Koran Sulindo – Tong kosong nyaring bunyinya. Amsal itu telah begitu lama hidup di negeri ini. Biasanya ditujukan ke orang yang suka omong besar tapi kinerjanya “berukuran” kecil, bahkan sangat kecil.
Lalu, ketika negara ini belakangan begitu sangat gaduh, yang nyaring bunyinya sampai terdengar ke negara-negara lain, apakah itu artinya penyelenggara negara sekarang tak ubahnya seperti tong kosong?
Untuk menjawab pertanyaan itu tentu saja tidak boleh memakai asumsi atau semata-mata imajinasi. Perlu kajian dan evaluasi yang sangat serius, dengan parameter yang terukur, karena bertalian erat dengan kehidupan ratusan juta warga negara.
Yang pasti, kebisingan masih saja melanda negeri ini, terutama setelah pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok soal ayat dalam Kitab Suci Alquran. Pernyataan Ahok tersebut oleh banyak kalangan dinilai telah menistakan Alquran, sehingga demonstrasi pun terjadi di banyak daerah di Indonesia, dengan jumlah massa mencapai puluhan ribuan orang.
Bukan hanya demonstrasi. Tapi juga terjadi perdebatan-perdebatan di kalangan elite, termasuk cendekiawan, dengan pokok soal seputar hubungan agama dan politk. Ada yang mengatakan, agama dan politik tak bisa dipisahkan. Ada pula yang berpandangan sebaliknya.
Sejarah Indonesia sendiri mencatat, agama telah memainkan peran besar dalam “membakar” semangat pejuang untuk tidak mengenal takut dalam mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan. Dorongan agama pula yang membuat banyak orang pada masa pra-kemerdekaan berhimpun untuk membuat berbagai organisasi yang tersistem dengan baik, agar perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme semakin “punya gigi”.
Jadi, agama dan politik memang tak bisa begitu saja dilepaskan dari perjalanan bangsa ini. Kendati begitu, ada baiknya kita mengingat kembali apa yang dikatakan Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Soekarno, ketika memberi materi kursus Pancasila pada tahun 1958 di Jakarta.
Bung Karno antara lain mengatakan, bangsa Indonesia langsung terjun di dalam fase negara nasional ini, sehinga Republik Indonesia bukan negara agama, melainkan adalah negara nasional, yang meliputi seluruh “badannya natie Indonesia”.
“Dan apa yang dinamakan natie? Sebagai tadi sudah saya katakan, ialah segerombolan manusia dengan jiwa le desire d’etre ensemble, dengan jiwa, sifat, corak yang sama, hidup di atas satu wilayah yang nyata-nyata satu unit atau satu kesatuan,” tutur Bung Karno. Jadi, lanjutnya, kita harus berdiri di atas kebangsaan.
Namun, memang, Bung Karno juga tidak menafikan, kadang ada dari kalangan agama yang tidak bisa memberi batas yang tegas antara agama dan kenegaraan. Karena itu, Bung Karno pada kesempatan tersebut memberikan penjelasan mengenai batas di antara keduanya. Katanya, “Negara tidak boleh tidak harus mempunyai wilayah, agama tidak. Adakah negara tanpa wilayah? Tidak ada! Negara harus mempunyai wilayah. Syarat mutlak daripada negara yaitu teritori yang terbatas. Dan agar supaya negara kuat, maka wilayah ini harus satu unit. Dan bangsa yang hidup di dalam satu unit itu akanlah menjadi bangsa yang kuat, jikalau ia mempunyai rasa kebangsaan bukan bikin-bikinan, tetapi yang timbul daripada objectieve verhoudingen.” Kesimpangsiuran pun akan terjadi, tambahnya, jika orang tak bisa membedakan antara apa yang diartikan dengan agama dan apa yang diartikan dengan negara.
Tampaknya, Ahok ke depannya harus juga menyadari itu. Apalagi, ia diusung oleh PDI Perjuangan untuk berlaga di Pemilihan Gubernur DKI 2017, sehingga apa yang ia ucapkan dan lakukan bisa jadi akan dilihat orang sebagai cerminan sikap partai.[]