Ali Sastroamidjojo Sang Nasionalis dan Marhaenis Sejati

Koran Sulindo – Dalam sebuah pertemuan PNI pada tahun 1928, Ali Sastroamidjojo berdebat keras dengan Soekarno. Pokok soalnya: Bung Karno mengusulkan semua anggota PNI memakai seragam dan menganjurkan anggota PNI tak lagi memakai kain sarung.

Ali Sastroamidjojo pun langsung menyatakan ketidaksetujuannya. “Justru sarung itu sesuai dengan tradisi kepribadian Indonesia. Lagi pula, memakai pakaian seragam perlu biaya besar, padahal kita tidak punya uang,” kata Ali tegas.

Bantahan Ali Sastroamidjojo itu membuat Bung Karno kesal. Suasana pertemuan menjadi panas. Peserta pertemuan pun terbelah dua.

“Sebagian berpihak kepadaku, sebagian lagi menyokong Ali. Dan akhirnya aku kalah,” begitu pengakuan Bung Karno, seperti diungkap dalam buku otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis Cindy Adams.

Bukan kali itu saja Ali Sastroamidjojo berani mendebat Bung Karno, meski Ali mengagumi sahabatnya tersebut. Jika ia menilai pemikiran ataupun kebijakan Bung Karno tak sesuai dengan prinsip-prinsip politiknya, Ali tanpa segan-segan berani menentang atau mengingatkan Bung Karno.  Toh, keduanya tetap berkawan akrab, meski cukup kerap berdebat sengit.

Ali Sastroamidjojo, yang lahir di Grabag, Magelang (Jawa Tengah), 21 Mei 1903, baru bergabung dengan PNI pada tahun 1928. Ketika itu, ia baru saja menyelesaikan studi ilmu hukum di Universitas Leiden, Belanda.

Namun, namanya sebagai tokoh pergerakan sudah termasyhur hingga ke Tanah Air. Ali termasuk salah seorang dari empat mahasiswa (tiga lainnya: Mohammad Hatta, Nazir Pamuntjak, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat) aktivis Perhimpunan Indonesia yang diadili karena dianggap menentang pemerintah Belanda. Tapi, persidangan yang digelar di Belanda itu membebaskan Ali dan kawan-kawan.

Sepulangnya ke Tanah Air, Ali Sastroamidjojo segera menceburkan diri dalam pergerakan kebangsaan. Ia bergabung dengan PNI, yang didirikan Bung Karno dan kawan-kawannya pada 4 Juli 1927. “Pada pokoknya, tujuan politik PNI waktu itu adalah mencapai Indonesia Merdeka, sesuai dengan asas dan tujuan Perhimpunan Indonesia. Karena itu, saya memilih masuk PNI,” kata Ali, seperti tertulis dalam memoarnya,Tonggak-Tonggak di Perjalananku.

Mula-mula, Ali Sastroamidjojo tercatat sebagai anggota biasa PNI Cabang Yogyakarta. Tapi, tak lama kemudian, ia diminta menjadi pengurus PNI Cabang Yogyakarta.

Ketika Bung Karno dan tiga aktivis lain PNI ditahan pemerintah kolonial Belanda, PNI dibubarkan, dan para pengurusnya pun membentuk Partindo yang dipimpin Mr  Sartono, Ali pun bergabung di Partindo Cabang Madiun, Jawa Timur. Ketika itu, ia juga sedang menjalankan praktik sebagai advokat.

Kegiatan Partindo semakin hari semakin radikal. “Di daerah Madiun, misalnya, Partindo membentuk perserikatan-perserikatan kaum buruh, seperti kaum sopir, kusir dokar, dan buruh pejagalan. Sedangkan kaum tani diorganisir pula. Partindo Cabang Madiun juga menerbitkan berkala yang kami namakan Kebutuhan Rakyat,” tulis Ali.

Akibat aktivitas Partindo yang semakin radikal, pemerintah kolonial Belanda semakin represif, dengan mempersempit ruang gerak partai-partai politik. Hingga akhirnya, Partindo memutuskan membubarkan diri pada 18 November 1936 karena tekanan pemerintah kolonial yang tidak memungkinkan lagi Partindo bergerak.

