Koran Sulindo – Sejak awal, ormas Islam garis keras tidak setuju dengan kepemimpinan Basuki Tjahja Purnama atau Ahok di DKI Jakarta, atas dasar agamanya. Kelompok ormas Islam garis keras yang memiliki paham anti-Pancasila itu sangat tidak rela jika dipimpin oleh Ahok yang Kristen dan Tionghoa.
Serangan politik pertama terhadap Ahok terjadi pada 3 Oktober 2014. Aksi demonstrasi dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) di depan kantor DPRD Jakarta. FPI menolak Ahok dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta karena ia keturunan Tionghoa dan non-muslim. Aksi tersebut berlangsung ricuh. Massa FPI melempar batu seukuran kepalan tangan ke arah polisi yang berjaga di sekitar gedung DPRD. Akibatnya, empat polisi terluka di kepala. Selain itu, empat pegawai DKI terkena lemparan batu. Akibatnya, ketua DPD FPI Jakarta, Habib Ali Alatas atau Habib Selon, dipidana karena dituding sebagai provokator.
Setelah itu, FPI kembali berunjuk rasa menolak Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 10 November 2014. Saat itu, Ahok yang berstatus sebagai pelaksana tugas gubernur akan dilantik secara resmi tanggal 19 November 2014. Massa FPI beramai-ramai bernyanyi menyatakan penolakannya dipimpin Ahok. Mereka bahkan dengan emosi meminta agar Ahok keluar dari Jakarta. “Usir Ahok dari Jakarta,” ujar massa.
Pada aksi 2 Desember 2014, massa FPI yang bergabung dengan beberapa ormas lainnya dalam Gerakan Massa Jakarta (GMJ), kembali berdemonstrasi di depan gedung DPRD DKI Jakarta menuntut Ahok lengser dari jabatannya. “Kita siap lengserkan Ahok, gua nggak mau tahu, Ahok harus turun,” ujar ketua FPI Habib Rizieq di depan Gedung DPRD DKI. Dalam aksinya, Rizieq didampingi Fahrurozi yang digadang-gadang sebagai gubernur tandingan. Saat berorasi, Rizieq menyatakan membuat Presidium Penyelamat Jakarta. “Hari ini kita adakan rapat akbar Jakarta. Mari kita sukseskan musyawarah umat Islam. Kami ingin ibukota berada di situasi yang tidak berbahaya. Kita tidak ingin murka Allah, karena itu kita tidak menyia-nyiakan maka kita membentuk Presidium Penyelamat Ibukota Jakarta,” kata Rizieq saat itu.
Sebagai Ketua Presidium Penyelamat Ibukota Jakarta, FPI menunjuk Ketua Umum Front Betawi Rempug (FBR) Munawi Asli. Sejumlah nama seperti Rhoma Irama, Fahrurozi, dan tokoh Islam dan Betawi lainnya diklaim masuk menjadi anggota Presidium. Tak hanya membentuk Presidium, FPI dan GMJ dalam aksi itu juga melantik anggota FPI Fahrurozi Ishaq sebagai gubernur DKI Jakarta tandingan. “Dalam waktu 5 menit, dengan ini menimbang dan memutuskan, mulai hari ini di hati kita, punya gubernur rakyat Kiai Haji Fahrurozi Ishaq. Jadi Ahok buang saja ke bak sampah. Ditetapkan 1 Desember 2014, Senin, jam 11.05 di depan Gedung DPRD. Tertanda seluruh anggota Presidium,” ujar Ketua Presidium Penyelamat Jakarta Munawi di depan Gedung DPRD Jakarta. Di sinilah kemudian FPI dan sejumlah ormas lainnya memunculkan isu akan mengusung gubernur tandingan.
Serangan terhadap Ahok selanjutnya mulai menjurus pada isu korupsi, mulai dengan tuduhan korupsi pengadaaan bus Transjakarta, kasus pembelian lahan rumah sakit Sumber Waras dan kasus Reklamasi Teluk Jakarta menjadi isu yang dihembuskan oleh ormas Islam dalam aksi menuntut Ahok lengser.
Polemik tentang RS Sumber Waras dimulai dari laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan bahwa prosedur pembelian lahan RS Sumber Waras menyalahi aturan dan diduga menyebabkan kerugian negara hingga Rp 191 miliar. Ahok pun dituding terlibat korupsi dalam pembelian lahan RS Sumber Waras. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri belum menemukan dugaan korupsi pada pembelian lahan RS Sumber Waras.
Saat Ahok menyatakan diri akan maju kembali di Pilkada DKI Jakarta melalui jalur independen bersama dengan Kepada Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DkI Jakarta Heru Budi Hartono pada 7 Maret 2016, kelompok ormas Islam garis keras ini pun semakin gencar melakukan aksi dan kampanye hitam terhadap Ahok.
Komunitas relawan Teman Ahok yang mengusung dan melakukan pengumpulan KTP warga Jakarta sebagai syarat dukungan calon independen juga tidak luput dari serangan lawan politik Ahok, termasuk dari anggota DPRD DKI Jakarta yang berseteru dengan gubernur perihal rancangan APBD DKI Jakarta. Muhammad Taufik, Haji Lulung, dan Muhammad Sanusi merupakan sebagian nama anggota DPRD yang paling getol menyerang Ahok.
