Ahmad Subardjo: Bertaruh Nyawa agar Proklamasi Kemerdekaan Terlaksana

Achmad Soebardjo (sebelah kiri Bung Karno, jas abu-abu)/istimewa

Hari masih pagi ketika Soediro datang membawa kabar mengejutkan. Dengan gugup tiba-tiba saja dia muncul dan langsung menyatakan, “Mereka telah menculik keduanya!”

“Keduanya siapa?” yang dilapori balik bertanya.

“Soekarno dan Hatta,” Soediro menjawab.

“Ke mana mereka telah pergi?” tanyanya lagi.

Soediro menggeleng tidak tahu. Ia hanya tahu “penculik” kedua tokoh itu justru sedang rapat di kantornya, di Jalan Prapatan Gambir 59. Mereka emoh memberi tahu di mana mereka menyembunyikan kedua pemimpin tersebut.

Soediro adalah Sekretaris Pribadi Ahmad Soebardjo. Dia melapor karena malam sebelumnya mereka sama-sama hadir di kediaman Soekarno. Mereka menjadi saksi bagaimana Soekarno dan Hatta adu urat dengan para pemuda yang dipimpin Chairul Saleh dan Wikana, yang mendesak pernyataan proklamasi kemerdekaan.

Adu urat itu berakhir menjelang dini hari dan pemuda benar-benar masygul kepada kedua pemimpin itu. Soekarno tak kalah kecewa dengan ketidaksabaran para pemuda tersebut. Bahkan, saking marahnya, Bung Karno sempat “menyerahkan” lehernya kepada mereka.

“Jangan dikira saya pengecut. Kamu para pemuda tidak usah menunggu sampai esok. Jika kamu ingin leher saya, seretlah saya ke pekarangan depan rumah dan bunuhlah saya!” kata Bung Karno sembari menyodorkan lehernya dan memegangnya dengan kedua tangan.

Wikana yang semula ngotot menjadi mengerut dan langsung surut. Ia benar-benar terkejut dengan muntahan kemarahan itu. Wikana mencoba meluruskan dengan menyebut pernyataannya tentang ledakan kekerasan tersebut jangan disalahmengertikan.

Dalam bukunya, Kesadaran Nasional: Sebuah Otobiografi, laporan Soediro pada pagi 16 Agustus 1945 itu benar-benar membuat Soebardjo terenyak. Ini kejadian gawat, pikir Soebardjo yang tiba-tiba menyadari dirinya telah terperosok dalam sebuah dilema sangat pelik.

Di benaknya bermacam soal langsung berkecamuk. Apa yang akan dilakukan dengan pertemuan Panitia Persiapan di Pejambon pukul 10.00 nanti jika ketua dan wakilnya tidak hadir? Menunda pertemuan sampai hari berikutnya? Tapi, bagaimana menemui semua anggota dalam waktu sesempit itu?

Seandainya ia tahu di mana Soekarno dan Hatta disembunyikan, jelas dia tak bakal buang-buang waktu dan bakal langsung menemui mereka sebelum pukul 10.00 pagi. Masalahnya, dia benar-benar tidak tahu. Hanya Wikana yang tahu tempatnya dan dia sekarang sedang rapat di kantor. Namun, langsung menemui Wikana jelas bukan tindakan bijak.

Kalkulasinya sederhana, sebelum mencari Soekarno dan Hatta, Soebardjo harus sudah mengantongi dukungan penguasa. Di Jakarta yang tengah bergolak, Angkatan Laut Jepang atau Kaigun selalu bisa menjadi andalan. Jika karena sesuatu dan lain hal, para penculik itu jatuh ke tangan Angkatan Darat Jepang atau Rikugun, satu-satunya yang sanggup menolong cuma Kaigun. Itu sudah berkali-kali dibuktikan Laksamana Muda Maeda di masa lalu.

Kepada Soediro, ia meminta segera dihubungkan dengan Shigetada Nishizima di Markas Besar Kaigun. Begitu tersambung, telepon langsung diambil alih.

“Saya harus memberitahukan kepada Tuan bahwa Tuan Soekarno dan Hatta telah hilang. Mereka mungkin ditahan oleh pihak Angkatan Darat. Apakah kiranya Tuan dapat menggerakkan penguasa-penguasa Angkatan Laut untuk campur tangan dalam masalah ini?” kata Subardjo.

Ia juga merasa perlu memberi tahu secara pribadi kepada Maeda. Hanya dalam waktu lima menit, ia sudah ada di rumah sang Laksamana. Meski kaget, Maeda langsung senang dengan kunjungan itu. Namun, sebelum Soebardjo membuka mulutnya, tuan rumah sudah mendahului.

