Akankah Ketua DPR Setya Novanto Habiskan Masa Tuanya di Penjara gara-gara E-KTP?

Setya Novanto dan istrinya, Deisti Astriani Tagor, ketika mendaftar calon Ketua Umum Partai Golkar, Mei 2016.

Koran Sulindo – Sidang perdana dugaan skandal korupsi gede banget terkait pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP) digelar Kamis ini (9/3) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Dalam kasus ini, diperkirakan negara dirugikan lebih dari Rp 2 triliun. Nilai proyeknya sendiri hampir Rp 6 triliun.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo pun mengungkapkan, akan ada banyak nama yang akan menyembul dalam persidangan. “Mudah-mudahan tidak ada guncangan politik yang besar ya, karena nama yang akan disebutkan memang banyak sekali,” tutur Agus di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Jumat lalu (3/3).

Bukan hanya itu, Agus juga mengatakan, publik kemungkinan akan terkejut dengan nama-nama yang akan muncul itu. Kalau Anda mendengarkan dakwaan dibacakan, Anda akan sangat terkejut. Banyak orang yang namanya disebut di sana. Anda akan terkejut,” tutur Agus. Penyebutan nama-nama besar itu, tambahnya, sebagai tanda dibukanya kembali penyelidikan baru atas perkara tersebut. “Nanti secara periodik, secara berjenjang. Ini dulu, habis ini siapa, itu ada ya,” katanya.

Namun, di kalangan wartawan kemudian beredar foto-foto semacam surat dakwaan itu, lengkap dengan nama-nama. Sampai sekarang belum ada klarifikasi dari KPK, apakah foto-foto tersebut memang foto-foto surat dakwaan. Yang pasti ada nama Ketua DPR Setyo Novanto di sana. Di sana tertulis antara lain sebagai berikut.

“Setelah melakukan beberapa kali pertemuan, kemudian diperoleh kesepakatan bahwa DPR RI akan menyetujui anggaran pengadaan KTP Elektronik sesuai dengan grand design tahun 2010 yakni kurang-lebih senilai Rp5.900.000.000.000,00 (lima triliun sembilan ratus miliar rupiah) yang proses pembahasannya akan dikawal oleh Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar, dengan kompensasi ANDI AGUSTINUS als ANDI NAROGONG akan memberikan fee kepada anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri. Guna merealisasikan pemberian fee tersebut, ANDI AGUSTINUS als ANDI NAROGONG membuat kesepakatan dengan SETYA NOVANTO, ANAS URBANINGRUM, DAN MUHAMMAD NAZARUDDIN tentang rencana penggunaan anggaran KTP Elektronik….”

Selanjutnya kemudian diuraikan berapa bagian masing-masing orang yang nama-namanya disebutkan itu. Untuk Setya Novanto dan Andi Agustinus alias Andi Narogong mendapat Rp 574.200.000.000 atau lebih dari setengah triliun rupiah.

Nazaruddin sendiri, seperti diketahui, telah menjadi narapidana untuk sejumlah kasus korupsi dan kini mendekam di balik jeruji penjara. Anas Urbaningrum juga kini berada di hotel prodeo karena perkaran korupsi kasus Hambalang.

Nazaruddin pada 7 Oktober 2016 lalu juga telah diperiksa penyidik KPK untuk kasus e-KTP ini, untuk tersangka Sugiharto, mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, yang merupakan pejabat pembuat komitmen. Sugiharto ditetapkan sebagai tersangka sejak tahun 2014 lalu.

Setelah diperiksa KPK, Nazar kepada wartawan mengungkapkan soal keterlibatan Setya Novanto. “Pembagian uangnya dikoordinasikan oleh Setya Novanto,” katanya. Proyek e-KTP, lanjutnya, dikendalikan penuh oleh Anas Urbaningrum dan Setya Novanto. Nazar mengaku menjadi pelaksana di lapangan bersama Andi Saptinus atau Andi Agustinus atau Andi Naragong.

Tahun 2013 lampau, Nazar juga sudah mengatakan hal yang hampir serupa. “Proyek ini juga diatur oleh Anas. Ada saya, ada Setya Novanto. Novanto bukan hanya e-KTP. Novanto banyak ngurus proyek, tapi namanya tidak ada di mana-mana. Tapi, soal bagi-bagi duit, dia selalu mengatur di mana-mana dan 2.000 persen orang ini dilindungi orang yang sangat kuat,” ungkap Nazar ketika itu. Bahkan, ia juga menegaskan, semua pernyataannya tentang kendali Anas di proyek e-KTP dapat dipertanggung jawabkan dan tidak mengada-ada.

Bahkan, Nazar juga menuding mantan Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah menerima uang dari dirinya. Penerimaan uang itu juga katanya berkaitan dengan proyek pengadaan baju Hansip dan e-KTP. “Terkait uang yang mengalir itu kapan, yang mengasih pada proyek apa, urusannya apa, itu juga sudah sempat disupervisi KPK. Nilai kedua proyek itu sekitar Rp 7 triliun,” tutur Nazaruddin.

Saat diwawancara oleh Iwan Piliang melalui Skype di masa pelariannya pada 19 Juli 2011 lampau, Nazaruddin juga pernah menyebutkan hal yang sama. “Pada 2010 lalu, Chandra Hamzah dua kali melakukan transaksi dengan saya. Jadi, saya tahu kelakuan Chandra Hamzah dan Ade Raharja. Proyek tersebut telah diperiksa awal. Namun, pemimpin proyek, yaitu Andi,  telah datang kepada Chandra dengan memberikan sejumlah dana dan meminta KPK untuk mengamankan kedua proyek itu,” tutur Nazaruddin.

