Alasan Mengapa Kolonel Barlian Tidak Bergabung dengan PRRI

Letnan Kolonel Barlian (Wikimedia Commons)

Kolonel Barlian adalah salah satu tokoh militer yang perannya dalam sejarah Indonesia sering kali luput dari perhatian, tetapi memiliki dampak besar dalam menjaga keutuhan negara. Di tengah pergolakan politik dan ketegangan antara daerah dan pusat pasca-kemerdekaan, banyak perwira militer memilih jalur perlawanan terhadap pemerintah pusat dengan membentuk dewan-dewan daerah yang kemudian mengarah pada lahirnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Namun, di antara mereka, ada sosok yang memilih jalan berbeda, bukan dengan mengangkat senjata melawan pemerintah, melainkan dengan mencari solusi damai demi menjaga kesatuan bangsa.

Lahir di Sumatra Selatan, Kolonel Barlian adalah perwira yang memahami kompleksitas situasi politik dan sosial di daerahnya. Ia turut serta dalam dinamika militer sejak masa pendudukan Jepang dan terus berperan dalam berbagai fase perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ketika banyak daerah di luar Jawa mulai merasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah pusat, Barlian juga mengambil langkah serupa dengan membentuk Dewan Garuda di Sumatra Selatan. Namun, berbeda dengan sebagian besar tokoh militer lain yang akhirnya mendukung PRRI, ia justru memilih jalur kooperatif dengan pemerintah pusat.

Keputusan ini bukan tanpa risiko. Di satu sisi, ia harus menghadapi tekanan dari sesama perwira militer di luar Jawa yang menghendaki perubahan radikal dalam hubungan pusat dan daerah. Di sisi lain, ia juga harus menjaga kestabilan Sumatra Selatan agar tidak terjerumus ke dalam konflik yang lebih besar. Dengan sikapnya yang moderat dan kebijaksanaannya dalam menghadapi krisis, Kolonel Barlian menunjukkan bahwa kesetiaan terhadap persatuan Indonesia lebih penting daripada ambisi politik atau kepentingan kelompok tertentu.

Lalu, bagaimana perjalanan hidup dan kariernya hingga mencapai titik ini? Apa yang membuatnya berbeda dari tokoh-tokoh militer lain yang turut dalam pergolakan PRRI? Dilansir dari laman ESI Kemdikbud, artikel ini akan mengulas lebih dalam tentang sosok Kolonel Barlian, latar belakangnya, serta keputusan strategisnya dalam menghadapi gejolak politik yang melanda Indonesia di akhir tahun 1950-an.

Pendidikan dan Awal Karir Militer

Barlian lahir di Tanjung Sakti, Lahat, Sumatra Selatan, pada 23 Juli 1922. Ia berasal dari keluarga terpandang, dengan ayahnya, H. Senapi, sebagai seorang tokoh yang mampu memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Barlian menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Bengkulu dan kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) di Malang, lulus pada tahun 1940. Ia juga sempat belajar di Sekolah Dagang di Bandung sebelum akhirnya berhenti akibat pecahnya Perang Asia Timur Raya pada 1942.

Setelah meninggalkan Sekolah Dagang, Barlian bekerja di Kantor Residen Bengkulu, tetapi pada 1943 ia memilih untuk terjun ke dunia militer dengan bergabung sebagai anggota Gyugun (Sumatera Kambu Gyugun) pada masa pendudukan Jepang. Tiga tahun kemudian, ia dipercaya memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Karesidenan Bengkulu. Setelah BKR bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Barlian menjadi Komandan TKR Karesidenan Bengkulu dengan pangkat Mayor.

Pada tahun 1950, ia ditempatkan di Markas Besar Angkatan Darat sebagai Kepala Staf Logistik. Karier militernya mencapai puncaknya pada 1956 ketika ia menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium (TT) II/Sriwijaya, di mana ia turut berperan dalam pembentukan Dewan Daerah yang menjadi cikal bakal PRRI.

Pada 1956, perwira militer di luar Jawa mulai membentuk dewan-dewan daerah akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat. Pada 22 Desember 1956, Kolonel Maludin Simbolon mendirikan Dewan Gajah di Sumatra Utara, diikuti oleh pembentukan Dewan Banteng oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein pada 20 Desember 1956. Sementara itu, pada 26 Desember 1956, Kolonel Barlian mendirikan Dewan Garuda di Sumatra Selatan.

Pada 9 Maret 1957, Barlian mengumumkan melalui radio bahwa ia telah mengambil alih pemerintahan administratif di Sumatra Selatan. Hal ini dilakukan karena adanya mosi tidak percaya terhadap Gubernur Winarno Danuatmodjo. Meski mengambil alih pemerintahan, Barlian lebih fokus pada konsolidasi dan akomodasi aspirasi rakyat dibandingkan bertindak represif terhadap pemerintah pusat.

Penolakan terhadap PRRI

Pergolakan dalam tubuh Dewan Daerah semakin memuncak, terutama setelah pertemuan di Sungai Dareh pada 9-10 Januari 1957. Dalam pertemuan ini, muncul usulan untuk membentuk pemerintahan tandingan melawan pemerintah pusat, namun Barlian memilih jalur damai dan menolak tindakan separatis. Ia bahkan mencari jalan tengah untuk menghindari perpecahan lebih lanjut.

Pada 21 Januari 1958, Barlian secara terbuka menolak gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Jakarta. Meskipun awalnya terlibat dalam Dewan Daerah, ia hanya menginginkan otonomi yang lebih besar bagi Sumatra Selatan, bukan pemisahan dari Indonesia. Ketika PRRI dideklarasikan pada 15 Februari 1958, Barlian tetap tidak bergabung meskipun membebaskan anggota Dewan Garuda untuk menentukan sikap mereka sendiri.

Sikapnya ini didasari oleh beberapa faktor, termasuk kedekatan geografis Sumatra Selatan dengan Jawa serta keberadaan banyak pekerja Jawa di sektor minyak yang mayoritas merupakan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Bergabung dengan PRRI hanya akan memperburuk keadaan dan memicu konflik lebih luas.

Kolonel Barlian adalah sosok pemimpin yang bijaksana dalam menghadapi gejolak politik dan militer di Indonesia. Meskipun sempat mengambil alih pemerintahan di Sumatra Selatan, ia tetap memilih jalan diplomasi dan menghindari keterlibatan dalam gerakan separatis PRRI.

Sikapnya yang kooperatif dengan pemerintah pusat menunjukkan bahwa ia lebih mengutamakan persatuan dan stabilitas nasional dibandingkan kepentingan kelompok. Keputusan strategisnya dalam pergolakan PRRI membuktikan bahwa ia adalah seorang pemimpin yang tidak hanya memikirkan kepentingan militer, tetapi juga kesejahteraan rakyat dan keutuhan negara. [UN]