“Mengapa Tuan datang sendiri saja dan tidak dengan Tuan Soekarno dan Hatta? Saya telah berjanji kepada Tuan-Tuan sekalian kemarin untuk menyampaikan berita resmi tentang penyerahan kami,” serobot Maeda.

Membujuk Pemuda

Tanpa diminta, Soebardjo langsung menceritakan masalahnya. Maeda terperanjat dengan perkembangan baru itu. Setelah terdiam lama, kepada Soebardjo, Maeda berjanji bakal mengumpulkan kekuatan dan mencari Soekarno dan Hatta dengan segala daya upaya. Soebardjo langsung pamit.

Beranjak dari rumah Maeda, matahari sepenggalah tingginya. Tak membuang waktu, ia langsung mengarah ke Jalan Prapatan Gambir 59 menemui Wikana dan para pemuda. Di rumah ini juga Soediro dan keluarganya tinggal.

Kepada Soediro, ia meminta Wikana dipanggil. Begitu yang dicari muncul, Wikana langsung kena semprot. “Apa yang telah kamu perbuat terhadap Soekarno dan Hatta?”

“Ini sudah menjadi keputusan kami dalam pertemuan semalam, untuk keselamatan, kami bawa ke suatu tempat di luar Jakarta,” tutur Wikana.

“Apakah akibat dari tindakan tersebut telah kamu pikirkan?”

“Putusan itu bukan keputusan pribadi saya, tetapi merupakan keputusan dari semua golongan pemuda. Tugas saya ialah membujuk Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan pada malam kemarin dan kembali melapor,” kata Wikana.

“Begini, Wikana. Kita telah bekerja sama sejak lama dan saya kira tak ada alasan bagimu untuk merahasiakan kepadaku tempat mereka disembunyikan,” bujuk Soebardjo.

Wikana bimbang dan lama terdiam. Ketika akhirnya berbicara, ia meminta izin merundingkan soal ini dengan yang lain.

Wikana datang lagi, kali ini bersama Pandu Kertawiguna, rekan Adam Malik di kantor berita Jepang, Domei. Kepada Soebardjo, Pandu mengaku tak bisa mengatakan di mana Soekarno dan Hatta. Ia sendiri juga tidak tahu, pihak Pembela Tanah Air (Peta) merahasiakan tempatnya dan tak mau ambil risiko memberitahu para pemuda.

“Kita sekarang sedang menunggu seseorang yang akan membawa berita tentang itu,” kata Pandu.

Jawaban Pandu benar-benar mengecewakan Soebardjo. Penjelasan kepada para pemuda jelas hanya akan mengulang tarik urat seperti yang terjadi di rumah Soekarno. Juga tawaran diplomasi dan dukungan Kaigun atau potensi ancaman Rikugun tak digubris.

“Kami tidak takut sedikitpun untuk melakukan apa yang kami kehendaki,” kata Pandu. Suaranya bernada keras dan mengejek sekaligus. “Biarkan mereka datang, kami telah siap menghadapi segala sesuatu.”

Wikana dan Pandu segera meninggalkan Soebardjo sendiri di ruangan itu. Mereka bergabung dengan pemuda-pemuda yang lain, yang datang silih berganti. Kediaman Soediro siang itu benar-benar sibuk.

Menjelang sore, Nizhizima datang dan mengaku telah berbicara panjang-lebar dengan Wikana. Ia berhasil meyakinkan Wikana akan dukungan Kaigun. Ketika akhirnya si pembawa berita datang, sikap para pemuda berubah dan mengizinkan Soekarno dan Hatta kembali atas jaminan Kaigun.

Pandu, Wikana, dan juga Jusuf Kunto si pembawa berita kepada Soebardjo menjelaskan, tindakan menyembunyikan kedua pemimpin itu tidak lain dipicu kekhawatiran Soekarno dan Hatta akan dibunuh Rikugun atau paling menjadi sandera jika kerusuhan pecah. Itu juga untuk mempercepat proses proklamasi kemerdekaan.

Kepada mereka, Soebardjo meminta mereka menunjukkan persembunyian Soekarno dan Hatta.

“Pak Bardjo tidak bisa pergi sendiri karena terlalu berbahaya, dan saya yakin mereka akan melarang Pak Bardjo menemui Soekarno dan Hatta tanpa ditemani orang yang mereka kenal dari pihak mereka. Jusuf Kunto akan menemani Pak Barjdo,” ujar Pandu.

Menuju Rengasdengklok

Soebardjo segera diliputi kelegaan dan mengajak Soediro ikut menemui Soekarno dan Hatta. Tepat pukul empat sore, Skoda tua dengan ban-bannya yang sudah halus meluncur, dengan Jusuf Kunto duduk di sebelah pengemudi, sedangkan Soebardjo dan Soediro di jok belakang. Meski tak tahu akan akan ke mana, Soebardjo memilih bungkam tak bertanya.