Serangan terhadap Teman Ahok dilakukan pertama kali dengan cara menggugat keberadaan kantor Sekretariat Teman Ahok yang berada di atas lahan Pemprov DKI Jakarta dengan cara membentuk (Panitia Khusus) Pansus aset. Ahok kemudian malah menantang akan buka-bukaan tentang aset pemerintah DKI Jakarta yang banyak dimanfaatkan oleh pihak swasta. Akhirnya, pansus aset yang telah dibentuk itu tidak mengusut kantor sekretariat Teman Ahok. Serangan selanjutnya adalah soal adanya KTP Palsu yang dikumpulkan oleh relawan Teman Ahok. Setelah itu muncul isu adanya aliran dana sebesar Rp 30 miliar dan dana operasional sebesar Rp 12 miliar dari konglomerat China.
Serangan lain terhadap Ahok adalah pada kasus suap reklamasi Teluk Jakarta. Kasus ini bermula saat Tim Satuan Tugas (Satgas) KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap anggota DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi bersama seorang karyawan swasta pada 31 Maret 2016. Keduanya diduga menerima uang pemberian dari karyawan PT APL Trinanda Prihantoro. Pemberian dugaan suap itu terkait terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Wilayah Zonasi Pesisir Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) dan Raperda Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Selanjutnya KPK menetapkan tiga tersangka yaitu Mohamad Sanusi, Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja, dan karyawannya Trinanda Prihantoro. Ahok pun dituduh ikut terlibat dalam perkara suap tersebut.
Setelah Ahok memutuskan untuk mencalonkan diri melalui jalur partai politik berpasangan dengan Djarot pada 27 Juli 2016, serangan terhadap Ahok semakin gencar dan lebih bernuansa suku, agama dan ras (SARA).
Kasus Penistaan Agama
Serangan terakhir kelompok ormas Islam garis keras terhadap Ahok terjadi pada kasus penistaan agama. Kasus ini bermula ketika beredar video di youtube tentang pidato Ahok saat melaksanakan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Dalam video tersebut, Ahok menyinggung sebagian pihak yang menggunakan dalil Surat Al Maidah ayat 51 untuk kepentingan politik tidak memilihnya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sontak video tersebut viral dan menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Kelompok ormas Islam tersebut seakan mendapatkan peluru baru untuk menyerang Ahok. Langsung saja mereka menuduh Ahok melakukan penistaan agama.
Akhirnya pada 14 Oktober 2016, ribuan orang dari ormas keagamaan seperti FPI, Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), Forum Betawi Bersatu (FBB), dan Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) menggelar aksi menentang Ahok, dengan tuduhan penistaan agama. Pada kesempatan tersebut, hadir pula berbagai tokoh masyarakat dan politisi seperti Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, dan lain-lain. Pada demonstrasi penistaan agama ini, amarah massa terhadap Ahok semakin besar hingga memunculkan kalimat-kalimat provokatif seperti bunuh Ahok.
Melihat besarnya kemarahan umat Islam yang tersulut penistaan ayat Al Quran, akhirnya pada 10 Oktober 2016, Ahok mengucapkan permintaan maaf kepada umat Islam terkait ucapannya yang dinilai melecehkan kitab suci. “Saya sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang merasa tersinggung, saya sampaikan mohon maaf. Tidak ada maksud saya melecehkan agama Islam atau apa,” kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta.
Meski sudah meminta maaf kepada umat Islam, aksi terhadap Ahok tetap dilakukan dengan tuntutan agar Ahok diproses secara hukum. Akhirnya aksi demonstrasi bertajuk Aksi Bela Islam terjadi pada 4 November 2016 diikuti oleh 100 ribu orang. Para demonstran bukan saja berasal dari Jakarta, melainkan dari berbagai daerah sekitar Jakarta seperti Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Selain itu demonstrasi juga terjadi di beberapa daerah seperti Solo, Medan, dan Pekanbaru.
“Kalau saya lihat, demo ini terpicu oleh beberapa hal, pertama kelompok yang memang dari awal tidak suka terhadap gaya bicara Basuki Tjahaja Purnama; kedua, kelompok yang terprovokasi atas nama penistaan agama; dan ketiga, kelompok yang mempunyai agenda Khilafah,” ungkap Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian dalam suatu kesempatan talkshow di Metro TV.
Besarnya gaung rencana aksi 4 November 2016 sempat membuat Presiden Joko Widodo bertemu Prabowo di kediamannya di Hambalang dan juga mengumpulkan beberapa pimpinan ormas Islam besar di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah di istana negara agar dapat memberikan pemahaman kepada umat Islam tentang rencana aksi tersebut.
Bahkan isu rencana aksi 4 November ini membuat mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar jumpa pers di kediamannya di Puri Cikeas, Bogor, 2 November 2016. SBY bereaksi atas informasi yang disebutnya berasal dari intelijen bahwa ada parpol yang menggerakkan dan mendanai rencana aksi unjuk rasa. Satu hari sebelumnya SBY menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menko Polhukam Wiranto.
Akhirnya, demonstrasi 4 November tersebut berakhir dengan ricuh. [Nursatyo]