Ilustrasi

Koran Sulindo – Berdasarkan semua analisis pertumbuhan industri penerbangan Indonesia disebut sedang bergairah dan akan terus bertumbuh. Dan tak ada yang perlu dikhawatirkan apabila pesawat Lion Air JT-610 tidak jatuh di Laut Jawa pada 20 Oktober tahun lalu.

Pasalnya, Indonesia disebut sebagai salah satu pasar domestik terbesar dan paling dinamis di dunia. Lalu lintas penerbangan domestik telah meningkat 3 kali lipat setidaknya dalam 12 tahun terakhir sejak 2005. Pada tahun itu, misalnya, jumlah penumpang pesawat komersial dalam negeri tidak lebih dari 30 juta orang.

Hanya berselang 12 tahun, pertumbuhan jumlah penumpang menembus lebih dari 100 juta pada 2017. Kendati demikian, rasio pengguna pesawat udara kita terbilang masih kecil hanya 0,48 kali dari total jumlah penduduk. Masih kalah dibandingkan Singapura yang 5 kali dari jumlah penduduknya. Sementara Malaysia 3,5 kali dan Australia 3 kali dari jumlah penduduknya.

Tak lebih dari 6 bulan, masalah baru muncul pada awal 2019. Beberapa perusahaan penerbangan berbiaya rendah (LCC) serentak mengumumkan kenaikan tarif pesawat dan pemberlakukan bagasi berbayar. Keputusan itu tentu saja mengejutkan masyarakat dan disebut berdampak kepada berbagai bidang lainnya terutama aspek pariwisata.

Merujuk kepada data Badan Pusat Statistik pada Januari 2019, harga tiket pesawat berpengaruh pada penurunan jumlah penumpang. Bandara Internasional Soekarno Hatta Jakarta misalnya, mengalami penurunan sebesar 23,31% dan Bandara Internasional Juanda Surabaya mengalami penurunan hingga 12,74%.

Sementara tingkat okupansi hotel berdasarkan catatan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) turun 20% hingga 40% karena tingginya harga tiket pesawat.

Kebijakan ini juga menuai pertanyaan dan spekulasi. Sebagian masyarakat menilai ada praktik bisnis yang tidak sehat dalam penaikan harga tiket tersebut. Itu sebabnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) segera menyelidiki dugaan persekongkolan 2 perusahaan penerbangan yang menguasai pangsa pasar industri penerbangan kita: Grup Garuda dan Grup Lion.

Kendati demikian, AirAsia Indonesia salah satu perusahaan penerbangan yang juga berbiaya rendah justru bertahan dan tidak menaikkan harga tiket pesawatnya. Meski hanya menguasai pangsa pasar domestik sekitar 2%, sebagian masyarakat lalu beralih menggunakan AirAsia. Kebijakan AirAsia itu rupanya memicu masalah baru.

Pertemuan
Berdasarkan liputan Kumparan pada 18 Maret lalu, Garuda dan Lion Air melalui petingginya Ari Askhara Danadiputra dan Rusdi Kirana dalam sebuah pertemuan menekan agen perjalanan daring sejak Februari lalu untuk tidak menjual tiket AirAsia. Padahal, agen perjalanan daring ingin menjual semua tiket pesawat. Soal ini, pejabat Garuda Indonesia Ikhsan Rosan membantah tentang pertemuan tersebut.

Sementara CEO AirAsia Indonesia Dendy Kurniawan melalui pesan WhatsApp pada Minggu (24/3) mengatakan, pihaknya tidak tahu kalau agen perjalanan daring tidak mau jual tiket pesawat AirAsia karena permintaan perusahaan penerbangan lain. “Coba tanya agen travel-nya saja,” kata Dendy singkat.

Daftar agen perjalanan daring yang tak lagi menjual tiket AirAsia terus bertambah. Setidaknya menurut CNN Indonesia jumlahnya telah mencapai 15 agen perjalanan daring yang antara lain Traveloka, tiket.com, WITA Tour, Golden Rama Tour da via.com. Tiket AirAsia juga sudah tak bisa dibeli di situs penjualan daring seperti Tokopedia, BliBli.com, Bukalapak dan jd.id

Dendy mengakui hal tersebut dan dilakukan secara sepihak oleh agen perjalanan daring. Mereka sama sekali tidak menjelaskan pemutusan tersebut kepada AirAsia? “Tidak tuh. Kenapa ya?” ujar Dendy tertawa.

Dikatakan Dendy, kendati 15 agen perjalanan daring tak mau lagi menjual tiket pesawat mereka, tapi tidak mempengaruhi penjualan tiket AirAsia. Terlebih porsi penjualan tiket melalui agen perjalanan daring hanya 20% dari total penjualan tiket.

Adapun alasan untuk menaikkan harga tiket pesawat disebut karena membengkaknya biaya operasional pesawat yang tidak sebanding dengan harga tiket. Dikatakan harga bahan bakar minyak atau avtur mengalami kenaikan tajam dan menjadi komponen terbesar untuk biaya operasional pesawat yakni mencapai 40% hingga 45%.

Soal ini, Dendy tak membantahnya. Kenaikan harga avtur akan membuat biaya operasional melonjak. Namun, itu tak perlu dijadikan sebagai kambing hitam. Apalagi biaya avtur bukan faktor penentu utama dalam menetapkan harga tiket. Lebih baik perusahaan penerbangan berpikir kreatif dan sehat untuk meningkatkan efisiensi serta terus berinovasi.

“Tapi apakah kenaikan biaya (operasional) tersebut dibebankan kepada penumpang berupa kenaikan harga tiket tentunya menjadi kebijakan dan strategi tiap-tiap perusahaan penerbangan,” kata Dendy.

Jika AirAsia tetap bisa melayani penumpang dengan bertahan tak menaikkan harga tiket pesawat, lantas mengapa Grup Garuda dan Grup Lion tak mampu? [KRG]