Skoda melaju cepat dan di Jatinegara berbelok ke arah Karawang. Mobil berhenti ketika Kunto memerintahkan dan terlihat dua atau tiga kali ia berbicara dengan orang berseragam Peta untuk mengkonfirmasi sandi. Sial, dekat Rengasdengklok, ban mobil pecah dan baru menjelang gelap mobil masuk Karawang, lalu berbelok ke pendapa kawedanan yang menjadi markas Peta.

“Eh, Sukarni kok di sini?” tanya Soebarjdo kepada pemuda berseragam yang menemui dirinya. “Kamu telah menyulitkan kerja kita dengan menculik Soekarno dan Hatta ke tempat ini. Kami telah berada di puncak untuk memproklamasikan kemerdekaan kita!”

“Maaf,” Sukarni menjawab dengan nada dramatis. “Tindakan ini bukan prakarsa pribadi. Saya adalah abdi revolusi kita. Saya hanya memenuhi tugas yang dibebankan pada diri saya.”

Soebardjo dibawa menemui Mayor Subeno yang segera menggelar “interogasi” singkat sekaligus meminta jaminan secepatnya proklamasi kemerdekaan diumumkan. Ia meminta proklamasi kemerdekaan dilaksanakan saat itu juga. Permintaan itu ditolak Soebardjo karena tak masuk akal.

“Bagaimana kalau pukul 06.00 pagi besok?” tawar Subeno.

“Saya akan berusaha sedapat-dapatnya. Kami mungkin selesei pukul 06.00. Tetapi, menjelang tengah hari besok kami pasti telah siap,” kata Soebardjo.

“Jika tidak, bagaimana?” tanya Subeno.

“Mayor, jika segala sesuatunya gagal, sayalah yang memikul tanggung jawabnya dan Mayor boleh tembak mati saya,” kata Soebardjo nekat memberikan jaminan.

Jaminan itu memuaskan Subeno dan Subardjo dipertemukan dengan Soekarno dan Hatta, yang segera bersiap-siap kembali ke Jakarta. Beberapa menit berselang, semua sudah berkumpul di depan pendapa. Juga tiga buah mobil yang menunggu, termasuk Skoda tua milik Soebardjo.

Tepat jam sembilan malam, rombongan mulai bergerak menuju Jakarta. Di mobil, Sukarni duduk antara Soebardjo dan pengemudi, sedangkan di jok belakang Soekarno, Fatmawati, dan bayi mereka, Guntur.

Ketika melewati Klender, kobaran api terlihat dari kejahuan. Sukarni yang gelisah mulai gemetar. Pistolnya digerak-gerakkan dengan tangan siap menembak.

“Nah, sekarang mulailah revolusi kita dan rakyat sedang bergerak menuju Jakarta untuk membakar kota. Marilah kita kembali ke Rengasdengklok dan memproklamirkan kemerdekaan di sana saja.”

Setelah diperiksa, tak ada revolusi. Asal api hanyalah sekam yang dibakar petani untuk mengusir nyamuk.

Berhasil membawa pulang Bung Karno bukan berarti pekerjaan Soebardjo beres. Dia  berusaha mencari Sjahrir dan, atas ajakan Sukarni, sekaligus mengumpulkan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan di Jalan Imam Bonjol 1. Soekarno dan Hatta baru menyusul lewat dini hari, menjelang pukul 02.00.

Di tempat itulah kemudian naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia disusun dalam debat sengit dan sepengetahuan Jepang. Ketika akhirnya teks itu siap dan dibacakan, Sukarni dan golongan pemuda langsung menolak dan minta diubah karena dianggap tak revolusioner. Permintaan itu ditolak Panitia Persiapan Kemerdekaan. Selain soal teks, perdebatan melebar ke siapa penanda tangan naskah dan tempat pengumuman proklamasi kemerdekaan.

Rapat baru benar-benar berakhir pukul 06.00 pagi, tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum bubar, Soekarno di ujung kalimatnya meminta mereka kembali hadir di Jalan Pegangsaan Timur 56 pukul 10.00 pagi untuk menyaksikan Proklamasi Kemerdekaan.

Soebardjo masih tidur pada jam itu. Termasuk ketika datang dua utusan Soekarno untuk menjemput dirinya. Ia tak bisa datang dan hanya mengirim pesan agar dimaafkan sekaligus meminta agar upacara proklamasi kemerdekaan itu segera dimulai saja. Sebagai orang yang paling sibuk menjelang detik-detik proklamasi kemerdekaan, Soebardjo dengan enteng melewatkan momen paling bersejarah bagi bangsa Indonesia itu. Ya, ia memang berhati lapang. [TGU]

* Tulisan ini pernah dimuat pada 13 Desember 2017