Terkait Andi Narogong, KPK telah menggeledah rumah milik Andi di Central Park Beverly Hills, Kota Wisata Cibubur, Jawa Barat, pada 24 April 2014.

Tahun 2013, pengacara Nazar, Elza Syarief, juga pernah membagi-bagikan sebuah dokumen, yang isinya informasi mengenai keterlibatan Andi dalam kasus ini. Andi disebutkan beberapa kali memberikan uang ke panitia tender pada Februari 2011. Juga kepada pejabat Kementerian Dalam Negeri dan anggota DPR.

Dokumen tersebut juga berisi bagan yang menunjukkan hubungan pihak-pihak yang terlibat dalam dugaan korupsi proyek e-KTP. Nama Andi Narogong berada dalam satu kotak dengan Nazaruddin di bawah kategori “Pelaksana”. Lalu, dari kotak itu ditarik tanda panah ke kotak berkategori “Boss Proyek e-KTP”, yang di dalamnya ada nama Setya Novanto dan Anas Urbaningrum.

Dari kotak bos tersebut dibuat tanda panah ke tiga kotak lagi, yakni kotak yang diberi label “Ketua/Wakil Banggar yang Terlibat Menerima Dana”,  “Ketua/Wakil Ketua Komisi II DPR RI yang Terlibat Menerima Dana”, dan kotak tanpa pemberian label. Semua kotak itu berisi nama-nama.

Setya Novanto berkali-kali telah membantah keterlibatan dirinya dalam kasus tersebut. Terakhir pada Rabu kemarin (8/3). Ia mengatakan, “Mudah-mudahan saya tidak menerima dana apa pun dari e-KTP. Semuanya sudah saya serahkan dalam penyidikan dalam KPK dan sudah saya klarifikasi,” kata Setya Novanto di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat. Ia juga membantah pertemuannya dengan Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan Andi Narogong guna membahas e-KTP.Nama Setyo Novanto sendiri bukan kali ini saja muncul dalam kasus dugaan korupsi. Pada tahun 2015 lalu, misalnya, ia bahkan resmi mundur dari posisinya sebagai Ketua DPR karena kasus dugaan permintaan saham PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo. Pengunduran dirinya disampaikan melalui surat resmi dan dibacakan secara terbuka di sidang Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI.

Setya Novanto juga pernah disebut-sebuh namanya dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan lapangan tembak PON di Riau tahun 2012. Yang mengatakan itu adalah Nazaruddin. Setya Novanto, katanya, menggunakan pengaruhnya buat menekan Komisi Olahraga DPR agar memuluskan anggaran Pekan Olahraga Nasional dari APBN.

Penyelidik KPK bahkan menggeledah ruang kerja Setya Novanto pada 19 Maret 2013. Namun, ia cuma diperiksa sebatas saksi, dengan tersangka utama mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal. Setya Novanto membantah tuduhan suap ini.

Sebelum itu, Setya Novanto juga diduga terlibat dalam skandal impor limbah beracun dari Singapura ke Batam tahun  2004. Kasusnya sendiri mencuat kemudian, yakni ketika pada tahun 2006 ada lebih dari 1000 ton limbah beracun asal Singapura mendarat di Pulau Galang, Batam. Uji laboratorium Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) memaparkan, limbah yang disamarkan sebagai pupuk organik itu mengandung tiga jenis zat radioaktif, yaitu Thorium 228, Radium 226, dan Radium 228 dengan kadar 100 kali lipat di atas batas normal.

Akan halnya pihak pengimpornya adalah PT Asia Pasific Eco Lestari (APEL) milik Setya Novanto. Namun, Setya Novanto mengaku sudah mengundurkan diri dari perusahaan tersebut pada tahun 2003. Anehnya, dalam dokumen milik PT APEL yang bertanggal 29 Juni 2004, Setyo Novanto disebut sebagai pihak yang menandatangani nota kerja sama dengan perusahaan Singapura. Malah, dalam surat kontrak itu disebutkan, PT APEL akan mengimpor 400 ribu ton pupuk alias limbah ke Indonesa dari Singapura.

Lalu, nama Setyo Novanto juga disebut-sebut dalam kasus dugaan penyeludupan beras impor asal Vietnam tahun 2003. Namanya tidak muncul sendiri, tapi bersama teman separtainya, Idrus Marham. Ketia itu, perusahaan miliknya, PT Hexatama Finindo, memindahkan 60.000 ton beras yang dibeli dari Vietnam dari Bea Cukai tanpa membayar pajak dengan nilai semestinya. Banyak media ketika itu melaporkan, bea impor yang dibayarkan cuma untuk 900 ton beras. Terkait hal ini, Kejaksaan Agung pada tahun 2006 telah memeriksa Setya Novanto.Namun, kasus kemudian seolah hilang ditelan bumi.

Nama Setya Novanto juga muncul dalam kasus kongkalikong pengalihan hak piutang Bank Bali tahun 1999. Kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp 900 miliar. Ketika itu, Bank Bali melakukan pengalihan dana sebesar lebih dari Rp 500 miliar kepada PT Era Giat Prima yang dimiliki Setya Novanto, Djoko S. Tjandra, dan Cahyadi Kumala.

Djoko Tjandra akhirnya menjadi tersangka utama. Namun, Setya Novanto lolos karena keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) dari Kejaksaan Agung. Jaksa Agung ketika itu adalah M.A.Rachman.

Akankah Setya Novanto dalam kasus e-KTP ini menghabiskan masa tuanya di sel penjara? [PUR]