Koran Sulindo – Polisi akan memeriksa Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama di gedung Mabes Polri Selasa (22/11) pagi besok.
Polisi mendakwa Ahok melanggar Pasal 156 dan 156 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Polisi menganulir pengenaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sebelumnya, Kabareskrim Komjen Ari Dono menyebutkan pasal yang menjerat Ahok yakni Pasal 156a KUHP juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
“Tidak berkaitan dengan UU ITE,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar di Jakarta, Senin (21/11), seperti dikutip Antara.
Pada Rabu (16/11) lalu, Badan Reserse Kriminal Polri menetapkan Ahok sebagai tersangka kasus penistaan agama karena mengutip Alquran dan menyebut adanya pihak yang menggunakan ayatnya untuk keperluan tertentu. Ahok mengatakan itu saat berbicara di hadapan warga Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.
Menurut Peraturan Komisi Pemilihan Umum, status Ahok sebagai tersangka tidak membatalkan kepesertaannya dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017, Februari nanti. Status Ahok baru gugur jika sudah berstatus terpidana.
Polisi kini masih terus menuntaskan pemeriksaan serta pengambilan berita acara dari para saksi ahli.
“Termasuk saksi baru yang membuat laporan polisi terakhir kemarin ada dua itu mudah-mudahan bisa dimasukkan dalam berkas perkara,” kata Boy.
Pasal 156a KUHP menyebutkan, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pasal itu mengancam hukuman penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
UU ITE
Pada 27 Oktober lalu DPR dan pemerintah sepakat merevisi UU ITE yang kontroversial itu.
Revisi UU ITE itu dirumuskan dalam tujuh poin. Salah satunya penjelasan pada Pasal 27 ayat 3 akan ditambah untuk menghindari multitafsir.
Selain itu, ancaman pidana yang terpatri pada Pasal 45 ayat 1 juga bakal diubah. Semula, hukum pencemaran nama baik paling lama enam tahun menjadi empat tahun, dan denda Rp 1 miliar menjadi Rp 750 juta.
Namun revisi itu masih dalam tahap persetujuan. Masih ada tahap pemberkasan agar poin-poin revisi tersebut sahih dan mulai diberlakukan. [DAS]