Toh, pembubaran Partindo tidak membuat kaum nasionalis radikal menjadi putus asa. Hanya beberapa bulan kemudian, 24 Mei 1937, mereka mendirikan sebuah partai baru, Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), yang asas dan tujuan yang sama dengan PNI dan Partindo. Pemrakarsa pendirian Gerindo adalah kaum muda di Partindo dan kader-kader aktivis PNI.

Ali Sastroamidjojo pun bergabung dengan Gerindo. Selain menitikberatkan pada aksi massa, Gerindo juga berpendirian anti-fasisme. Ini harus dilihat dari perkembangan politik dunia masa itu, yang semakin hari semakin terang dipengaruhi pertumbuhan fasisme di Italia dan Naziisme di Jerman, serta fasisme Jepang.

Menjelang masa pendudukan Jepang itu, Ali Sastroamidjojo sempat menjabat sebagai Wakil Wali Kota Madiun serta terpilih sebagai anggota Dewan Kotapraja Jawa Timur, mewakili Gerindo. Di masa pendudukan Jepang, Ali bekerja sebagai pegawai tinggi yang ditempatkan di bagian urusan umum (naisebu). Baru April 1945, ia pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai pegawai tinggi di kantor urusan ekonomi.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Ali Sastroamidjojo langsung menjadi salah satu tokoh penting di pemerintahan republik yang baru. Apa kiprahnya setelah kemerdekaan negeri ini, kemerdekaan yang ia cita-citakan dan ikut perjuangankan?

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Bung Karno menunjuk Ali Sastroamidjojo sebagai Menteri Penerangan. Lalu, di bawah kabinet Amir Sjarifuddin, Ali ditunjuk sebagai Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan. Di masa jabatannya, ia merancang Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran. Rancangan undang-undang itu dianggap progressif pada zamannya.

Bersama Mr Sujono Hadinoto, Ali ditunjuk mewakili PNI dalam delegasi Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag, Belanda, November 1949. Hasil KMB tidak terlalu memuaskan PNI, karena Indonesia menjadi negara federal (Republik Indonesia Serikat/RIS), bukan negara kesatuan.

Namun,  seperti dikatakan Ali Sastroamidjojo, “PNI walapun tidak puas dengan persetujuan KMB itu dapat menerimanya, karena yakin bahwa pengakuan kedaulatande facto dan de jure negara kita oleh Belanda akan memperkuat kedudukan kita keluar dan ke dalam. Dengan kedaulatan penuh itu, hubungan-hubungan dengan negara-negara lain di dunia dapat dijalankan dengan normal, apalagi RIS sudah masuk menjadi anggota PBB. Ke dalam negeri sebagai negara berdaulat penuh bisa menjalankan politik dalam negeri kita dengan bebas tanpa dicampuri tangan lagi oleh negara mana pun.”

Sesudah persetujuan KMB itu, Ali Sastroamidjojo sempat absen di perpolitikan nasional. Di awal tahun 1950, ia ditunjuk sebagai duta besar pertama Indonesia di Amerika Serikat. Saat menyampaikan surat-surat kepercayaan, Ali meminta kesempatan berpidato. Akan tetapi, Presiden Amerika Serikat saat itu, Henry Truman, meminta agar pidato itu dihentikan.

Ali pun mengatakan: “Saya mengerti perjuangan kemerdekaan negeri tuan yang mulia, karena saya teringat kepada perjuangan kemerdekaan negeri saya sendiri yang gagah berani, seperti negeri tuan.”

Di tahun 1953, di tengah krisis politik yang berpotensi meretakkan Republik Indonesia, Ali Sastroamidjojo ditunjuk sebagai Perdana Menteri RI. Orang-orang sering menyebut kabinet Ali sebagai “kabinet kiri”. Karena, pada saat itu, Masjumi dan PSI ditendang keluar, sedangkan PKI dan NU ditarik masuk.

