Kesadaran Otentik
Menurut Budayawan Maluku Utara dari Komunitas Garasi Genta Sofyan Daud, Amina Sabtu adalah seorang perempuan muda hebat pada masanya. Perempan remaja waktu itu umumnya membantu ekonomi keluarga dengan berjualan sayur dan rempah, bumbu dapur. Amina bukan orang yang terlibat organisasi pergerakan nasional.
“Tapi justru karena itu, apa yang dilakukannya adalah kesadaran otentik, kesadaran yang timbul justru ketika situasi yang tidak menentu. Ketika perhubungan dan akses informasi antara Jawa-Ternate dan Tidore sangat minim, dia bersama pemuda seperti Abdullah punya ide dan inisiatif ketika pengaruh Belanda masih sangat kuat dan tentara Jepang masih menduduki dan mengusai wilayah tersebut,” kata Sofyan kepada Suluh Indonesia, 25 Juli 2018.
Sayangnya, peran ini terendap karena dua faktor. Pertama: kurangnya perhatian pemerintah daerah untuk mengungkap sejarahnya sendiri. Kedua: kurang tertariknya para sejarawan, jurnalis, bahkan blogger, untuk menulis sejarah lokal.
Untungnya, menurut Sofyan Daud, ada sekelompok pemuda di Kelurahaan Mareku, Kecamatan Tidore Utara, yang sekampung dengan Amina dan Abdullah. Sebagian dari mereka masih bertaut keluarga dan kekerabatan dengan kedua tokoh tersebut. Para pemuda ini berinisiatif menghormati jasa keduanya dengan menggelar upacara Agustusan setiap tanggal 18, tanggal bendera buah tangan Amina dikibarkan oleh Abdullah dan kawan-kawan di Tanjung Mareku.
“Para pemuda kemudian mendesak Pemerintah Kota Tidore mendirikan monumen kecil di sana. Upacara tersebut masih terus dilaksanakan sampai sekarang. Setelah itu, beberapa media di Maluku Utara sempat menulis berita singkat tentang keberadaan Amina dan Abdullah dan kawan-kawan,” tutur Sofyan.
Sofyan bertemu terakhir kalinya dengan Amina pada Agustus 2015. Setelah pertemuan tersebut, Sofyan menulis artikel “Amina Sabtu Fatmawatinya Tidore”, yang dimuat di koran Malut Post Menurut penggiat literasi di daerahnya ini, tak banyak yang mampu dia ceritakan karena ingatan serta pendengaran Amina yang kian menurun seiring usianya yang sangat sepuh.
“Saya hanya sempat memastikan beberapa cerita yang beredar di tengah warga Mareku tentang kain merah dan putih yang beliau ambil dari bahan-bahan untuk ritual adat Salai Jin dan benang yang beliau buat dari serat daun nenas. Tentang minimnya perhatian dan atau santunan dari pemerintah, beliau tak menanggapi kecuali tersenyum. Tentu saja ada kesedihan di matanya, yang berkaca-kaca, suaranya juga terbata, meski tetap terbesit semangat dari gesturnya,” papar pria kelahiran 1972 ini.
Menurut kesaksian Sofyan lagi, keluarga Amina tergolong sangat sederhana dibandingkan dengan kehidupan kebanyakan keluarga di Mareku. Rumah yang mereka tempati adalah rumah semi-permanen.
Rumah itu berdinding kapur dengan kerangka tulang dari balok berbentuk kotak-kotak seluas satu hingga satu setengah meter persegi. Lantai rumahnya hanya semen, tanpa tegel atau ubin.
Hingga saat ini, perjuangan dari Amina Sabtu adalah salah satu peristiwa bersejarah di tingkat lokal yang sebetulnya harus diketahui secara nasional. Meski sulit mencari sumber primer tertulis, sumber saksi sejarah (oral history) sebeanrnya bisa dilakukan untuk menguak kejadian yang bersejarah tersebut.
Sejarawan dan staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Susanto Zuhdi mengatakan, sumber sejarah berdasarkan cerita bertutur bisa kuat asal bisa di-crosscheck dengan saksi lain. Sekalipun harus lebih ketat.
Berbicara tentang pengibaran bendera di daerah, menurut Susanto, umumnya terjadi dalam masa akhir pendudukan Jepang. Ia pun setuju pengungkapan sejarah lokal harus lebih banyak, terutama yang tidak diketahui secara nasional.
“Fakta baru menjadi ‘sejarah’ ketika ada pengaruh apa atau makna bagi kehidupan. Fact of meaning,” kata Susanto, 26 Juli 2018. [Irvan Sjafari]