Adu Kerito Surong: Dari Kegembiraan Panen Lada ke Perlombaan Balap

Adu Kerito Surong (Foto: wikipedia)

Koran Sulindo — Masri cepat-cepat mendorong gerobak tradisional satu roda atau kerito surong ke lintasan lomba. Kedua tangannya menjadi tumpuan beban karena ia mendorongnya dengan berlari sambil menjaga keseimbangan. Peluh dengan deras mengucur dari seluruh tubuhnya, ini karena temannya Idham, sedang duduk di atas kerito dan menambah berat kerito yang harusnya ringan.

Setelah berhasil melewati satu putaran, kedua teman regu mereka telah menunggu di garis awal dan akan bergantian mendorong kerito. Mereka sedang mengejar waktu karena berlomba dengan tiga regu lain. Yang tercepat sampai di garis akhir dan berhasil melewati rintangan tanpa terjatuh, dialah pemenangnya.

Adu Kerito Surong adalah sebuah olahraga tradisional dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2015 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Olahraga tradisional ini bukan sekedar olahraga hiburan yang mengutamakan kecepatan, keterampilan, ketangkasan, dan keseimbangan, tetapi juga mengandung pesan kebersamaan masyarakat Bangka Belitung.

Baca juga: Bangga Sebab DNA Manusia Indonesia (Selamat Ulang Tahun Indonesia!)

Adu Kerito Surong (Foto: @reshajr)

Adu Kerito Surong tersebar di seluruh pelosok Kepulauan Bangka Belitung, terutama di Kabupaten Bangka Tengah dan berkembang di Desa Sungai Selan, Desa Namang, Desa Simpang Katis, Desa Dul, dan desa-desa yang umumnya masih menggunakan alat angkut tradisional berupa Kerito Surong.

Awalnya, Kerito Surong dikenal sebagai alat transportasi masyarakat. Alat ini pada zaman Belanda digunakan sebagai alat pengangkut timah di wilayah sekitar tambang timah Muntok oleh masyarakat Tionghoa.

Dalam perkembangannya, Kerito Surong menjadi alat transportasi untuk mengangkut berbagai barang, termasuk manusia. Masyarakat asli Melayu Bangka yang melihat penggunaan Kerito Surong sebagai moda transportasi kemudian memanfaatkannya sebagai alat angkut hasil pertanian lada, kolang-kaling, mangga, dan juga kayu bakar.

Kerito Surong kemudian sering digunakan oleh penduduk untuk mengangkut hasil panen lada ke tempat perendaman di sungai. Saat musim panen lada inilah, masyarakat menyambutnya dengan kegembiraan menaiki Kerito Surong dan berlomba cepat-cepatan sampai lebih dulu. Inilah awal munculnya permainan Adu Kerito Surong.

Kerito Surong pada zaman dahulu (Foto: @officialtimah)

Cara Bermain

Olahraga ini dibagi dalam dua regu atau lebih yang dipimpin oleh seorang sesepuh kampung. Setiap regu terdiri atas 4 orang pemain atau lebih yang pada pembukaan, memberikan hiburan tarian “para pemetik lada” di lapangan terbuka dengan iringan gitar dambus. Adapun lagu-lagu daerah yang dinyanyikan di pertunjukan permainan ini antara lain Abu Samah, Hujan Gerimis, Ma’ Inang, dan Youmia. Lagu-lagu tersebut mengandung arti nasihat, religi, dan candaan.

Setelah memberikan hiburan tarian, tiap regu dikumpulkan oleh wasit untuk mengundi dan menjelaskan aturan main Adu Kerito Surong. Setelahnya tiap regu menempati lintasan yang telah disediakan dengan Kerito Surong masing-masing dengan satu orang pendorong dan pengemudi di atasnya, sedangkan dua anggota lain menunggu giliran di garis mula.

Saat lomba dimulai, tiap regu saling beradu kecepatan menempuh jarak dan rintangan yang telah disediakan, antara lain jembatan keseimbangan, jembatan bidai, dan lintasan berbelok-belok. Ini harus dilakukan dengan keseimbangan yang sempurna, jika terjatuh maka regu tersebut harus mengulang rintangan itu kembali.

Selain menempuh lintasan yang ada, tiap regu juga ditugaskan untuk mengambil atau menaruh tongkat di tempat yang telah ditentukan. Setelah satu putaran selesai, maka anggota regu lain bergantian mendorong kerito surong tersebut sampai waktu yang telah ditentukan.

Baca juga: Djiaw Kie Siong : Tionghoa yang Berjasa pada Kemerdekaan RI

Kerito Surong dahulu dipakai untuk mengangkut barang (Foto: Kemdikbud)

Regu yang paling banyak mengumpulkan tongkat estafet dengan waktu tercepatlah yang akan menjadi pemenang. Makna yang terkandung di dalamnya adalah, bahwa siapa yang paling banyak mengumpulkan amal kebaikan maka dialah yang sesungguhnya menjadi pemenang dalam kehidupan.

Satu hal yang menarik dalam permainan tradisional ini yaitu tugas mengambil dan menaruh tongkat estafet pada saat regu berada di rintangan jembatan bidai. Hal ini menyiratkan pesan filosofis bahwa ketika musim panen tiba dengan hasil yang melimpah ruah, kita diajarkan untuk selalu memberikan sebagian hasil tersebut kepada orang lain yang membutuhkan.

Saat ini, upaya pewarisan dan pelestarian Adu Kerito Surong telah dilakukan melalui media lingkungan sekolah dan acara-acara adat maupun daerah. Seperti yang terjadi di Bangka Tengah, Adu Kerito Surong telah dijadikan muatan lokal (Mulok) dalam kurikulum mata ajar. Hal ini membantu untuk mengenalkan generasi muda sejak bangku sekolah terhadap nilai budaya yang telah dimiliki oleh leluhur mereka.

Adu Kerito Surong juga dipertandingkan pada acara adat seperti Maulid Nabi dan diperlombakan di tingkat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam kegiatan tahunan. Kini, permainan Adu Kerito Surong menjadi salah satu ikon olahraga tradisional yang mempromosikan budaya dan pariwisata Kepulauan Bangka Belitung. [GAB]