Menurut pengakuan Ali Sastroamidjojo, ia sendiri tak ikut membentuk susunan kabinetnya. Ali menulis dalam memoarnya: “Terbentuknya kabinet saya itu agak menyimpang dari kebiasaan, karena tidak disusun langsung oleh formatur yang kemudian menjadi Perdana Menteri. Malahan pada waktu pembentukannya saya tidak turut mencampurtanganinya, karena saya masih menjabat Dubes RI di Washington. Baru setelah pembetukan kabinet itu selesai dan disetujui oleh Presiden, saya terima telegram dari Sdr Sidik Djojosukarto (Ketua Umum PNI masa itu) bahwa saya ditunjuk sebagai Perdana Menteri RI.” Kabinet Ali Sastroamidjojo I ini merupakan koalisi antara PNI, Partai Indonesia Raya (PIR), dan NU.

Begitu dilantik  sebagai Perdana Menteri RI, Ali Sastroamidjojo menerapkan dengan sungguh-sungguh politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif. Politik luar negeri meluas ke negeri-negeri sosialis: 1953, Indonesia mengirim dubes ke Peking, Tiongkok; 1954, Indonesia membuka kedutaan di Moskow, USSR. Politik luar negeri Indonesa makin anti-kolonialis dan anti-imperialis. Di bawah pemerintahan Ali Sastroamidjojo, Indonesia berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955.

Pemerintahan Ali Sastroamidjojo juga sukses mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilu pertama Indonesia pada tahun 1955. Inilah pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia; diikuti 190 partai, organisasi, dan perorangan. Ali, yang saat itu menjadi juru kampanye utama PNI, berhasil membawa PNI memenangkan pemilu dengan perolehan 119 kursi. Posisi kedua diraih Masjumi (112 kursi), ketiga oleh NU (91), dan keempat diduduki PKI (80).

Tentang kesuksesan kabinetnya itu diakui Ali Sastroamidjojo berkat kerja sama dengan partainya, PNI, terutama dengan fraksinya di DPRS. Juga komunikasi dengan partai-partai koalisi terjalin baik. Dengan kerja sama yang baik itu, kesalahpahaman dihindari. Ali dan anggota kabinetnya bisa mencurahkan pemikiran dan tenaga pada penyelesaian program-program kerja yang telah digariskan.

“Tidak berarti bahwa kami lantas mengabaikan kritik-kritik pedas dari pihak oposisi di DPRS. Adapun serangan-serangan oposisi di luar badan legislatif dilayani oleh surat kabar harian PNI, Suluh Indonesia, yang dipimpin Mh Isnaeni,” tutur Ali.

Meski terbilang sukses, menjelang Pemilu 1955, Kabinet Ali Sastroamidjojo I harus mengundurkan diri, digantikan Kabinet Burhanudin Harahap dari Masjumi. Tapi, dengan kemenangan dalam pemilu yang digelar September 1955, PNI kembali mendapat mandat untuk membentuk kabinet.

Ali Sastroamidjojo kembali didapuk sebagai Perdana Menteri RI. Salah satu prestasi Kabinet Ali Sastroamidjojo II adalah sukses membatalkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada April 1956. Empat bulan kemudian, pemerintah Indonesia menyatakan menolak membayar utang-utang warisan kolonialisme Belanda.

Kabinet Ali Sastroamidjojo II, yang dilantik pada 24 Maret 1956, merupakan suatu koalisi yang kuat antara PNI, Masjumi, dan NU (karena itu kerap juga disebut Kabinet Ali-Roem-Idham), ditambah dengan Parkindo, Partai Katholik, IPKI, dan Perti. Koalisi ini mencakup 179 kursi di parlemen, yang anggotanya berjumlah 257 orang. Jadi, koalisi yang memerintah saat itu merupakan mayoritas mutlak di parlemen.

Kendati begitu, setahun kemudian, 14 Maret 1957, Ali menyerahkan kembali mandat kepada Presiden Soekarno. Penyerahan mandat itu, kata Ali Sastroamidjojo, “Tidak oleh karena dijatuhkan oleh kelebihan suara oposisi di parlemen, melainkan karena ancaman kekerasan senjata di luar parlemen oleh Kolonel Zulkifli Lubis.”

