Upaya penyelesaian perang antara Rusia dan Ukraina melalui cara diplomasi dan perundingan damai yang diinsiasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) terancam gagal. Upaya itu terganjal tindakan pemerintahan Amerika Serikat (AS) di bawah Joe Biden yang mengirimkan senjata besar-besaran ke Ukraina.
Tindakan AS ini ibarat menyiramkan bensin ke dalam api yang berkobar. Alih-alih mengupayakan perundingan damai, pemerintahan Biden justru membawa konflik ke arah lebih buruk.
Terbaru, AS mengirimkan dua sistem rudal permukaan-ke-udara NASAMS yang canggih ke Ukraina. Empat tambahan radar penangkal artileri dan 150.000 butir peluru amunisi 155 mm juga akan dikirimkan oleh AS ke Kiev sebagai bagian dari paket persenjataan terbaru untuk Ukraina.
Paket bantuan senilai US$ 820 juta (Rp 12,2 triliun) itu diumumkan oleh Presiden Joe Biden pada Kamis (30/6) waktu setempat, di Madrid, Spanyol, setelah pertemuan para pemimpin aliansi NATO yang difokuskan pada invasi Rusia ke Ukraina.
“Warga Ukraina terus menghadapi kebrutalan yang sekali lagi tersorot pekan ini oleh serangan yang menghantam sebuah pusat perbelanjaan yang dipenuhi warga sipil. Mereka terus berjuang untuk negara mereka, dan Amerika Serikat terus mendukung mereka dan perjuangan mereka,” ucap Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Antony Blinken dalam pernyataan membahas paket bantuan untuk Ukraina.
Departemen Pertahanan AS di Pentagon memberikan rincian soal paket bantuan senjata itu pada Jumat (1/7) waktu setempat, dengan menyebut bahwa paket bantuan terbaru itu mencakup amunisi tambahan untuk Sistem Roket Artileri Mobilitas Tinggi (HIMARS).
Radar penangkal artileri yang dikirimkan oleh AS, sebut seorang pejabat pertahanan senior, merupakan sistem AN/TPQ-37 buatan Raytheon-Technologies. Ini menjadi momen pertama kalinya sistem ini dikirimkan ke Ukraina. Disebutkan bahwa sistem ini memiliki jangkauan lebih efektif tiga kali lipat dibandingkan sistem AN/TPQ-36 yang dikirimkan sebelumnya.
Masyarakat dunia mengidentifikasi adanya provokasi yang dilakukan AS sejak awal sebelum terjadinya perang. Melalui aliansi pertahanan Atlantik Utara atau NATO, AS mendorong keterlibatan Ukraina dalam NATO yang tentunya memancing reaksi keras dari pemerintah Rusia di bawah Presiden Vladimir Putin. Tindakan itu juga melanggar perjanjian Minsk yang menjadi jembatan damai di kawasan Eropa Timur.
Misi perdamaian
Sebelum AS mengirimkan paket persenjataan, Presiden Jokowi hadir di Ukraina dan Rusia membawa misi perdamaian. Jokowi berbicara langsung dengan Presiden Ukraina Volodimir Zelensky dan setelahnya berbicara empat mata dengan Vladimir Putin di Kremlin, Rusia.
Misi damai Jokowi berjalan mulus, ia mendapat sambutan positif dari pemimpin kedua negara yang tengah dilanda perang itu. Bahkan Putin berkomitmen untuk menjamin keamanan pengiriman bahan makanan dan pupuk untuk kebutuhan rakyat dunia.
Mengenai isu pangan Putin menjelaskan bahwa ketidakseimbangan pasar pangan dunia adalah konsekuensi langsung dari kebijakan ekonomi makro yang tidak bertanggung jawab dari beberapa negara (AS dan Uni Eropa) dan penerbitan utang secara besar-besaran tanpa jaminan. Selain itu pandemi virus corona semakin memperburuk situasi.
Namun, alih-alih mengakui bahwa kebijakan ekonomi mereka salah arah, negara-negara Barat semakin mengacaukan produksi pertanian global dengan memberlakukan pembatasan pada pasokan pupuk Rusia dan Belarusia, menghambat ekspor biji-bijian Rusia ke pasar dunia.
Putin menegaskan Rusia telah dan tetap menjadi salah satu produsen dan eksportir makanan utama dunia. Rusia memasok produk pertanian ke 161 negara. Bahkan tahun 2021 lalu mengekspor lebih dari 43 juta ton biji-bijian, termasuk 33 juta ton gandum. [PAR]