Koran Sulindo – Sejumlah organisasi rakyat mengecam tindakan kekerasan dan penangkapan terhadap aktivis “Selamatkan Slamet” yang memprotes Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) di Banyumas, jawa Tengah. Akibat tindakan kekerasan itu, 24 orang aktivis ditangkap dan 28 orang lainnya terluka akibat dianiaya aparat kepolisian.
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) bersama Front Perjuangan Rakyat (FPR), misalnya, mengecam keras aksi itu. Kedua organisasi ini juga menyayangkan, selain kekerasan terhadap aktivis, kepolisian juga melarang para wartawan meliput aksi kekerasan tersebut. Kamera wartawan dirampas, bahkan dipukul oleh aparat kepolisian.
“Kami mengecam keras tindakan aparat kepolisian yang melakukan pembubaran, penganiayaan dan penangkapan terhadap peserta aksi damai dan menuntut kepada Kapolres Banyumas untuk segera membebaskan seluruh peserta aksi yang ditahan tanpa syarat,” kata Ketua Umum AGRA Rahmat Ajiguna dalam keterangan resminya pada Selasa (10/10).
Awalnya, “Aliansi Selamatkan Slamet” berdemonstrasi secara damai pada 9 Oktober 2017 menuju kantor Bupati Banyumas. Massa yang ikut dalam aksi yang dimulai sejak pagi itu menuntut untuk bertemu dengan sang bupati. Aksi sesungguhnya berjalan tertib dan damai.
Akan tetapi, maksud hati bertemu bupati tidak kesampaian. Hingga sore, batang hidung bupati sama sekali tidak muncul. Karena itu, massa memutuskan untuk bertahan di depan kantor bupati sambil salat berjemaah. Massa pun mendirikan tenda dan menggelar aksi kebudayaan.
Waktu menunjukkan sekitar pukul 22.00 WIB. Bupati tetap tidak nongol. Tanpa disangka, aparat kepolisian yang konon melayani dan melindungi itu bersama Satpol PP bergerak membubarkan aksi massa secara paksa. Pembubaran paksi itu disertai tindak kekerasan dan penangkapan. Sedangkan Satpol PP merusak tenda-tenda yang didirikan massa.
“Kami kecewa dan menyayangkan sikap Bupati Banyumas yang tidak bersedia menemui dan menyerap aspirasi warganya sehingga aksi damai terpaksa diputuskan untuk menginap agar dapat bertemu dengan Bupati yang pada akhirnya terjadi pembubaran kekerasan dan penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian,” tutur Rahmat.
Tindak kekerasan dan penangkapan ini menambah catatan buruk kerja pemerintah di bawah Jokowi – Jusuf Kalla. Kejadian serupa, bahkan kadang lebih parah acap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Itu menggambarkan watak pemerintah secara umum dan khususnya Banyumas anti-kritik dan anti-rakyat.
“Aliansi Selamatkan Slamet” mempunyai alasan kuat menolak proyek PLTPB milik PT Sejahtera Alam Energy (SAE) itu. Pasalnya, proyek tersebut secara nyata merampas tanah dan hutan milik rakyat yang selama ini menjadi sandaran hidupnya. Akibat aktivitas proyek tersebut, kerusakan lingkungan pun terjadi dan berdampak pada kehidupan rakyat.
Lebih dari sekitar tujuh desa mengalami krisis air bersih. Pun menjadi ancaman bagi satwa dari lereng Gunung Slamet yang terusir karena aktivitas PTLPB itu. AGRA karena itu menuntut kepada pemerintah melalui Kementerian ESDM untuk mencabut surat keputusan operasional proyek yang dijalan PT Sejahtera Alam Energy. [KRG]