AK Gani: Nasionalis Flamboyan

Suluh Indonesia – Kalau ditelusuri catatan-catatan sejarah yang membicarakan Adenan Kapau Gani atau yang lebih dikenal dengan nama AK Gani, khalayak mungkin akan berkesimpulan dia merupakan politisi paling berwarna sekaligus flambolyan di masanya. Ia lulusan Stovia, sekolah dokter Jawa, sekolah kedokteran bagi kalangan pribumi di masa Hindia Belanda. AK Gani juga salah seorang tokoh pergerakan nasional.
Selain itu, Gani juga dikenal luas sebagai praktisi ekonomi serta ahli strategi militer (dengan pangkat terakhir mayor jenderal tituler). Ia pun pernah menekuni dunia jurnalistik, sebelum menjadi penggubah puisi.

Mohammad Hatta, Proklamator dan Wakil Presiden Pertama RI, pernah menyebut AK Gani sebagai seorang “Thespian yang baik”. Thespian merujuk pada tokoh mitologi Yunani yang bisa memerankan pelbagai lakon sekaligus dalam waktu bersamaan.

Adapun wartawan empat zaman Rosihan Anwar mencatat AK Gani sebagai colourfull doctor. Sebutan itu terutama berkaitan dengan aktivitas Gani berperan sebagai aktor utama dalam film Asmara Moerni, yang diproduksi tahun 1941. Dalam flm yang disutradarai Raden Arifin itu, Gani berpasangan dengan Djoewariah, salah seorang aktris terkenal di masa itu. Karena menjadi bintang film itu, Gani dikritik dari segala penjuru. “Kok seorang tokoh pergerakan nasional, dokter, dan intelektual mau terjun ke dunia sandiwara, dunia wayang Stambul? Itu tidak pantas,” begitu antara lain kata pengritiknya.

Tapi, Gani cuek saja. Baliho yang dipasang di bioskop Kramat, Batavia memperlihatkan close-up Gani dan Djoewariah. Gani dengan rambut keriting, disisir belah tengah, hidung mancung memang ganteng alias handsome. “Petualangan” pertamanya menjadi bintang film ternyata juga yang terakhir.

Di masa hidupnya, AK Gani memang dikenal sebagai politisi terkemuka. Jejak tokoh kelahiran Desa Palembayan, sekitar 40 kilometer sebelah barat Bukit Tinggi, Sumatera Barat, 16 September 1905 ini berawal di masa pergerakan nasional. Ketika masih duduk sebagai siswa di sekolah menengah di Jakarta, ia sudah ikut dalam organisasi Indonesia Muda, yang dibentuk Bung Karno. Gani juga tercatat sebagai peserta dalam Kongres Pemuda II tahun 1928, yang melahirkan Sumpah Pemuda. Kendati hanya berstatus peserta, AK Gani berperan sebagai penyumbang dana untuk suksesnya kongres yang diketuai Sugondo Djojopuspito itu.

Menurut Agus Nugroho dalam Sosok Pejuang Bangsa; Dokter Adenan Kapau Gani saat itu sudah merintis berbagai usaha, mulai dari mengelola penginapan, menjadi makelar buku-buku asing, hingga menyelenggarakan usaha penerbitan. Mereka yang tadinya datang dengan semangat kedaerahan dalam kongres itu akhirnya bersepakat melebur dalam wadah berwatak nasional: Komisi Besar Indonesia Muda (KBIM).

Setelah empat tahun berkecimpung dalam organisasi pemuda, Gani memutuskan terjun ke dunia politik. Suasana politik ketika itu (1931) masih dihangatkan dengan berita penangkapan Soekarno, Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI), oleh polisi Belanda.Pasca-penangkapan itu, PNI terbelah menjadi dua kubu akibat isu adanya pelarangan dan pembubaran partai. Mereka yang propembubaran membentuk Partai Indonesia (Partindo). Sementara itu, yang tidak setuju pembubaran (Hatta dan Sjahrir) mendirikan PNI Baru. Dalam situasi membingungkan itulah AK Gani menetapkan pilihannya untuk bergabung dengan Partindo.

