Koran Sulindo – Ketika Malala Yousafzai ditembak di kepalanya oleh anggota Tehrik-e-Taliban masyarakat internasional benar-benar terhenyak. Bagi Malala yang berusia 15 tahun, perang jelas tak cermat memilah-milah korban. Tak peduli anak-anak atau wanita mereka gampang saja jadi korban.
Sementara Taliban segera digambarkan sebagai monster yang bengis, Malala ditampilkan sebagai simbol perlawanan. UNESCO meluncurkan kampanye “Stand Up For Malala” sekaligus mengundangnya bertemu orang-orang penting termasuk Presiden Amerika Barack Obama dan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon.
Malala juga diundang berbicara di depan sidang Majelis Umum PBB dan menerima banyak penghargaan dan namanya masuk dalam 100 Orang Paling Berpengaruh versi majalah Time. Ia juga ditasbihkan sebagai ‘Woman of the Year’ oleh majalah Glamour.
Belakangan, Malala dinominasikan sebagai penerima Nobel Perdamaian tahun 2013, dan sekali lagi pada tahun 2014 saat ia memenangkannya. Pers Barat benar-benar mendukungnya dan bahkan mereka menciptakan ‘Hari Malala’.
Pekan lalu ketika Ahed Tamimi, gadis Palestina berusia 16 tahun ditangkap otoritas Israel masyarakat internasional benar-benar bungkam.
Tamimi dituduh ‘menyerang’ seorang tentara Israel ketika mereka memasuki halaman belakang rumahnya. Insiden itu terjadi tak lama setelah seorang tentara menembak sepupunya yang berusia 14 tahun di kepala hingga koma. Tentara juga melepaskan gas air mata langsung ke rumah mereka dan memecahkan jendela. Selain menangkap Tamimi, ibu dan sepupunya juga ditangkap dan tetap berada di tahanan.
Shenila Khoja-Moolji penulis Forging the Ideal Educated Girl: The Production of Desirable Subjects in Muslim South Asia dalam kolomnya di Al Jazeera mengkritik sejauh ini tak terdengar suara pembelaan dari mereka yang mengaku kelompok feminis, pembela hak asasi manusia atau pemimpin-pemimpin barat yang gemar berkotbah soal hak asasi manusia dan para pemberdaya anak atau perempuan. Padahal seperti Malala, Ahed juga berangkat dari latar belakang yang sama. Melawan ketidakadilan!
Tak ada kampanye #IamAhed atau #StandUpForAhed menjadi berita utama. Bahkan tak satu pun kelompok feminis dan hak asasi atau tokoh politik mengeluarkan pernyataan mendukungnya atau mengutuk tindakan Israel itu. Tidak ada yang mengumumkan ‘Hari Ahed’.
Di masa lalu, organisasi yang mewakili orang cacat yang telah melakukan pertarungan mengesankan membela dan mendapatkan hak, ternyata tak sepicingpun melirik ketika seorang penyandang cacat di kursi roda ditembak sniper Israel tepat di kepalanya di Jalur Gaza.
Organisasi perempuan yang berjuang keras dan agresif melawan pelecehan seksual tak mengucapkan sepatah katapun melawan penutupan kasus seorang tahanan Palestina yang mengklaim diperkosa Polisi Perbatasan Israel. Juga anggota Knesset yang terhormat tak memprotes penangkapan politik memalukan rekan mereka, Khalida Jarrar yang penahanannya dilakukan tanpa pengadilan.
Shenila menyebut Ahed, seperti Malala mengusung substansial sama melawan ketidakadilan. Ia memprotes perampokan tanah dan air oleh para pemukim yang disponsori Israel. Bahkan jika dibanding Malala yang ‘kaya’, Ahed jauh lebih banyak dalam hal berkorban. Ia kehilangan paman dan sepupunya selama pendudukan. Orang tua dan saudara laki-lakinya juga ditangkap berkali-kali. Ibunya pernah ditembak di kaki. Dua tahun yang lalu, sebuah video menunjukkan Ahed menggigit tentara Israel ketika berusaha melindungi adik laki-lakinya yang akan diangkut tentara.
Mengapa Ahed tak mendapat dukungan internasional yang sama seperti Malala? Mengapa reaksi terhadap Ahed berbeda? Ada beberapa alasan untuk kesunyian yang memuakkan ini.
