Agama dan Pertengkaran Politik

Pemisahan itu (antara agama dan politik) membawa kedamaian [Foto: Arief Purnomo Blog's]

Koran Sulindo – Ditengah hiruk pikuk pertengkaran mengenai pernyataan Basuki Tjahya Purnama alias Ahok yang menyinggung Al-Qur’an Surah Al Maidah 51, ada baiknya kita menyimak nasehat Rocky Gerung, ahli filsafat politik: “Agama terlalu mulia untuk dijadikan pertengkaran politik. Kebenaran politik ditransaksikan dengan argumen. Kebenaran agama diterima sebagai keyakinan. Pemisahan itu (antara agama dan politik) membawa kedamaian.”

Pernyataan tersebut terasa menyejukkan ditengah situasi negeri yang dihadapkan kepada munculnya berbagai gejala yang mengarah pada menguatnya kecenderungan sentimen identitas kelompok. Gejala separatisme, konflik berdasarkan suku, agama dan ras serta berbagai kekerasan sosial yang mengatasnamakan agama kini tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia.

Sejak reformasi bergulir di tahun 1998, pertikaian antar etnis dan antar kelompok agama muncul silih berganti dari waktu ke waktu. Meski fakta-fakta yang ada memperlihatkan bahwa gejala semacam itu bukan merupakan cermin dari sikap umum masyarakat Indonesia, namun berlangsungnya fenomena semacam ini lambat-laun dapat menjadi ancaman yang cukup serius bagi ikatan semangat kebangsaan. Dengan demikian, berkembangnya gejala semacam itu tidak saja telah mengganggu proses pelembagaan demokrasi, tetapi juga mengancam kohesi sosial masyarakat Indonesia yang majemuk dan menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan ekonomi.

Berakhirnya sentralisme kekuasaan Orde Baru yang memaksakan monokulturalisme dan keseragaman, ternyata memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang pada hakikatnya bersifat multikultural. Fenomena semacam itu pada gilirannya membuat kohesi dan solidaritas sosial, termasuk kesadaran kebangsaan, seolah mengalami kemerosotan.

Idealnya adalah bahwa meskipun manusia sebagai individu dapat terus-menerus mewujudkan dirinya ke dalam sebuah identitas sosial tertentu, namun secara etis manusia dituntut untuk tetap membuka ruang komunikasi dan saling pengertian (toleransi) dengan manusia lain yang tergabung dalam identitas sosial yang berbeda. Indvidu dapat menjadi anggota dari berbagai identitas sosial secara simultan; ia secara bersamaan adalah anggota suatu keluarga, penduduk suatu kampung, bagian dari etnis tertentu, umat dari suatu agama, dan sebagai warganegara. Akhirnya, ia juga merupakan anggota dari umat manusia.

Soal semacam itu sesungguhnya telah dirumuskan tidak saja di dalam sila-sila Pancasila, juga dalam Pembukaan UUD 1945– dimana nilai-nilai kemanusiaan universal dan keadilan dijunjung tinggi. Setiap individu memang hidup dalam kompleksitas identitas. Pada situasi semacam itu, setiap orang dapat mengambil posisi aktif-konstruktif dalam semua dimensi identitas itu. Namun, jika muncul gejala ekslusif yang hanya menonjolkan atau mementingkan satu dimensi identitas secara ekstrem, hal ini akan mengancam kebangsaan dan kemanusiaan.

Persoalan ini bukanlah terletak pada nilai-nilai Pancasila itu sendiri, melainkan seberapa jauh para penyelenggara negara secara konsisten menerapkannya dalam kehidupan kenegaraan yang lebih konkret.

Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila pada dasarnya memberikan ruang yang cukup luas bagi pertukaran gagasan dan argumen menyangkut visi nasional ke depan. Pancasila—karena sifat-sifat dasarnya yang mampu memberikan kanal bagi perbedaan—dapat dijadikan semacam common platform atau basis rujukan bagi terciptanya iklim dialogis bagi segenap komponen bangsa untuk memperbincangkan dan merajut masa depan bersama tanpa perlu melalui jalan kekerasan dan pemaksaan kehendak.

Masalahnya, iklim semacam itu tidak muncul di ranah publik. Institusi-institusi negara gagal membuka ruang semacam itu. Akibatnya pertukaran gagasan yang konstruktif dan sehat digantikan oleh kekerasan, sementara nilai-nilai bhineka tunggal ika yang menjadi platform utama Pancasila ditantang secara serius oleh munculnya ideologi-ideologi reaksioner yang mengedepankan identitas kelompok.

Karena itu, dipandang perlu untuk membuka ruang bagi munculnya berbagai gagasan segar serta memberikan peluang terjadinya pertukuaran argumentasi secara terbuka dan berkeadaban. Cara semacam ini pada dasarnya juga sejalan dengan sifat-sifat dasar Pancasila itu sendiri. Dalam ruang tersebut kemajemukan akan dapat dihadirkan di mana segenap komponen bangsa dapat duduk bersama dengan posisi setara—tanpa dominasi dan hegemoni yang satu terhadap yang lain.

Dari sisi ini pula, kehadiran ruang dialogis itu tidak saja akan mengeliminasi berbagai benturan keras antar aliran politik, tetapi juga menciptakan toleransi dalam sebuah kebhinekaan yang damai. Metode semacam ini diharapkan akan menjamin toleransi otentik berdasarkan asas politics of differences—tanpa harus terjatuh ke dalam kubangan lumpur absolutisme politics of identity. (Imran Hasibuan)