Keluar dari penjara Sukamiskin, Soekarno berupaya menyatukan kembali PNI, tapi gagal. Soekarno kemudian memutuskan masuk Partindo dan terpilih menjadi Ketua Partindo. Sejak itu, hubungan Gani dan Soekarno terjalin erat.

Menurut Rosihan Anwar (2008), ketika Gubernur Jenderal De Jonge (menjabat (1931-1936) bertindak keras, antara lain dengan mengasingkan Bung Karno ke Ende-Flores dan Bung Hatta serta Bung Sjahrir ke Boven Digul, dan nasionalis koperator seperti MH Thamrin, Soetardjo, dan Soekardjo Wirjopranoto di Dewan Rakyat (Volksraad) masih mengangkat suara, Gani memilih masuk Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang sifatnya left-of-center, bersama Mr Amir Syarifuddin, Mr Muhammad Yamin, dan dari generasi lebih muda antara lain Adam Malik. Gani melihat bagaimana pemerintah kolonial Belanda melecehkan tuntutan Indonesia berparlemen dan tidak memperhatikankan secara sungguh-sungguh “Petisi Soetardjo” tahun 1936 di Volksraad, yang menyeruka pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri dan dalam masa 10 tahun mengadakan konferensi antara Hindia dan Kerajaan Belanda.

Tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, sekitar akhir Agustus 1945, Presiden Soekarno menunjuk AK Gani sebagai Ketua PNI Wilayah Sumatera sekaligus menjabat Residen Palembang. Sebelumnya, pada Mei 1945, Jepang membentuk Badan Kebaktian Rakyat. Tujuannya: membangun kekuatan bersama rakyat jajahan untuk membendung tentara Sekutu seraya menjanjikan kemerdekaan. Namun, dalam pertemuan Chou Sangi in (Sidang Umum Dewan Sumatera), Gani berteriak lantang, “Tidak ada Indonesia merdeka berarti tidak ada bantuan untuk Jepang!”

Menariknya, pada saat kebanyakan daerah di Indonesia terperangkap konfrontasi melawan Sekutu, Gani justru mampu menciptakan iklim kondusif di Palembang. “Ia bahkan menempatkan Palembang sebagai poros utama kegiatan ekonomi Republik Indonesia,” tulis Mestika Zed, dalam buku Kepialangan Politik dan Revolusi: Palembang 1900-1950 (LP3ES, 2003). Strategi Gani saat itu disebut “diplomasi minyak.” Dengan penuh optimisme, ia pada 30 Agustus 1946 menelegram Menteri Penerangan Mohammad Natsir di Yogyakarta: “Segera kedua instalasi minyak Plaju dan Sungai Gerong diperbaiki sehubungan dengan oil diplomacy… Pengangkutan minyak mentah ini dapat dijadikan mekanisme diplomatik yang ampuh untuk memperoleh pengakuande jure.”

Gani lalu menawarkan kesepakatan kepada Sekutu: pihak Republik Indonesia diwakili Persatoean Pegawai Minjak (PPM) sebagai pelaksana sekaligus pemegang hak konsesi, sementara pihak perusahaan Belanda (Shell dan Nederlandsch Koloniale Petroleum Maatschappi) hanya diberi kewenangan sebagai penanam modal. Uniknya, harga didasarkan negosiasi PPM dengan pihak Sekutu sebagai pembeli.

Dalam kesepakatan itu juga ditegaskan, instalasi minyak di luar Plaju dan Sungai Gerong tidak termasuk dalam perjanjian. Pemeritahan Republik akan mengeksploitasi sendiri ladang-ladang minyak di daerah pedalaman, di bawah otoritas Peroesahaan Minjak Republik Indonesia (Permiri), menggantikan perusahaan minyak Jepang (Dai Ichi Seyudyo dan Dai ni Seyudyo). Dengan demikian, Tentara Rakyat Indonesia (TRI) untuk wilayah Palembang, yang dijuluki sebagai “Batalyon Minyak” berfungsi mengamankan jalannya produksi dan distribusi.

