Peran penting yang dimainkan Gani di Palembang serta merta mendongkrak pamornya. Tak mengherankan bila, pada Oktober 1946, ia diangkat sebagai Menteri Kemakmuran. Salah satu programnya sebagai menteri adalah membentuk pranata ekonomi baru bernama BTC (Banking and Trading Company). Cabang-cabang BTC hampir ada di seluruh daerah Jawa, Sumatera, dan Singapura. Jaringan BTC yang terhimpun lebih dari 20 perusahaan besar bumiputra punya jaringan luas, mulai dari Singapura, Hong Kong, Shanghai, San Francisco, New York, Washington, sampai London.
Dalam kapasitasnya sebagai diplomat, Gani juga dinilai Belanda sebagaiondiplomatieke opmerking” akibat watak dan gayanya yang sering meledak-ledak alias tak bisa menahan emosi dalam menyampaikan pendapat politiknya. Pada pertemuan lanjutan usai penandatanganan Perjanjian Linggarjati, misalnya, dengan nada tinggi Gani berkata, ”Sekarang, Belanda tidak tak punya hak lagi mengeluarkan izin ekspor hasil pertanian Indonesia!”
Akibatnya, Wakil Panglima Angkatan Laut Belanda AS Pinke menimpalinya tak kalah sengit, “Saya adalah penguasa perairan di kepulauan ini!”
Gani membalas dengan senyum penuh arti, seolah mengatakan bahwa blokade Belanda itu tak ada pengaruhnya. Sebab, ia sudah terbiasa dan selalu berhasil melakukan penyelundupan.
Berkat sepak terjang dan perilakunya, suatu ketika Presiden Soekarno memuji AK Gani, “Jika Belanda menjuluki AK Gani dengan sebutan Raja Penyelundup di Asia Timur, the greatest smuggler of East Asia, rakyat Indonesia menyebut dirinya Menteri Kemakmuran!”
Berbagai gagasan dan pengalaman berpolitik AK Gani itulah yang banyak diserap mantan Ketua MPR Taufiq Kiemas di masa mudanya. Taufiq Kiemas bersama kawan-kawan aktivis GMNI Palembang banyak belajar pemikiran tentang demokrasi dari Gani.
Dalam salah satu tulisannya berjudul “Kembali ke UUD 1945“, yang ditulis di Palembang pada Mei 1960, Gani menyatakan ia tak setuju demokras liberal ala Barat karena hanya bermakna demokrasi politik, tidak mencakup demokrasi ekonomi. Gani juga tidak setuju demokrasi sentralisme karena bermakna diktatorisme, seperti yang terjadi di Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina (RRC). Menurut Gani, demokrasi yang ideal adalah seperti yang termaktub dalam UUD 1945, yaitu demokrasi yang menghendaki sosio-demokrasi: demokrasi dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial.
Apa yang diungkapkan Gani mengenai politik-ekonomi Indonesia, yang dipaparkan dalam tulisan lainnya merupakan bacaan wajib para aktivis GMNI Palembang. Dalam tulisan itu, Gani menyebutkan, “Kedudukan ekonomi suatu bangsa menentukan kedudukan politiknya. Terutama oleh kelemahan kedudukan ekonomi, maka suatu bangsa di suatu waktu dalam sejarahnya menemui kemunduran kedudukan politiknya, artinya kehilangan kemerdekaan atau dijajah bangsa lain. Kuat kedudukan ekonomi, kuat pula kedudukan politik, artinya tetap merdeka. Lemah kedudukan ekonomi, lemah pula kedudukan politik, artinya harapan akan dijajah. Jadi, titik berat dari keadaan tetap merdeka, kehilangan kemerdekaan, mencapai kemerdekaan, dan mempertahankan kemerdekaan ditentukan oleh keadaan keuangan dan ekonomi suatu bangsa.“
Semua itu tidak berhenti sebagai pemikiran dan gagasan di atas kertas belaka, tapi berusaha direalisasi Gani dalam kehidupan nyata. Itulah sebabnya, saat menjadi Residen Palembang di awal kemerdekaan, Gani mendirikan Badan Koordinasi Ekonomi boeat Keresidenan (KEK)—suatu lembaga yang melakukan koordinasi kegiatan pranata-pranata ekonomi pemerintah dan kelompok bisnis swasta di Palembang.