Koran Sulindo – Bahasa Sunda memiliki keunikan tersendiri dalam pelafalan abjad, terutama dalam pengucapan huruf F dan V. Fenomena ini menarik perhatian ahli bahasa dan sering kali menjadi ciri khas yang melekat pada masyarakat Sunda.
Pada umumnya, mayoritas orang Parahyangan kesulitan melafalkan huruf F dan V, dan sebagai gantinya menggunakan huruf P. Contoh yang paling sering ditemukan adalah pengucapan kata poli untuk voli, positip untuk positif, dan pitnah untuk fitnah dan kata kata lainnya.
Hal serupa juga bisa ditemukan dalam nama-nama khas Sunda, seperti Arip, Pitri, Pina, dan Patma, yang lebih sering menggunakan huruf P daripada F atau V. Karena itu, ketika publik mendengar nama-nama yang menggunakan huruf P, seringkali mereka langsung mengasosiasikan orang tersebut sebagai bagian dari suku Sunda.
Alasan di Balik Kesulitan Melafalkan Huruf F dan V
Melansir dari akun Instagram resmi Dinas Pendidikan Jawa Barat (Disdik Jabar), fenomena ini memiliki akar sejarah yang kuat dalam perkembangan bahasa dan aksara Sunda.
Salah satu faktor utamanya adalah pengaruh arkeologi bahasa Sunda dan aksara Sunda kuno, yang disebut Kaganga, yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Dalam sistem aksara Kaganga, huruf F dan V tidak dikenal sama sekali.
Huruf yang digunakan saat itu adalah huruf P, dan hal ini membentuk kebiasaan pelafalan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Karena tidak adanya huruf F dan V dalam aksara tersebut, orang Sunda di masa lalu tidak terlatih untuk melafalkan kedua huruf tersebut, sehingga kebiasaan ini terus tertanam dalam pikiran dan alam bawah sadar mereka hingga kini.
Namun tidak selamanya orang Sunda sulit melafalkan huruf F. Seperti dalam membaca Al-Quran huruf hijaiyah yang tersedia dalam Al-Quran justru huruf F bukan huruf P.
Adaptasi Aksara Sunda di Era Modern
Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Sunda mulai terpengaruh oleh sistem aksara modern yang digunakan secara global. Hal ini mendorong adanya adaptasi dalam aksara Sunda, yang akhirnya memasukkan huruf-huruf baru seperti F, V, Z, X, dan Q, yang sebelumnya tidak ada dalam aksara tradisional.
Meskipun demikian, hingga kini, masih banyak orang Sunda yang mengalami kesulitan untuk melafalkan huruf F dan V dengan benar. Mereka cenderung menggantinya dengan huruf P, baik dalam percakapan sehari-hari maupun penamaan.
Fenomena ini pun menjadi ciri khas yang masih kuat dalam identitas orang Sunda.
Sulitnya orang Sunda melafalkan huruf F dan V merupakan hasil dari warisan linguistik yang telah terbentuk selama berabad-abad. Pengaruh aksara Kaganga yang tidak memiliki huruf F dan V telah menciptakan pola kebiasaan yang terus bertahan hingga zaman modern.
Meskipun aksara Sunda telah beradaptasi dengan perkembangan global, ciri khas penggantian huruf F dan V dengan P masih menjadi bagian dari identitas budaya Sunda. Fenomena ini memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh sejarah dan tradisi dalam perkembangan bahasa dan pelafalan suatu masyarakat. [UN]