Berjualan Kue dan Rempah

Kepada Koran Suluh Indonesia, Roslan sang cucu menceritakan, Nenek Na setelah Belanda meninggalkan Tidore pada tahun 1949 menjadi pedagang. Beliau menjajakan kue-kue buatannya sendiri. Di sela-sela itu, Nenek Na menjual rempah-rempah di pasar.

“Nenek saya dulu berprofesi sebagai pedagang. Dia mendengar cerita dari radio tentang Proklamasi Kemerdekaan. Dia menjahit bendera di ruang tamu rumahnya,” ungkap Roslan, 26 Juli 2018 lalu.

Amina Sabtu dan Roslan.

Hingga meninggal dunia, Amina  tetap tinggal di kediamannya,  tempat dia menjahit bendera Merah-Putih itu, di RT 08/RW 04 Kelurahan Mareku, Kecamatan Tidore Utara, Kota Tidore. Abdullah Kadir sendiri telah wafat pada tahun 2009 lampau.

“Ketika dia meninggal masih ada tiga orang cucu yang tinggal di rumah dia,” ujar Roslan, seraya menyebutkan lebih dari 20 cucu yang bertalian dengan dia.  Roslan sendiri adalah cucu dari neneknya yang masih saudara Amina. Di mata Roslan, Amina adalah nenek yang baik kepada semua cucunya.

Pada tahun 2009, sejumlah tokoh adat, antara lain Umar Yasin, akhirnya bisa memperjuangkan mewujudkan pembangunan tugu pengibaran bendera itu. “Waktu itu, saya kelas 3 SMP dan waktu itu juga monumen dibuat karena ada pertukaran pemuda yang saat itu datang di kampung. Jadi, itu masuk program kegiatan pertukaran pemuda saat itu juga,” ucap pria kelahiran 23 Maret 1992 ini.

Roslan menjelaskan, setiap 18 Agustus, warga kampungnya merayakan upacara untuk memperingati kejadian itu.  Dan, sejak 2009, upacara itu menjadi lebih meriah karena tugu sudah selesai dibangun. Nenek Na juga kerap diundang  ikut upacara, hanya tidak selalu bisa hadir karena kondisi kesehatannya di usia tua.

Informasi kemerdekaan Republik Indonesia memerlukan waktu setahun untuk sampai ke Bumi Kie Raha. Itulah sebabnya sumber primer seperti berita Antara dan surat kabar yang terbit pada masa itu (1946) luput memberitakan situasi Tidore pada tahun-tahun  pertama kemerdekaan, karena keterbatasan dan sulitnya pendistribusian informasi kala itu.

Bahkan, buku sejarah nasional tidak menyinggung peristiwa tersebut. Mungkin karena, ya, itu tadi: sulitnya mencari sumber primer. Bahkan juga perjuangan kemerdekaan di Maluku Utara hampir bernasib sama.

Buku yang penulis temukan adalah karya M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, yang terbit pertama kali tahun 2010  lampau. Buku ini pun lebih banyak memberikan informasi situasi di Ternate.

Menurut Adnan Amal dalam buku itu, rakyat di Ternate baru mengetahui berita Proklamasi Kemderkaan Indonesia pada awal September 1945. Begitu juga sejumlah pulau lain di Maluku Utara, kecuali Pulau Morotai, karena ada fasilitas radio dan komunikasi peninggalan militer Sekutu. Itu sebabnya, warga Morotai mendengar berita Proklamasi Kemedrekaan Indonesia beberapa hari setelah 17 Agustus 1945. Bahkan, penduduk Morotai juga bisa mendengar pidato Bung  Tomo.

Tokoh  Maluku Utara yang disebut dalam buku itu adalah Arnold Monoutu; M.A. Kamaruddi; Chasan Beosoirae; M.S. Jahir; M. Arsyad Hanafi; Abu Bakar Bachmid, dan; sejumlah tokoh pemuda. Pada masa itu, mereka mengadakan pertemuan dengan Sultan Ternate.

Buku itu juga menyinggung kisah pemberontakan yang dilakukan Yasin Gamsungi dari Gabungan Tentara Indonesia (GATI) di Galela pada Desember 1947. Juga cerita tentang pemberontakan Haji Salahudin pada Februari 1947 di Patani, yang melibatkan 600 perempuan.

Pemberontakan itu bisa dikalahkan tentara Belanda dengan cara yang cukup licik, membujuk tokohnya Haji Saluahudin dengan memakai tangan Sultan Ternate dan kemudian mengeksekusinya. Akan halnya Yasin gugur dalam pertempuran. Yang diceritakan buku ini, Maluku Utara memberikan perlawanan yang cukup keras terhadap niat Belanda menduduki kembali Indonesia.

Sayangnya, informasi tentang perjuangan di Tidore nyaris tidak ada. Hanya disebutkan, Sultan Ternate ketika membujuk Haji Salahudin menyebut akan ditemukan dengan Sultan Tidore Zainal Abidin Syah di istananya. Secara tersirat, pernyataan tersebut merupakan konfirmasi atas posisi Sultan Tidore, sebagai tokoh yang berseberangan dengan Belanda.

Sejarah mencatat, Tidore merupakan daerah di Maluku yang sangat pro-Republik Indonesia. Sultan Tidore Zainal Abidin dalam Konferensi Malino pada tahun 1946 sebetulnya diberikan tiga opsi, yaitu bersama Irian mendirikan negara sendiri, bergabung dengan Negara Serikat Indonesia Timur, atau bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Sultan Zainal Abidin memilih opsi ketiga.

 

itu Zainal Abidin Syah juga punya peran penting di dalam sejarah perebutan kembali Irian Barat. Ketika Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1956 mengumumkan pembentukan Provinsi Perjuangan Irian Barat, yang ditetapkan sebagai ibu kota provinsi  tersebut untuk sementara adalah Soa-Sio, Tidore.

Keputusan tersebut diambil oleh Presiden Soekarno dengan alasan Papua serta pulau-pulau sekitarnya merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore sejak ratusan tahun lalu. Sultan Zainal Abidin Syah kemudian ditetapkan sebagai Gubernur Sementara Provinsi Perjuangan Irian Barat pada 23 September 1956 di Soa-Sio.