Menurut Mestika Zed, hasil dari penjualan minyak itu disalurkan ke kas negara, untuk membiayai birokrasi pemerintahan. Tak kalah penting: untuk anggaran militer sebagai persiapan menghadapi kemungkinan agresi Belanda. “Hasilnya, Tentara Nasional Indonesia saat itu mulai mendapatkan seragam dan persenjataan yang dibeli melalui penyelundupan, karena laut Indonesia diblokade Belanda,” tulis Mestika.

Konon, dalam suatu kurun waktu, Gani pernah menghasilkan sekitar US$ 5 juta untuk republik yang baru berdiri sebagai hasil dari diplomasi minyak.

Salah seorang petugas lapangan yang dipercaya Gani dalam tugas-tugas penyelundupan di Selat Malaka untuk memperoleh senjata adalah Laksamana John Lie. Kenyataannya, tak hanya minyak, Palembang juga memiliki potensi sumber daya alam lain yang mampu dimaksimalkan Gani untuk membiayai republik yang masih bayi itu, antara lain tambang batubara, komoditas karet, kopi, dan lada.<

Peran penting yang dimainkan Gani di Palembang serta merta mendongkrak pamornya. Tak mengherankan bila, pada Oktober 1946, ia diangkat sebagai Menteri Kemakmuran. Salah satu programnya sebagai menteri adalah membentuk pranata ekonomi baru bernama BTC (Banking and Trading Company). Cabang-cabang BTC hampir ada di seluruh daerah Jawa, Sumatera, dan Singapura. Jaringan BTC yang terhimpun lebih dari 20 perusahaan besar bumiputra punya jaringan luas, mulai dari Singapura, Hong Kong, Shanghai, San Francisco, New York, Washington, sampai London.

Dalam kapasitasnya sebagai diplomat, Gani juga dinilai Belanda sebagaiondiplomatieke opmerking” akibat watak dan gayanya yang sering meledak-ledak alias tak bisa menahan emosi dalam menyampaikan pendapat politiknya. Pada pertemuan lanjutan usai penandatanganan Perjanjian Linggarjati, misalnya, dengan nada tinggi Gani berkata, ”Sekarang, Belanda tidak tak punya hak lagi mengeluarkan izin ekspor hasil pertanian Indonesia!”

Akibatnya, Wakil Panglima Angkatan Laut Belanda AS Pinke menimpalinya tak kalah sengit, “Saya adalah penguasa perairan di kepulauan ini!”

Gani membalas dengan senyum penuh arti, seolah mengatakan bahwa blokade Belanda itu tak ada pengaruhnya. Sebab, ia sudah terbiasa dan selalu berhasil melakukan penyelundupan.

Berkat sepak terjang dan perilakunya, suatu ketika Presiden Soekarno memuji AK Gani, “Jika Belanda menjuluki AK Gani dengan sebutan Raja Penyelundup di Asia Timur, the greatest smuggler of East Asia, rakyat Indonesia menyebut dirinya Menteri Kemakmuran!”

Berbagai gagasan dan pengalaman berpolitik AK Gani itulah yang banyak diserap mantan Ketua MPR Taufiq Kiemas di masa mudanya. Taufiq Kiemas bersama kawan-kawan aktivis GMNI Palembang banyak belajar pemikiran tentang demokrasi dari Gani.

Dalam salah satu tulisannya berjudul “Kembali ke UUD 1945“, yang ditulis di Palembang pada Mei 1960, Gani menyatakan ia tak setuju demokras liberal ala Barat karena hanya bermakna demokrasi politik, tidak mencakup demokrasi ekonomi. Gani juga tidak setuju demokrasi sentralisme karena bermakna diktatorisme, seperti yang terjadi di Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina (RRC). Menurut Gani, demokrasi yang ideal adalah seperti yang termaktub dalam UUD 1945, yaitu demokrasi yang menghendaki sosio-demokrasi: demokrasi dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial.

