacak Sejarah

Abdullah Kadir dan Amina Sabtu semasa hidupnya.

Koran Sulindo – “Saat itu upacara 18 Agustus 2016  di Tanjung Mareku. Pada hari itu, Nenek Na diundang . Saya berdiri tepat di samping Nenek Na saat bendera Merah-Putih dinaikkan, saat itu Nenek Na mengeluarkan air matanya. Saya yang di samping Nenek pun ikut terharu dan menangis pada saat itu juga, Kak.”

Demikian Roslan Syamsul Bahri, 26 tahun, menceritakan kenangannya terhadap neneknya, Amina Sabtu, yang biasa disapa sebagai Nenek Na. Pegawai Negeri Sipil di Kota Tidore, Maluku Utara, ini adalah cucu dari neneknya yang meninggal dunia pada 18 Juli 2018 lalu, pada usianya yang ke-91 tahun. Wafat di kampung halamannya, Tajung Mareku, Tidore.

Kalau saja media massa tidak memberitakan meninggalnya, sejarah Indonesia nyaris melupakan perannya. Amina masih berusia 19 tahun ketika itu.

Meski Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada 17 Agustus 1945, tak banyak daerah di belahan timur Indonesia yang berani mengibarkan Merah-Putih. Termasuk di Tidore.

Baru setahun kemudian, tepatnya 18 Agustus 1946, di Tidore berkibar Merah-Putih untuk pertama kalinya. Amina Sabtu terlibat dalam upaya mengibarkan bendera Indonesia itu bersama beberapa pemuda, yang satu di antara adalah sepupunya, Abdullah Kadir. Dan, yang menjahit bendera itu adalah Amina, atas permintaan Abdullah.

Bendera Merah-Putih itu sudah berkibar di Tidore saat fajar belum sepenuhnya bersinar, sekitar pukul 04.00 waktu setempat. Bendera itu diikat di tiang bendera dari bambu nan bersahaja. Lokasinya di Tanjung Mareku, kurang-lebih 500 meter dari rumah Amina.

Di tengah tiang bambu itu diletakkan pula peringatan dalam satu kalimat bernada tegas: “Barangsiapa yang berani menurunkan bendera ini, maka nyawa diganti nyawa”.  Demikianlah beberapa media lokal di Maluku menulis informasi itu saat memberitakan kepulangan Amina ke haribaan Yang Mahapengasih.

Sebenarnya, rencananya, bendera Merah Putih  itu akan dikibarkan oleh para pemuda di Jembatan Residen. Namun, di sana rupanya dijaga ketat oleh tentara Belanda.  Rencana itu pun diurungkan.

Abdullah Kadir akhirnya mencari lokasi pengganti untuk mengibarkan bendera Merah-Putih tersebut. Dipilihlah di pinggir jalan Tanjung Mareku.

Berita pengibaran Bendera Merah Putih di Tanjung Mareku itu dengan cepat tercium tentara Belanda. Mereka marah. Sepasukan tentara Belanda kemudian mendatangi lokasi pengibaran bendera, namun tidak ada yang berani menurunkan bendera Merah Putih yang berkibar itu.

Tentara Belanda pun mencari dan menangkap pemuda-pemuda yang dicurigai sebagai penggerak dan inisiator peristiwa tersebut, termasuk Abdullah Kadir dan Amina. Mereka dibawa ke markas tentara Belanda dan disiksa sampai babak belur. Mereka baru dilepaskan setelah ada intervensi dari pihak Kesultanan Tidore.

Kepada beberapa media, Amina semasa hidupnya menceritakan penderitaannya dia dan Abdullah Kadir sewaktu disiksa di kantor polisi. Penyiksaan itu meninggalkan trauma bagi dirinya selama berapa tahun.

Pengibaran bendera Merah-Putih itu memang sama artinya dengan memproklamasikan Tidore dan Kepulauan Maluku menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru berdiri. Amina sendiri baru belakangan mengetahui di Jawa (Jakarta) sudah diproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Ia mengetahui kisah kabar gembira tersebut dari siaran radio, yang ia dengar sepulangnya dari Ternate.

