Koran Sulindo – Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolingi mengatakan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang diajukan ke Sekretariat Negara bisa menyatukan regulasi lain yang mirip yang tersebar dalam berbagai produk hukum.
“Memang sudah ada pasal-pasal yang mengatur tentang masyarakat adat tetapi hanya sepotong-sepotong dan saling bertentangan. Untuk itu perlu adanya UU Masyarakat Adat agar semuanya sinkron,” kata Rukka di Paser, Kalimantan Timur, Sabtu (21/4/2018), seperti dikutip antaranews.com.
Menurut Rukka, regulasi yang kini sudah ada hanya mengatur objek hak masyarakat adat, dan tak mengakui sebagai subjek hak. RUU baru itu mengakui masyarakat adat sebagai subjek dan objek haknya.
Selain itu, proses pengakuan masyarakat adat, sebagai syarat untuk mendapatkan hak sebagaimana tertuang dalam UU Kehutanan, sulit dan berbelit-belit sebab harus melalui penerbitan Peraturan Daerah.
“Proses mendapatkan pengakuan dari Perda inilah yang memperlambat pengakuan tersebut,” katanya.
Jika masyarakat adat diakui sebagai subjek hak maka pengaturan tentang hak lainnya sudah dapat menggunakan instrumen peraturan lain, dan memangkas proses yang berbelit-belit itu.
Untuk memastikan proses mmenjadi sederhana. AMAN mengusulkan mekanisme identifikasi dan verifikasi pengakuan masyarakat adat melalui komisi nasional masyarakat adat.
Sepanjang 73 tahun merdeka terjadi banyak sekali ketidakadilan terjadi pada masyarakat adat, bahkan ada masyarakat adat yang terancam punah .
“Tanpa UU ini mereka akan punah. Undang-undang yang lahir juga harus dipastikan untuk melindungi mereka, jangan asal lahir,” kata Rukka.
Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2013 melakukan terobosan dalam pemulihan hak-hak masyarakat adat, dengan mengeluarkan putusan MK No.35/PUU-IX/2012 yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara. Peristiwa tersebut dinilai menjadi momentum pengembalian hak-hak masyarakat adat.
Kemendagri
Kementerian Dalam Negeri kembali mengirimkan daftar inventarisasi masalah (DIM) susulan Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU-PPMHA) kepada Kementerian Sekretaris Negara, Senin (16/4/18) lalu. Kemendagri akhirnya mendukung kelanjutan pembahasan RUU Masyarakat Adat itu, setelah sebelumnya menganggap RUU tersebut belum perlu.
Dalam surat bernomor 410/2347/SJ itu, Sekretaris Jenderal Kemendagri, Hadi Prabowo, mengatakan DIM yang disampaikan sebelumnya merupakan hasil kajian awal bersama enam kementerian dan lembaga. Enam kementerian dan lembaga itu adalah Kemendagri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT) dan Kementerian Hukum dan HAM.
“Pada hakikatnya kami mendukung dan melaksanakan kebijakan Bapak Presiden Joko Widodo untuk penyusunan RUU Masyarakat Hukum Adat,” kata Hadi, seperti dikutip mongabay.co.id.
Menurut Hadi, ada beberapa pasal dalam rumusan DIM sebelumnya dihapus karena bersifat teknis, hingga tak perlu masuk dalam peraturan setingkat UU. Alasan lain, ada pasal bertentangan dengan peraturan lebih tinggi.
Poin utama lain, ada beberapa pasal harus disesuaikan karena sudah ada peraturan perundang-undangan berlaku.
Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa (Dirjen Pemdes) Kemendagri, Nata Irawan, mengatakan DIM dan pembahasan Kemendagri terkait RUU MHA ini tak serta merta jadi keputusan.
“Kami melihat aspek hukum, sosiologis, empiris dan yuridisnya,” katanya.
