Menuju Rengasdengklok

Soebardjo segera diliputi kelegaan dan mengajak Soediro ikut menemui Soekarno dan Hatta. Tepat pukul empat sore, Skoda tua dengan ban-bannya yang sudah halus meluncur, dengan Jusuf Kunto duduk di sebelah pengemudi, sedangkan Soebardjo dan Soediro di jok belakang. Meski tak tahu akan akan ke mana, Soebardjo memilih bungkam tak bertanya.

Skoda melaju cepat dan di Jatinegara berbelok ke arah Karawang. Mobil berhenti ketika Kunto memerintahkan dan terlihat dua atau tiga kali ia berbicara dengan orang berseragam Peta untuk mengkonfirmasi sandi. Sial, dekat Rengasdengklok, ban mobil pecah dan baru menjelang gelap mobil masuk Karawang, lalu berbelok ke pendapa kawedanan yang menjadi markas Peta.

“Eh, Sukarni kok di sini?” tanya Soebarjdo kepada pemuda berseragam yang menemui dirinya. “Kamu telah menyulitkan kerja kita dengan menculik Soekarno dan Hatta ke tempat ini. Kami telah berada di puncak untuk memproklamasikan kemerdekaan kita!”

“Maaf,” Sukarni menjawab dengan nada dramatis. “Tindakan ini bukan prakarsa pribadi. Saya adalah abdi revolusi kita. Saya hanya memenuhi tugas yang dibebankan pada diri saya.”

Soebardjo dibawa menemui Mayor Subeno yang segera menggelar “interogasi” singkat sekaligus meminta jaminan secepatnya proklamasi kemerdekaan diumumkan. Ia meminta proklamasi kemerdekaan dilaksanakan saat itu juga. Permintaan itu ditolak Soebardjo karena tak masuk akal.

“Bagaimana kalau pukul 06.00 pagi besok?” tawar Subeno.

“Saya akan berusaha sedapat-dapatnya. Kami mungkin selesei pukul 06.00. Tetapi, menjelang tengah hari besok kami pasti telah siap,” kata Soebardjo.

“Jika tidak, bagaimana?” tanya Subeno.

“Mayor, jika segala sesuatunya gagal, sayalah yang memikul tanggung jawabnya dan Mayor boleh tembak mati saya,” kata Soebardjo nekat memberikan jaminan.

Jaminan itu memuaskan Subeno dan Subardjo dipertemukan dengan Soekarno dan Hatta, yang segera bersiap-siap kembali ke Jakarta. Beberapa menit berselang, semua sudah berkumpul di depan pendapa. Juga tiga buah mobil yang menunggu, termasuk Skoda tua milik Soebardjo.

Tepat jam sembilan malam, rombongan mulai bergerak menuju Jakarta. Di mobil, Sukarni duduk antara Soebardjo dan pengemudi, sedangkan di jok belakang Soekarno, Fatmawati, dan bayi mereka, Guntur.

Ketika melewati Klender, kobaran api terlihat dari kejahuan. Sukarni yang gelisah mulai gemetar. Pistolnya digerak-gerakkan dengan tangan siap menembak.

“Nah, sekarang mulailah revolusi kita dan rakyat sedang bergerak menuju Jakarta untuk membakar kota. Marilah kita kembali ke Rengasdengklok dan memproklamirkan kemerdekaan di sana saja.”

Setelah diperiksa, tak ada revolusi. Asal api hanyalah sekam yang dibakar petani untuk mengusir nyamuk.

Berhasil membawa pulang Bung Karno bukan berarti pekerjaan Soebardjo beres. Dia  berusaha mencari Sjahrir dan, atas ajakan Sukarni, sekaligus mengumpulkan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan di Jalan Imam Bonjol 1. Soekarno dan Hatta baru menyusul lewat dini hari, menjelang pukul 02.00.

Di tempat itulah kemudian naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia disusun dalam debat sengit dan sepengetahuan Jepang. Ketika akhirnya teks itu siap dan dibacakan, Sukarni dan golongan pemuda langsung menolak dan minta diubah karena dianggap tak revolusioner. Permintaan itu ditolak Panitia Persiapan Kemerdekaan. Selain soal teks, perdebatan melebar ke siapa penanda tangan naskah dan tempat pengumuman proklamasi kemerdekaan.

Rapat baru benar-benar berakhir pukul 06.00 pagi, tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum bubar, Soekarno di ujung kalimatnya meminta mereka kembali hadir di Jalan Pegangsaan Timur 56 pukul 10.00 pagi untuk menyaksikan Proklamasi Kemerdekaan.

Soebardjo masih tidur pada jam itu. Termasuk ketika datang dua utusan Soekarno untuk menjemput dirinya. Ia tak bisa datang dan hanya mengirim pesan agar dimaafkan sekaligus meminta agar upacara proklamasi kemerdekaan itu segera dimulai saja. Sebagai orang yang paling sibuk menjelang detik-detik proklamasi kemerdekaan, Soebardjo dengan enteng melewatkan momen paling bersejarah bagi bangsa Indonesia itu. Ya, ia memang berhati lapang. [TGU]

* Tulisan ini pernah dimuat pada 13 Desember 2017