Namun, ketika Abudllah meminta dibuatkan bendera Merah-Putih, Amina sempat menolak. Ia waswas diketahui tentara Belanda.

“Saya tanya, apakah nanti ada yang marah kalau kita jahit bendera? Dullah bilang, ‘Jahit bendera saja kok dimarahi?’,” kata Amina semasa hidupnya, yang hanya bisa berbicara dalam bahasa Tidore, seperti dikutip dari beberapa media.

Setelah diyakinkan Abdullah, akhirnya timbul keberanian Amina. Masalahnya, di mana hendak dicari kain merah dan kain putih untuk bahan bendera? Di mana pula mencari benang untuk menjahitnya, karena benang pada masa itu merupakan barang langka?

Tetangga-tetangganya pun sudah banyak yang lari ke hutan, takut terhadap tentara-tentara Belanda yang sering berkeliaran. “Saya sendiri di rumah,” tutur Amina.

Kain merah dan kain putih akhirnya bisa ditemukan Amina di rumahnya. Kedua kain itu adalah kain penutup peti penympanan perangkat tari, yang biasanya digunakan untuk upacara tradisi masyarakat Tidore, Salai Jin.

Benangnya? Amina membuat sendiri dari serat daun buah nenas.

Apa yang dilakukan Amina mengingatkan ke apa yang dilakukan Ibu Fatmawati ketika menjahit Sang Saka Merah Putih, yang digunakan dalam upacara pengibaran bendera saat Proklamasi Kemerdekaan di rumah pasangan Bung Karno dan Ibu Fat, Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.

Berjualan Kue dan Rempah

Kepada Koran Suluh Indonesia, Roslan sang cucu menceritakan, Nenek Na setelah Belanda meninggalkan Tidore pada tahun 1949 menjadi pedagang. Beliau menjajakan kue-kue buatannya sendiri. Di sela-sela itu, Nenek Na menjual rempah-rempah di pasar.

“Nenek saya dulu berprofesi sebagai pedagang. Dia mendengar cerita dari radio tentang Proklamasi Kemerdekaan. Dia menjahit bendera di ruang tamu rumahnya,” ungkap Roslan, 26 Juli 2018 lalu.

Amina Sabtu dan Roslan.

Hingga meninggal dunia, Amina  tetap tinggal di kediamannya,  tempat dia menjahit bendera Merah-Putih itu, di RT 08/RW 04 Kelurahan Mareku, Kecamatan Tidore Utara, Kota Tidore. Abdullah Kadir sendiri telah wafat pada tahun 2009 lampau.

“Ketika dia meninggal masih ada tiga orang cucu yang tinggal di rumah dia,” ujar Roslan, seraya menyebutkan lebih dari 20 cucu yang bertalian dengan dia.  Roslan sendiri adalah cucu dari neneknya yang masih saudara Amina. Di mata Roslan, Amina adalah nenek yang baik kepada semua cucunya.

Pada tahun 2009, sejumlah tokoh adat, antara lain Umar Yasin, akhirnya bisa memperjuangkan mewujudkan pembangunan tugu pengibaran bendera itu. “Waktu itu, saya kelas 3 SMP dan waktu itu juga monumen dibuat karena ada pertukaran pemuda yang saat itu datang di kampung. Jadi, itu masuk program kegiatan pertukaran pemuda saat itu juga,” ucap pria kelahiran 23 Maret 1992 ini.

Roslan menjelaskan, setiap 18 Agustus, warga kampungnya merayakan upacara untuk memperingati kejadian itu.  Dan, sejak 2009, upacara itu menjadi lebih meriah karena tugu sudah selesai dibangun. Nenek Na juga kerap diundang  ikut upacara, hanya tidak selalu bisa hadir karena kondisi kesehatannya di usia tua.

Informasi kemerdekaan Republik Indonesia memerlukan waktu setahun untuk sampai ke Bumi Kie Raha. Itulah sebabnya sumber primer seperti berita Antara dan surat kabar yang terbit pada masa itu (1946) luput memberitakan situasi Tidore pada tahun-tahun  pertama kemerdekaan, karena keterbatasan dan sulitnya pendistribusian informasi kala itu.

