Aliansi De Facto Saudi-Israel, Khianati Perjuangan Palestina

Koran Sulindo – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dilaporkan menggelar pertemuan rahasia dengan Putra Mahkota Kerajaan Saudi Mohammad bin Saud di Amman, Yordania.

Pertemuan digelar di sela-sela kunjungan resmi penasihat khusus Gedung Putih,  Jared Kushner, dan utusan AS untuk Timur Tengah, Jason Greenblatt.

Laporan-laporan media lokal menyebut pertemuan MBS dengan Netanyahu berlangsung lancar tanpa kehadiran Raja Yordania Abdullah.

Pertemuan kedua pemimpin yang secara ideologis bermusuhan itu mengkonfirmasi sinyalemen sebelumnya yang menyebut Tel Aviv dan Riyadh tengah merumuskan aliansi de facto untuk membendung pengaruh Iran.

Kushner yang merupakan menantu Donald Trump adalah orang yang berada di balik ide itu. Sementara Greenblatt adalah bekas pejabat di The Trump Organization, organisasi yang menjadi penyokong utama pendudukan Palestina.

Tak lama setelah laporan pertemuan tersebut, Netanyahu dan Menteri Perhubungan Israel Katz mengumumkan bahwa mereka akan memulai pembicaraan dengan sekutunya termasuk AS, Uni Eropa, Timur Tengah dan negara-negara Asia.

Mereka membual tentang kereta api yang bakal menghubungkan pelabuhan Haifa ke dalam jaringan kereta api Jordan dan Monarki Arab Teluk Persia.

Proyek yang dikenal sebagai “Trek untuk Perdamaian Regional” itu memungkinkan barang yang dikirim dari Eropa langsung dibongkar di Haifa dan dikirim melalui jalur darat ke wilayah Arab.

Tel Aviv dan Riyadh bersekut dalam kebencian dan ketakutan yang berlebihan terhadap Iran yang dipandang sebagai ancaman utama di Timur Tengah.

Pengaruh Iran menguat setelah kegagalan Barat dan Arab menggulingkan rezim Bashar al Assad di Suriah.

Riyadh menyalahkan Iran sebagai penyebab kekalahan militer mereka memerangi gerakan Houthi Ansarullah di Yaman. Sementara di Suriah faksi pemberontak yang didukung lumat oleh tentara Assad.

Sebelumnya, meski para pengamat memperkirakan Israel dan Arab Saudi tak mungkin menggalang persekutuan terbuka di kancah regional, geopolitik aktual memosisikan mereka di panggung yang sama.

Kamp Pragmatis

Aliansi pragmatis melawan Iran menurut pengamat merupakan paradigma regional baru di Timur Tengah.

“Perubahan politik di Arab Saudi dan keinginan untuk mengonsolidasikan kekuasaan adalah alasan utama mengapa hubungan ini dengan Israel dibuka,” kata Mahjoob Zweiri, seorang profesor dari Program Studi Teluk Universitas Qatar.

Iran yang digunakan sebagai alasan, lanjutnya, sepertinya tak terlalu khawatir dengan aliansi ini. “Pada kenyataannya, kondisi ini membantu Iran tampil sebagai kekuatan yang ramah sekaligus memperbaiki citranya. Iran juga tampil sebagai benteng terakhir perlawanan terhadap Israel,” tuturnya.

Namun, Zweiri mengingatkan, pejabat Israel cenderung melebih-lebihkan interaksi semacam itu untuk “menurunkan harga yang harus dibayar”. Terutama untuk masalah-masalah Palestina, dengan memperluas hubungan strategis dan menjalin hubungan dengan negara-negara Arab.

Di sisi lain, Netanyahu takut terjebak bagaimana reformasi domestik Mohammed bin Salman bakal mengubah Saudi menjadi negara yang memusuhinya memudahkan Israel menyetujui masa depan regional Timur Tengah.

Saudi, yang menikmati kedudukan religiusnya di Arab membangun faksi sendiri, termasuk dengan mencari hubungan dengan Israel dengan janji perdamaian. Secara bersamaan, negara ini juga melestarikan identitas kesunnian untuk mengimbangi pengaruh Iran yang syiah.

Ofer Zalzberg, pengamat International Crisis Group, menyebut pergeseran tatanan politik di Timur Tengah seharusnya mengacu pada proses perdamaian Israel-Palestina sebagai syarat penting membangun kerja sama regional.

“Kelahiran aliansi Saudi-Israel terlihat seperti akan menghalangi Iran, dalam banyak hal menjadi alasan penting memajukan perdamaian Israel-Palestina di Washington dan Riyadh,” kata Zalzberg.

Pengamat menyebut kelompok negara-negara ini sebagai Kamp Arab Pragmatis, yang beranggotakan Mesir, Yordania, dan beberapa negara-negara lain di Teluk. Selain Iran, mereka juga memiliki ancaman strategis lain, yakni gerakan salafi dan terorisme yang mengatasnamakan Islam.

“Sayangnya, Amerika Serikat meninggalkan ruang kosong di wilayah yang segera diisi Rusia di Suriah, sementara Iran mengisi bagian Timur Tengah lainnya,” ungkap Zalzberg.

Israel dengan kemampuan militer, nuklir dan peralatan perang yang canggih, dianggap sekutu potensial yang paling andal dan orang-orang Saudi mengerti dengan baik bahwa ini menjadi saat yang tepat menjadi teman baik Israel.

Khalil Shaheen, seorang analis politik dari Ramallah, Tepi Barat, mengatakan bahwa penataan ulang ancaman regional jelas-jelan bakal merugikan negara Palestina.

“Negara-negara Arab selama ini temotivasi oleh kelangsungan rezim mereka sendiri. Ini mendorong mereka untuk ‘berayun’ ke negara yang lebih kuat di kawasan,” ujarnya.

Sementara itu, Saudi menyadari dukungannya kepada perdamaian Palestina selama ini hanya menjadi beban di tengah isu lain yang lebih penting. Orang-orang Saudi dianggap tak memiliki komitmen pada orang-orang Palestina.

“Sekarang mereka memiliki kesempatan untuk memperkuat kepentingan religius dan otoritas mereka di Makkah dan Madinah, dengan mengorbankan Yerusalem. Namun, pada gilirannya, strategi itu bakal memperkuat posisi mereka melawan Iran,” kata Khalil Shaheen. (TGU)