Apa yang diungkapkan Gani mengenai politik-ekonomi Indonesia, yang dipaparkan dalam tulisan lainnya merupakan bacaan wajib para aktivis GMNI Palembang. Dalam tulisan itu, Gani menyebutkan, “Kedudukan ekonomi suatu bangsa menentukan kedudukan politiknya. Terutama oleh kelemahan kedudukan ekonomi, maka suatu bangsa di suatu waktu dalam sejarahnya menemui kemunduran kedudukan politiknya, artinya kehilangan kemerdekaan atau dijajah bangsa lain. Kuat kedudukan ekonomi, kuat pula kedudukan politik, artinya tetap merdeka. Lemah kedudukan ekonomi, lemah pula kedudukan politik, artinya harapan akan dijajah. Jadi, titik berat dari keadaan tetap merdeka, kehilangan kemerdekaan, mencapai kemerdekaan, dan mempertahankan kemerdekaan ditentukan oleh keadaan keuangan dan ekonomi suatu bangsa.“

Semua itu tidak berhenti sebagai pemikiran dan gagasan di atas kertas belaka, tapi berusaha direalisasi Gani dalam kehidupan nyata. Itulah sebabnya, saat menjadi Residen Palembang di awal kemerdekaan, Gani mendirikan Badan Koordinasi Ekonomi boeat Keresidenan (KEK)—suatu lembaga yang melakukan koordinasi kegiatan pranata-pranata ekonomi pemerintah dan kelompok bisnis swasta di Palembang.

Semasa berdomisili di Palembang itulah Gani menjadi tokoh yang diidolakan kalangan muda nasionalis di kota tersebut. Salah seorang di antaranya, ya, itu tadi: Taufiq Kiemas. Bahkan, bisa dibilang Gani merupakan salah seorang yang paling memengaruhi Taufiq Kiemas di masa awal karir politiknya. Ya, AK Gani adalah mentor politik utama Taufiq ketika ia masih menjadi aktivis mahasiswa di Palembang, pertengahan tahun 1960-an. “Dari Pak Ganilah saya dan kawan-kawan aktivis GMNI Palembang mendapat semangat gerakan, sekaligus pencerahan pemikiran. Pandangan-pandangan politik beliau meninggalkan jejak yang kuat dalam gagasan-gagasan saya tentang kebangsaan,” kata Taufiq Kiemas.

Di masa itu, Gani merupakan salah seorang tokoh politik utama di Sumatera Selatan, bahkan di wilayah Sumatrea. Ia juga menjabat Ketua Front Nasional Sumatra Selatan.

Tapi, yang paling dikagumi Taufiq Kiemas dari mentor politiknya itu adalah solidaritas sosial dan sikap kerakyatannya yang kuat. Sikap kerakyatan itu tampak jelas saat ia melakukan praktik dokter di Palembang. Jika pasien yang berobat dari kalangan kurang mampu, Gani dengan ikhlas tak menarik biaya sepeser pun alias gratis.

Memang, tak lama lulus dari Stovia di tahun 1940, ia pindah ke Palembang, dan membuka praktik dokter di kota itu. Praktik dokternya di Palembang ramai. Pasien-pasiennya suka meminta injeksi spesial kepada Gani agar lekas sembuh, dikenal sebagai “suntikan maut”. Kata “maut’ dalam frasa itu berkonotoso positif.

AK Gani meninggal dunia pada Desember 1968 di usia 63 tahun. “Kepergian Pak Gani membuat aku dan kawan-kawan GMNI merasa kehilangan. Bagaimanapun, beliau merupakan mentor politik dan inspiratorku dalam berpolitik,” tutur Taufiq Kiemas, yang juga sudah menyusul sang mentor ke haribaan Ilahi beberapa tahun lalu. [Imran Hasibuan, Pemimpin Redaksi Suluh Indonesia]

(Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 5 Februari 2016)