Bahkan, buku sejarah nasional tidak menyinggung peristiwa tersebut. Mungkin karena, ya, itu tadi: sulitnya mencari sumber primer. Bahkan juga perjuangan kemerdekaan di Maluku Utara hampir bernasib sama.

Buku yang penulis temukan adalah karya M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, yang terbit pertama kali tahun 2010  lampau. Buku ini pun lebih banyak memberikan informasi situasi di Ternate.

Menurut Adnan Amal dalam buku itu, rakyat di Ternate baru mengetahui berita Proklamasi Kemderkaan Indonesia pada awal September 1945. Begitu juga sejumlah pulau lain di Maluku Utara, kecuali Pulau Morotai, karena ada fasilitas radio dan komunikasi peninggalan militer Sekutu. Itu sebabnya, warga Morotai mendengar berita Proklamasi Kemedrekaan Indonesia beberapa hari setelah 17 Agustus 1945. Bahkan, penduduk Morotai juga bisa mendengar pidato Bung  Tomo.

Tokoh  Maluku Utara yang disebut dalam buku itu adalah Arnold Monoutu; M.A. Kamaruddi; Chasan Beosoirae; M.S. Jahir; M. Arsyad Hanafi; Abu Bakar Bachmid, dan; sejumlah tokoh pemuda. Pada masa itu, mereka mengadakan pertemuan dengan Sultan Ternate.

Buku itu juga menyinggung kisah pemberontakan yang dilakukan Yasin Gamsungi dari Gabungan Tentara Indonesia (GATI) di Galela pada Desember 1947. Juga cerita tentang pemberontakan Haji Salahudin pada Februari 1947 di Patani, yang melibatkan 600 perempuan.

Pemberontakan itu bisa dikalahkan tentara Belanda dengan cara yang cukup licik, membujuk tokohnya Haji Saluahudin dengan memakai tangan Sultan Ternate dan kemudian mengeksekusinya. Akan halnya Yasin gugur dalam pertempuran. Yang diceritakan buku ini, Maluku Utara memberikan perlawanan yang cukup keras terhadap niat Belanda menduduki kembali Indonesia.

Sayangnya, informasi tentang perjuangan di Tidore nyaris tidak ada. Hanya disebutkan, Sultan Ternate ketika membujuk Haji Salahudin menyebut akan ditemukan dengan Sultan Tidore Zainal Abidin Syah di istananya. Secara tersirat, pernyataan tersebut merupakan konfirmasi atas posisi Sultan Tidore, sebagai tokoh yang berseberangan dengan Belanda.

Sejarah mencatat, Tidore merupakan daerah di Maluku yang sangat pro-Republik Indonesia. Sultan Tidore Zainal Abidin dalam Konferensi Malino pada tahun 1946 sebetulnya diberikan tiga opsi, yaitu bersama Irian mendirikan negara sendiri, bergabung dengan Negara Serikat Indonesia Timur, atau bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Sultan Zainal Abidin memilih opsi ketiga.

itu Zainal Abidin Syah juga punya peran penting di dalam sejarah perebutan kembali Irian Barat. Ketika Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1956 mengumumkan pembentukan Provinsi Perjuangan Irian Barat, yang ditetapkan sebagai ibu kota provinsi  tersebut untuk sementara adalah Soa-Sio, Tidore.

Keputusan tersebut diambil oleh Presiden Soekarno dengan alasan Papua serta pulau-pulau sekitarnya merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore sejak ratusan tahun lalu. Sultan Zainal Abidin Syah kemudian ditetapkan sebagai Gubernur Sementara Provinsi Perjuangan Irian Barat pada 23 September 1956 di Soa-Sio.Kesadaran Otentik

Menurut Budayawan Maluku Utara dari Komunitas Garasi Genta Sofyan Daud, Amina Sabtu  adalah seorang  perempuan muda hebat pada masanya. Perempan remaja waktu itu umumnya membantu ekonomi keluarga dengan berjualan sayur dan rempah, bumbu dapur. Amina bukan orang yang terlibat organisasi pergerakan nasional.