Dia mengacu pada sejumlah aturan perundang-undangan lain yang mengatur persoalan masyarakat adat seperti UU Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Kemendagri tetap berkomitmen mendukung Presiden dan tetap akan membahas RUU ini. RUU ini bisa jadi koreksi atas UU yang sudah ada.
Kemendagri memberikan DIM tersendiri di luar DIM bersama enam kementerian dan lembaga.
Kecuali Kemenkumham, kementerian lain sudah menyerahkan DIM kepada Kementerian Sekretaris Negara untuk dibahas di rapat terbatas. Dari DIM berbagai kementerian ini baru akan diputuskan apakah RUU ini jadi kebutuhan atau tidak.
Selanjutnya, setelah rapat terbatas akan ada pembahasan bersama DPR.
“Kalau sudah dibahas di DPR baru terbuka masukan dari masyarakat atau organisasi sipil,” kata Nata.
Sebelumnya, dalam surat tiga lembar tertanda Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo kepada Menteri Sekretaris Negara, Praktikno, menjelaskan, RUU ini masih belum diperlukan dengan dua alasan, pertama, sudah ada peraturan dan UU mengatur masyarakat adat, kedua, akan membebani anggaran.
Setneg
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan pemerintah sudah menerima RUU Perlindungan Hak Masyarakat Adat (RUU Masyarakat Adat) dari DPR.
“Saya akan menyampaikan bahwa saya sudah menerima surat presiden dari Menteri Sekretaris Negara bahwa RUU Masyarakat Adat sudah turun dari DPR ke pemerintah,” kata Siti, saat memberikan sambutan dalam acara Hari Ulang Tahun ke-19 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Minahasa, Manado, Sabtu (17/3/ 2018) lalu.
Menurut Siti, Presiden Joko Widodo juga telah menugasi beberapa menteri menindaklanjuti RUU itu.
Koordinator tim yang akan menangani RUU itu adalah Kementerian Dalam Negeri. Anggotanya adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Pendidikan Budaya, serta Kementerian Hukum dan HAM.
Seminggu kemudian Presiden Joko Widodo bertemu dengan AMAN di Istana Negara, Rabu (22/3/2017). Dalam pertemuan itu, Jokowi mendukung percepatan pengesahan UU Masyarakat Adat dan pembentukan Satuan Tugas Masyarakat Adat.
Pertemuan itu dihadiri Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan Kepala Kantor Staf Kepresidenan Teten Masduki.
“Satgas dibentuk saja segera karena dapat membantu proses-proses verifikasi lahan untuk dilepaskan. Semakin banyak jumlah area yang diverifikasi, semakin baik,” kata Presiden Jokowi, saat itu, seperti dalam rilis media AMAN.
Jokowi juga meminta Kemendagri mempercepat sejumlah Surat Keputusan (SK) Masyarakat Adat dan peraturan daerah tentang masyarakat adat.
“Karena perda dan SK itu mempercepat proses pengembalian tanah adat yang merupakan hak masyarakat adat,” katanya.
Saat ini terdapat 18 SK Hutan Adat yang disiapkan pemerintah, sebagai kelanjutan dari penyerahan SK Hutan Adat kepada 9 komunitas adat pada akhir Desember 2016.
“Tapi ini kecil sekali karena lahannya ada, tapi tidak bisa dikeluarkan karena harus ada perda atau SK bupati,” kata Jokowi.
Soal hutan adat ini, KLHK sedang memproses sekitar 6,25 juta hektar serta 13 usulan wilayah hutan adat. Di antaranya, Kalimantan 3,6 juta hektar, Maluku dan Papua 1,5 juta hektar, Sulawesi 1 juta hektar, Sumatera 500 ribu hektar, serta Bali dan Nusa Tenggara 120 ribu hektar.
AMAN dan berbagai organisasi sipil sudah menagjukan RUU ini sejak 2015 lalu tapi terus tertunda-tunda pembahasannya baik di pihak pemerintah maupun di DPR. [DAS]