Ilustrasi: Aleppo/REUTERS/Abdalrhman Ismail

Koran Sulindo – Aleppo, kota terbesar di Suriah, kini dikuasai sepenuhnya tentara pemerintah Bashar al Assad. Ribuan orang sudah mulai kembali ke kota Aleppo yang telah hancur akibat perang saudara sepanjang lima tahun itu, seperti dikutip Sputnik, Kamis (5/1) waktu setempat.

Tak bisa dinafikan, media massa, terutama media Barat, menjadi pendorong utama dari upaya menjadikan Aleppo sebagai salah satu pusat perhatian publik.

Saat ini kehidupan di Aleppo yang kembali normal, adalah fakta yang diabaikan mayoritas media mainstream Amerika Serikat dan sekutunya. Seperti diketahui, media barat memancarkan propaganda yang baunya menyengat setelah kekalahan memalukan sekutu mereka di Aleppo, yaitu ISIS dan kawan-kawannya.  Mereka merancang pemberitaan tendensius yang menyudutkan pemerintah Suriah, terutama soal kekejaman tentaranya.

Perdana Menteri Suriah, Imad Khamis, mengatakan pembangunan kembali Aleppo dan pemaksimalan potensi industri di sana menjadi prioritas utama pemerintah.

Pada 16 Desember lalu, Kementerian Pertahanan Rusia mengonfirmasi Aleppo yang sebelumnya terbagi menjadi bagian barat yang dikuasai pemerintah, dan bagian timur yang dikuasai kelompok pemberontak telah benar-benar dibebaskan oleh Tentara Pemerintah.

Suriah sudah mempertahankan diri dari kelompok pemberontak anti-pemerintah, yang didukung AS dan sekutunya, sejak Maret 2011. Sejak 30 September 2015, Rusia mulai memberikan bantuan militer untuk Suriah atas permintaan Presiden Assad.

Sebelum perang, Aleppo merupakan pusat industri yang menyerap lebih dari 50 persen tenaga kerja manufaktur di Suriah. Ketika bagian timur Aleppo dikuasai kelompok pemberontak, kekerasan dan berbagai gempuran menghancurkan hampir seluruh kota.

Pabrik, sekolah, rumah sakit, jalanan, dan rumah warga hancur akibat bom dan penjarahan.

Menurut PBB, sebanyak 2.200 keluarga telah kembali ke distrik perumahan Hanano dalam beberapa hari terakhir.

“Orang-orang datang ke Aleppo timur untuk melihat toko mereka, rumah mereka, untuk melihat apakah bangunan milik mereka masih berdiri dan separah apa penjarahan yang dilakukan teroris, dan menimbang apakah mereka sebaiknya kembali,” kata Perwakilan Komisioner Tinggi untuk Pengungsi PBB (UNHCR) di Suriah, Sajjad Malik.

Sebelumnya, Gubernur Provinsi Aleppo Hussein Diab mengatakan kehidupan di Aleppo ‘kembali berangsur normal’. Upaya untuk memulihkan Aleppo pun terus dijalankan.

Jalanan mulai dibersihkan dari karung pasir dan puing-puing menggunakan traktor dan mesin pengangkat barang. Hal ini dilakukan agar Aleppo bisa kembali berfungsi sebagai kota. Beberapa pabrik di wilayah timur Aleppo pun mulai kembali beroperasi.

Setiap harinya, PBB menyediakan makanan bagi ribuan orang yang membangun kembali rumah mereka. Berbagai organisasi juga bekerja sama dengan pemerintah lokal untuk mengeluarkan dokumen yang tidak dapat diproses saat sektor tersebut masih dikuasai kelompok ekstremis, seperti akta kelahiran, surat kematian, dan surat nikah.

Rusia Tarik Tentaranya

Sementara itu Rusia mulai menarik kekuatan militernya dari Suriah. Salah seorang pejabat militer Rusia, Valery Gerasimov, mengatakan kapal induk dan beberapa kapal perang mulai angkat sauh dari pelabuhan Tartous di Syiria menuju Murmansk.

“Sesuai perintah dari Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Federasi Rusia, Kementrian Pertahanan Rusia akan mulai mengurangi kekuatan bersenjatanya di Suriah,” kata Gerasimov.

Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Federasi Rusia, yaitu Presiden Vladimir Putin, mengatakan Rusia setuju mengurangi kekuatan militernya di Suriah sesuai kesepakatan perjanjian gencatan senjata pada 30 Desember lalu antara pihak pemberontak dengan pemerintah.

Seperti diketahui, kekuatan militer Rusia sangat menentukan dalam menolong pemerintahan Presiden Bashar al Assad untuk merebut kembali kota Aleppo bulan lalu. Kekuatan militer yang dikirim oleh Rusia keluar negeri, merupakan yang terbesar sejak berakhirnya perang dingin. Tugas utama pasukan ini membantu pemerintahan Suriah menghadapi pemberontakan yang didukung oleh negara-negara NATO.

Berbagai serangan udara dari kapal induk Admiral Kuzetsov ke pemberontak di utara wilayah Suriah, menandai awal mulanya kapal induk tersebut digunakan sejak tahun 1980-an ketika masih merupakan negara Uni Soviet.

Perjanjian gencatan senjata ini dimediasi Turki (yang mendukung pemberontak Suni di Suriah). Perundingan perdamaian direncanakan berlangsung di Astana, ibukota Kazakhstan, akhir bulan ini, meskipun pemberontak masih tetap melakukan serangan mengganggu rencana perjanjian damai tersebut. [RBTH/Independent.co.uk/ TASS/NOR/DAS]