Barat beranggapan bahwa kekerasan yang ‘disetujui’ negara sebagai hal sah. Sementara tindakan bermusuhan aktor non-negara seperti Taliban atau Boko Haram dianggap tidak. Kekerasan model ini tak hanya mencakup kekerasan terbuka seperti serangan pesawat tak berawak, penangkapan tidak sah, atau kebrutalan polisi, namun juga ‘serangan’ lunak seperti perampasan sumber daya seperti tanah dan air. Negara membenarkan tindakan ini dengan menghadirkan korban ketidakadilan sebagai ancaman terhadap fungsi negara.
Begitu dinyatakan sebagai ancaman, individu atau kelompok yang bertentangan dengan negara direduksi menjadi kehidupan tanpa nilai politik. Giorgio Agamben seorang filsuf Italia menggambarkan mereka dengan mudah dikenai sanksi oleh penguasa ‘berdaulat’. Teroris sering kali masuk dalam kategori ini. Dengan demikian, eksekusi teroris dengan serangan pesawat tanpa awak tanpa proses peradilan bisa tetap terjadi tanpa banyak keributan publik.
Di Tepi Barat atau Jalur Gaza, Israel menerapkan strategi serupa. Mereka berargumen perpanjangan penahanan Ahed dianggap perlu untuk mengeliminasi ‘bahaya’ bagi tentara yang menjadi perwakilan representasi negara. Israel bersembunyi di balik tirai besi hingga tak mungkin lagi bisa ‘disentuh’.
Tak ada lagi yang bisa dilakukan orang-orang Palestina untuk membangkitkan belas kasihan Israel atau dunia Barat termasuk gadis seperti Tamimi. Bahkan jika ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena sebuah tamparan atau jika dia dihukum mati. Hukuman itu hanya akan disambut dengan kegembiraan atau ketidakpedulian terbuka. Di Israel tak ada tempat bagi emosi kepada manusia lainnya, orang Palestina atau orang manapun.
Membungkam orang-orang Palestina yang tak bersenjata seperti Ahed yang melindungi keluarganya dan menyamakannya sebagai ‘teroris’ membuka jalan untuk memberi otorisasi penyiksaan berlebihan. Seperti yang disampaikan Menteri pendidikan Israel Naftali Bennett yang mengatakan ia ingin melihat Ahed dan keluarganya “menyelesaikan kehidupan mereka di penjara.”
Kasus yang dialami Ahed dengan jelas memperlihatkan model kemanusiaan ala Barat yang selektif karena menganggap hanya badan dan sebab tertentu yang dianggap layak untuk sebuah intervensi.
Antropolog Miriam Ticktin berpendapat sementara moralitas meringankan penderitaan fisik menjadi dominan dalam cara pandang lembaga kemanusiaan Barat sekarangan ini, hanya jenis ‘derita’ tubuh tertentu yang dianggap layak untuk dibela. Ini termasuk pelanggaran bagian tubuh wanita atau mereka yang berpenyakit secara patologis.
Isu pengangguran, kelaparan, ancaman kekerasan, kebrutalan polisi, dan pemalsuan budaya seringkali tak dianggap dianggap layak untuk intervensi kemanusiaan. Bentuk penderitaan semacam itu dipandang perlu dan bahkan tak terelakkan lagi. Ahed, oleh karena itu, tidak sesuai dengan subjek korban ideal untuk advokasi transnasional.
Terkait, gadis-gadis seperti Ahed yang melawan penjajahan Israel yang dicarinya adalah keadilan komunal melawan penindasan. Bukan pemberdayaan yang hanya menguntungkan dirinya sendiri. Feminisinya jelas bersifat politis dan hanya terpaku pada komoditas dan jenis kelamin. Ahed mengungkapkan wajah buruk pemukim penjajah dan karenanya ditandai sebagai ‘berbahaya.’
Minimnya perhatian pada Ahed harus mendorong instropeksi humanitarianisme selektif ala Barat. Individu yang menjadi korban kekerasan negara, yang aktivismenya mengungkap kekejaman kekuasaan layak masuk ke dalam visi keadilan universal. Bahkan jika tak ada kampaye untuk Ahed, tidak mungkin kita melepaskan diri dari seruan pembodohan massal, penjajahan dan penggusuran orang-orang di Palestina. Nelson Mandela pernah berkata, “Kami tahu betul bahwa kebebasan kita tidak lengkap tanpa kebebasan orang-orang Palestina.”[TGU]