Setelah mundurnya Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Presiden Soekarno berupaya membentuk kabinet baru dengan menyerahkan mandat kepada partai-partai politik, tapi gagal. Akhirnya, Bung Karno memanggil Ali Sastroamidjojo, sebagai perdana menteri demisioner, untuk membicarakan soal kabinet. Dalam pertemuan itu, Bung Karno menanyakan kepada Ali, siapa tokoh non-partai yang layak diangkat sebagai perdana menteri dalam suatu “zaken kabinet ekstra parlementer darurat”, suatu kabinet yang tidak bersandar pada partai-partai politik.

Ali langsung saja menjawab, tokoh non-partai yang pantas untuk jabatan perdana menteri itu adalah Ir H Djuanda Kartawidjaja. Rekomendasi Ali itu didasarkan pengalamannya, ketika Djuanda pernah menjadi Menteri Negara Urusan Perencanaan dalam kabinetnya. Djuanda adalah seorang teknorat yang juga pekerja keras.

Semula Bung Karno kurang berkenan, karena menganggap Djuanda kurang dinamis. Tapi, setelah diyakinkan Ali, Presiden Soekarno kemudian memutuskan menunjuk Ir Djuanda untuk memimpin Kabinet Karya (April 1957- Juli 1959).

Ali Sastroamidjojo kemudian menceburkan diri dalam aktivitas PNI. Dalam Kongres PNI IX di Solo, tahun 1960, ia terplih sebagai Ketua Umum PNI.

Dengan segera DPP PNI di bawah kepemimpinan Ali Sastroamidjojo melakukan perubahan organisasi untuk memulihkan kewibawaan pimpinan pusat. Partai juga membuka peluang bagi para aktvis muda yang berhaluan nasionalis-radikal untuk berkiprah di jajaran DPP, DPD, hingga ke tingkat cabang. Dengan begitu, perwakilan ormas dalam pimpinan partai meningkat pesat. Peran PNI di pentas perpolitikan nasional bangkit kembali.

Peran kubu nasionalis-radikal makin menguat setelah Kongres PNI X di Purwokerto, Mei 1963. Dalam kongres ini, Ali Sastroamidjojo kembali terpilih sebagai ketua umum. Dan sebagai Sekretaris Jenderal DPP PNI terpilih Surachman, tokoh muda yang sebelumnya aktif di PETANI, ormas sayap PNI yang bergerak di kalangan petani.  Selain itu, beberapa tokoh GMNI juga masuk dalam jajaran DPP PNI, seperti John Lumingkewas.

Kehadiran para tokoh muda dengan garis politik nasionalis-radikal ini membuat PNI semakin menggelora. Tema baru dalam propaganda dan indoktrinasi partai merefleksikan perubahan ini. Pidato-pidato para pemimpin partai pada waktu itu terpusat pada “kebutuhan kembali kepada kaum marhaen“, untuk membangun persatuan antara partai dan ormas di dalam Front Marhaenis yang kuat serta tekad untuk menjadikan PNI sebagai “partai pelopor“.

Ali Sastroamidjojo selaku Ketua Umum PNI menegaskan, marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan dalam konteks Indonesia. Pada pidato peringatan HUT PNI ke-36, 7 Juli 1963, di Stadion Utama Senayan, Ali Sastroamidjojo menyatakan marhaenisme adalah doktrin dan program sosialisme ilmiah dalam konteks Indonesia.

