Koran Sulindo – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) kartu tanda penduduk elektronik (KTP-E), hari ini.
“KPK menetapkan saudara SN (Setya Novanto) anggota DPR periode 2009-2014 sebagai tersangka, karena diduga dengan melakukan tindak pidana korupsi dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korproasi dengan menyalahgunakan kewenangan sarana dalam jabatannya sehingga diduga merugikan negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Senin (17/7), seperti dikutip Antaranews.com.
Dalam persidangan kasus ini, Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman mengaku Ketua Fraksi Partai Golkar pada 2010, Setya Novanto, adalah kunci dalam melancarkan proyek pengadaan KTP Elektronik (KTP-e).
“Awalnya Andi menawarkan Pak Irman, Pak Giarto, sebaiknya Pak Irman dan Pak Giarto bertemu dulu lah dengan Pak Setya Novanto. Kenapa? Pak Irman, kunci anggarannya ini ada di Pak Setya Novanto, kalau Pak Setya Novanto akan membantu, Komisi II akan ikut sendiri,” kata Irman, dalam sidang pemeriksaan terdakwa di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (12/6), seperti dikutip antaranews.com.
Pertemuan akhirnya dilakukan di Hotel Grand Melia pada pertengahan 2010 bersama dengan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri saat itu Sugiharto, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendagri Diah Anggraini, pengusaha Andi Narogong, dan Setya Novanto.
“Tadinya saya tahunya saya, Pak Giarto dan Andi dan Setya Novanto, tapi waktu saya datang, Sekjen Kemendagri Bu Diah sudah ada di situ,” katanya.
Pertemuan d Hotel Grand Melia ini tidak diakui oleh Setnov saat diperiksa sebagai saksi.
“Itu pun juga tidak diakui yang mulia, padahal Bu Diah sudah mengakui. Saya menyampaikan melalui BAP, Pak Sugiharto juga sudah menyampaikan,” katanya.
Irman menceritakan apa yang disampaikan Setnov dalam pertemuan itu.
“Pak Setya Novanto menyampaikan Saya tidak bisa lama-lama karena ada acara lain, pokoknya untuk e-KTP akan saya dukung sepenuhnya. Hanya itu intinya. Setelah itu ngomong-ngomong biasa, beliau langsung meninggalkan tempat,” kata Irman.
Sekitar seminggu atau 10 hari kemudian Andi menghubungi Irman lagi.
“Pak Irman kalau berkenan besok Pak Setya Novanto agak longgar, kita tanya bagaimana perkembangannya. Saya diajak ke ruangan Ketua Fraksi Partai Golkar dan bertemu Pak Setya Novanto,” kata Irman.
Dalam pertemuan ini, terjadilah pembicaraan soal pelancaran anggaran KTP-E di DPR.
“Pak Nov bagaimana anggaran ini supaya Pak Irman nggak ragu-ragu untuk mempersiapkan langkah-langkah. Ya sedang kita koordinasikan. Itu intinya. Waktu saya keluar perkembangannya nanti hubungi saja Andi. Berarti Andi memang sudah dekat sekali,” kata Irman.
Peran Setnov
Dalam dakwaan yang disusun JPU KPK, Setnov adalah salah satu pihak yang berperan dalam pengadaan KTP-E dengan total anggaran Rp5,95 triliun itu.
Sejumlah peran Setnov antara lain, menghadiri pertemuan di hotel Gran Melia pada 2010 yang dihadiri Irman, Sugiharto, Andi Agustinus alias Andi Narogong, mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraini dan Setnov. Dalam pertemuan itu Setnov menyatakan dukungannya dalam pembahasan anggaran proyek penerapan KTP-E.
Selanjutnya pada Juli-Agustus 2010, DPR mulai melakukan pembahasan Rencana APBN 2011, Andi Agustinus beberapa kali bertemu Setnov, Anas Urbaningrum, Nazaruddin karena dianggap representasi Partai Demokrat dan Golkar yang dapat mendorong Komisi II menyetujui KTP-E.
Proses pembahasan akan dikawal fraksi Partai Demokrat dan Golkar dengan kompensasi Andi memberikan fee kepada anggota DPR dan pejabat Kemendagri. Sebagai imbalan, Setya Novanto dan Andi Agustinus mendapat sebesar 11 persen atau sejumlah Rp574,2 miliar sedangkan Partai Golkar mendapat Rp150 miliar.
Selain Irman, terdakwa dalam perkara ini adalah mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kembalikan Uang
Terdakwa kasus korupsi dalam pengadaan KTP-Elektronik sudah mengembalikan uang dan menyesal telah menerima uang dari proyek tersebut.
Terdakwa Irman mengembalikan uang 300 ribu dolar AS dan uang Rp50 juta. Sedangkan terdakwa mengembalikan Rp270 juta dan mobil Honda Jazz.
Irman juga mengaku menyesali perbuatannya menerima uang dan mengikuti intervensi pihak luar untuk mengawal konsorsium dalam pengadaan KTP-e.
“Kesalahan yang lain, saya menyesal karena dari awal saya sangat ingin e-KTP ini dilaksanakan di Indonesia secara benar, tapi ada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan intervensi dari pihak-pihak luar termasuk ke saya agar mengawal tiga konsorsium,” kata Irman.
Secara emosional menceritakan tidak pernah tenang menjabat sebagai Dirjen Dukcapil selama 5 tahun.
“Serba salah saya. Saya ditekan, diintervensi. Saya punya cita-cita dapat tetap bekerja. Saya tidak menikmati uang, jadi dirjen pun saya tidak menikmati karena saya pulang subuh selama 5 tahun. Saya tidak menikmati sama sekali karena tekanan-tekanan dari orang yang tidak benar Yang Mulia, betul,” kata Irman dengan terbata-bata menahan tangis.
Sugiharto juga menyesal.
“Hanya dapat Rp270 juta dan mobil Honda Jazz. Saya mengakui kesalahan saya. Saya menyesal demi Allah saya mohon keringanan,” kata Sugiharto sambil tersedu.
Sidang tuntutan kedua terdakwa dilaksanakan pada 22 Juni nanti. [DAS]