“Tapi justru karena itu, apa yang dilakukannya adalah kesadaran otentik, kesadaran yang timbul justru ketika situasi yang tidak menentu. Ketika perhubungan dan akses informasi antara Jawa-Ternate dan Tidore sangat minim, dia bersama pemuda seperti Abdullah punya ide dan inisiatif ketika pengaruh Belanda masih sangat kuat dan tentara Jepang masih menduduki dan mengusai wilayah tersebut,” kata Sofyan kepada Suluh Indonesia, 25 Juli 2018.

Sayangnya, peran ini terendap karena dua faktor. Pertama: kurangnya perhatian pemerintah daerah untuk mengungkap sejarahnya sendiri. Kedua: kurang tertariknya para sejarawan, jurnalis, bahkan blogger, untuk menulis sejarah lokal.

Untungnya, menurut Sofyan Daud, ada sekelompok  pemuda di Kelurahaan Mareku, Kecamatan Tidore Utara, yang sekampung dengan Amina dan Abdullah.  Sebagian dari mereka masih bertaut keluarga dan kekerabatan dengan kedua tokoh tersebut. Para pemuda ini berinisiatif menghormati jasa keduanya dengan menggelar upacara Agustusan setiap tanggal 18, tanggal bendera buah tangan Amina dikibarkan oleh Abdullah  dan kawan-kawan di Tanjung Mareku.

“Para pemuda kemudian mendesak Pemerintah Kota Tidore mendirikan monumen kecil di sana. Upacara tersebut masih terus dilaksanakan sampai sekarang. Setelah itu, beberapa media di Maluku Utara sempat menulis berita singkat tentang keberadaan Amina dan Abdullah dan kawan-kawan,” tutur Sofyan.

Sofyan bertemu terakhir kalinya dengan Amina pada Agustus 2015. Setelah pertemuan tersebut, Sofyan menulis artikel “Amina Sabtu Fatmawatinya Tidore”, yang dimuat di koran Malut Post Menurut penggiat literasi di daerahnya ini, tak banyak yang mampu dia ceritakan karena ingatan serta pendengaran Amina yang kian menurun seiring usianya yang sangat sepuh.

“Saya hanya sempat memastikan beberapa cerita yang beredar di tengah warga Mareku tentang kain merah dan putih yang beliau ambil dari bahan-bahan untuk ritual adat Salai Jin  dan benang yang beliau buat dari serat daun nenas. Tentang minimnya perhatian dan atau santunan dari pemerintah, beliau tak menanggapi kecuali tersenyum. Tentu saja ada kesedihan di matanya, yang berkaca-kaca, suaranya juga terbata, meski tetap terbesit semangat dari gesturnya,” papar pria kelahiran 1972 ini.

Menurut kesaksian Sofyan lagi, keluarga Amina tergolong sangat sederhana dibandingkan dengan kehidupan kebanyakan keluarga di Mareku. Rumah yang mereka tempati adalah rumah semi-permanen.

Rumah itu berdinding kapur dengan kerangka tulang dari balok berbentuk kotak-kotak seluas satu hingga satu setengah meter persegi. Lantai rumahnya hanya semen, tanpa tegel atau ubin.

Hingga saat ini, perjuangan dari Amina Sabtu adalah salah satu peristiwa bersejarah di tingkat lokal yang sebetulnya harus diketahui secara nasional. Meski sulit mencari sumber primer tertulis, sumber saksi sejarah (oral history) sebeanrnya bisa dilakukan untuk menguak  kejadian yang bersejarah tersebut.

Sejarawan dan staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Susanto Zuhdi  mengatakan, sumber sejarah berdasarkan cerita bertutur bisa kuat asal bisa di-crosscheck dengan saksi lain. Sekalipun harus lebih ketat.

Berbicara tentang pengibaran bendera di daerah, menurut Susanto, umumnya terjadi dalam masa akhir pendudukan Jepang.  Ia pun setuju pengungkapan sejarah lokal harus lebih banyak, terutama yang tidak diketahui secara nasional.

“Fakta baru menjadi ‘sejarah’ ketika ada pengaruh apa atau makna bagi kehidupan. Fact of meaning,” kata Susanto, 26 Juli 2018. [Irvan Sjafari]