Perkembangan ini memuncak saat dicetuskan “Deklarasi Marhaenis“ dalam pertemuan Badan Pekerja Kongres PNI di Lembang, Bandung, November 1964. Deklarasi Marhaenis antara lain menyebutkan “Partai Nasional Indonesia/Front Marhaenis adalat alat bagi kaum Marhaen untuk memperdjuangkan dan merealisasikan tjita2ja jaitu: Kemerdekaan penuh, sosialisme, dan dunia baru…. Oleh karena itu, setiap Marhaenis harus senantiasa membadjakan diri dan mendidik dirinja di dalam teori dan praktek perdjuangan rakjat untuk dapat mendjadi Marhaenis jang lebih baik lagi, sebagai murid2 jang terbaik dan terperdjaja dari Bapak Marhaenisme Bung Karno, jang sekaligus djuga adalah perasan NASAKOM…. Tidak ada gerakan revolusioner, tanpa didasari oleh teori perdjuangan jang revolusioner. Marhaenisme adalah suatu faham perdjuangan jang revolusioner berdiri diatas sendi2nja massa aksi jang revolusioner dan menghendaki sjarat2 perdjuangan jang revolusioner….

Dalam sidang Badan Pekerdja Kongres PNI di Lembang itu pula disetujui marhaenisme ialah marxisme “jang diterapkan sesuai dengan kondisi2 dan situasi Indonesia”. PNI juga menegaskan cita-citanya sebagai partai kaum marhaen untuk melawa imperialisme, neo-kolonialisme, dan kapitalisme.

Retorika Deklarasi Marhaenis bukanlah sekedar tanggapan taktis terhadap iklim Demokrasi Terpimpin, melainkan merupakan tanda-tanda perubahan nyata sikap PNI terhadap isu-isu dasar yang berkembang saat itu. Pimpinan PNI di bawah Ali Sastroamidjojo mulai menatap kondisi-kondisi domestik serta kelompok yang dalam tingkah lakunya memberi peluang bagi imperialisme. Gerak politik PNI berhasil mengimbangi PKI dan tokoh-tokoh Angkatan Darat dalam pentas politik nasional.

Hubungan Presiden Soekarno dengan jajaran pimpinan PNI, terutama dari kalangan muda, semakin terjalin akrab. Pada bulan April 1964, misalnya, suatu delegasi yang berjumlah 26 aktivis muda PNI diterima Bung Karno di Istana Negara untuk membicarakan usaha-usaha pengembangan partai. Bung Karno menantang mereka untuk menjadikan PNI sebagai “partai pelopor“.

Patut dicatat, dalam masa kepemimpinan Ali Sastroamidjojo-Surachman, PNI berhasil menyelenggarakan perayaan ulang tahun partai secara besar-besaran pada bulan Juli 1965. Acara yang digelar di Stadion Senayan itu berhasil menghadirkan sekitar 100.ooo hadirin, yang bahkan mengalahkan acara yang digelar PKI sekalipun. Ketika Bung Karno hadir untuk memberikan pidato dalam acara tersebut, kata pertama yang diucapkannya saat melihat lautan manusia yang hadir adalah “Bukan main!!!“

Situasi berubah pada tahun 1965. Upaya negeri-negeri imperialis menggulingkan Bung Karno didahului dengan penghancuran basis pendukungnya: gerakan kiri. Akhirnya, dengan dalih terlibat Gestapu, militer segera menyerang PKI dan ormas-ormasnya. PNI Ali-Surachman juga terkena getahnya. Aksi-aksi mahasiswa kanan di tahun 1966 sangat akrab dengan istilah “PNI ASU” (PNI Ali Sastroamidjojo-Surachman).

Akhirnya, pada kongres luar biasa di Bandung, 21 sampai 27 April 1966, kelompok Ali-Surachman digulingkan. Kelompok sayap kanan PNI, yang sering disebut kelompok Osa-Usep, berhasil merebut kepemimpinan. Konon, Ali Moertopo, tokoh intelijen terkemuka rezim Orde Baru, terlibat langsung dalam kongres itu untuk membersihkan kaum kiri dalam PNI.

Tak lama setelah Peristiwa 30 September 1965, Ali Sastroamidjojo sempat ditawan oleh rezim Orde Baru. Meski begitu, sampai mengembuskan napasnya yang terakhir, 17 Maret 1975 (di usia 72 tahun), Ali Sastroamidjojo tetap menyebut diri sebagai seorang nasionalis sekaligus marhaenis. [Imran Hasibuan, Pemimpin Redaksi Suluh Indonesia]

(Tulisan ini pernah dimuat pada Februari 2016)