Ilustrasi: Megawati Soekarnoputri pada kampanye PDI Perjuangan 1999/AP

Koran Sulindo – Sekitar 20-an orang itu duduk di ruang tamu di Jalan Sriwijaya II No 19 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tak jauh dari rumah Mantan Ibu Negara Fatmawati. Yang menyamakan semua adalah mereka orang-orang nasionalis; ada Sabam Sirait, Manai Sophiaan, Abdul Madjid, dan tuan rumah Supeni. Yang menyatukan mereka semua hingga sore pada pertengahan akhir 1980-an itu berkumpul adalah orang yang sama: Megawati Soekarnoputri.

Megawati bersalaman dengan orang-orang yang mengenal baik bapaknya, Presiden ke-1 Republik Indonesia, Soekarno itu. Ia hanya ditemani Mangara Siahaan. Megawati lalu duduk di tengah-tengah, tersenyum, lalu bertanya,” Ada apa om dan tante memanggil saya?”

Hening. Tuan rumah menjelaskan mereka hanya ingin menanyakan sesuatu pada anak perempuan pertama Bung Karno itu. Menurut buku Sabam Sirait (Berpolitik Bersama Tujuh Presiden di Indonesia; 2016), dalam acara itu Manai Sophian mereka dapuk menjadi juru bicara.

Manai bertanya,”Anak kami mau kemana? kok masuk PDI zaman Soeharto.”

Lalu berceritalah para sepuh ini kekhawatiran soal situasi politik terakhir. Mereka khawatir Megawati terjun ke dunia politik dan masuk Partai Demokrasi Perjuangan, partai yang sepenuhnya masih di bawah kendali orang-orang yang berkolaborasi dengan rezim Soeharto dan anti Soekarno.

Mereka cemas Megawati akan terkontaminasi, dan posisinya sebagai simbol perjuangan Bung Karno terkikis.

Ketika para nasionalis tua itu selesai bicara, Megawati hanya tersenyum, dan berkata pendek,”Aku naar Merdeka Utara.”

Merdeka Utara merujuk pada istana negara, tempat Megawati menghabiskan masa kecil dan remajanya sebagai anak presiden. Naar kata dalam bahasa Belanda yang berarti “menuju”.

Jawaban itu membuat ruangan mendadak hening. Tak ada pertanyaan lagi. Supeni lalu menyilahkan para tamu bersantap.

Menurut Sabam dalam buku tadi, sebelum Megawati memutuskan berpolitik, tersebutlah 3 orang Batak yang sering bertukar pikiran soal politik: Sabam, Yahya Nasution, dan Aberson Sihaloho. Banyak sejawat menyebut ketiganya Trio Batak.

Satu ketika percakapan 3 orang ini sampai pada kesimpulan untuk melawan Soeharto, perlu orang yang punya darah Soekarno. Pertama mereka merayu Rachmawati, tapi ia menolak karena ada kesepakatan keluarga untuk tidak berpolitik praktis dan saat itu sedang konsentrasi membangun Universitas Bung Karno.

Mereka lalu mulai merayu Megawati. Pada suatu hari tak sengaja Sabam bertemu dengan Megawati dan Taufik Kiemas di Bandar Udara Kemayoran Jakarta. “Mega, kau masuk partai ya. Masuk PDI,” kata Sabam.

Megawati hanya senyam-senyum.

Tak banyak yang menduga setelah memutuskan berpartai sekitar 1986-1987, karir politik Megawati seperti meteor. Tahun itu ia terpilih menjadi anggota DPR RI daerah pemilihan Jawa Tengah. Enam tahun kemudian menjadi Ketua Umum PDI.

Pergolakan pribadi politik yang dialaminya sejak masih kecil membuatnya teguh. Ia harus putus kuliah dari Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung karena pergolakan politik Oktober 1965. Ia kehilangan suami pertamanya, Letda Penerbang Surindro Supjarso, karena pesawat yang dibawanya di Perairan Biak, Papua, 22 Januari 1970, jatuh. Ia tak dapat melanjutkan kuliah di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, pada 1972 karena situasi ekonomi keluarga.

Setelah akhirnya benar-benar di Merdeka Utara pada 2001, Megawati menetapkan beberapa catatan penting sepanjang 3 tahun pemerintahannya, di antaranya: membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan; menghasilkan UU Kekerasan dalam Rumah Tangga; menetapkan kuota wajib 30% perempuan dalam Pemilu Legislatif (Pileg); menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN; membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK);membentuk Mahkamah Konstitusi (MK); menyelenggarakan pemilu presiden secara langsung; dan menghentikan utang luar negeri.

Seperti ditulis dalam buku “Presiden Republik Indonesia 1945-2014” (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia; 2014), kepemimpinan Megawati adalah babak baru dalam perpolitikan nasional, ketika konstitusi ditempatkan sebagai cara hidup baru dalam penghayatan kewarganegaraan. Megawati berprinsip menjaga konstitusi.

Buku itu juga menyebutkan diamnya Megawati sering kali disalahartikan sebagai ketidakmampuan, padahal sikap tersebut adalah caranya dalam mendengarkan, menyerap, dan menerima masukan demi kesejahteraan rakyat.

“Kepada anak-anakku di seluruh Tanah Air, saya minta untuk bekerjalah kembali dengan tulus, janganlah melakukan hal-hal yang bersifat emosional, karena di dalam mimbar ini kamu melihat ibumu berdiri.” [DAS]