Adam Malik Batubara: Mewariskan Jejak Kuat Diplomasi Indonesia

Ilustrasi: Adam Malik dalam sidang umum PBB pada 1966/wikimedia.org

Bisa jadi, Adam Malik Batubara adalah Menteri Luar Negeri RI paling moncer di masa Orde Baru hingga di masa reformasi. “Berdasarkan pengalaman saya, Bung Adam adalah menteri luar negeri terbaik di masa Orde Baru, meski bukan yang paling pintar. Bahkan, sampai sekarang pun belum ada yan bisa menandingi prestasinya dalam diplomasi dan politik luar negeri Indonesia,” kata politisi senior Sabam Sirait, yang pernah lama aktif di Komisi Luar Negeri DPR RI.

Di masa jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri RI (1966-1977), Adam Malik terbilang sukses membenahi dan menjalin hubungan dengan negara-negara tetangga dan negara-negara super power. Hal itu tak terlepas dari pengalaman panjangnya di berbagai profesi yang pernah dijalaninya: wartawan, politisi, dan diplomat.

Adam Malik Batubara lahir di Pematang Siantar, Sumatra Utara, 22 Juli 1917. Sejak muda, ia sudah aktif berpolitik. Pada tahun 1934-1935, di usia remaja, Adam sudah ikut memimpin Partai Indonesia (Partindo) Pematangsiantar dan Medan. Di usia 20 tahun, ia merantau ke Jakarta. Tahun 1940-1941 ia menjadi anggota Dewan Pimpinan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta. Menjelang proklamasi kemerdekan RI, awal tahun 1945, ia menjadi anggota Pimpinan Gerakan Pemuda untuk persiapan Kemerdekaan Indonesia di Jakarta.

Di masa kemerdekaan, Adam memelopori berdirinya Kantor Berita Antara, dengan menjabat redaktur merangkap wakil direktur. Selain itu, ia juga aktif bergerilya. Ia pernah menjadi Ketua III Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1947) yang bertugas menyiapkan susunan pemerintahan. Adam Malik pendiri dan anggota Partai Rakyat, pendiri Partai Murba, dan anggota parlemen. Tahun 1945-1946 ia menjadi anggota Badan Persatuan Perjuangan di Yogyakarta. Pada tahun 1956, ia anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI), dari hasil pemilihan umum 1955.

Di lapangan diplomasi, Adam Malik pernah ditunjuk Presiden Soekarno sebagai Duta Besar RI untuk Uni Soviet dan Polandia. Ia juga yang dipercaya memimpin delegasi Indonesia untuk perundingan penyelesaian masalah Irian Barat. Pada tahun 1963, Adam Malik menjabat Menteri Perdagangan sekaligus menjabat sebagai Wakil Panglima Operasi ke-I Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE).

Pada tahun 1966, ia menjabat Wakil Perdana Menteri II (Waperdam II) sekaligus sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia di kabinet Dwikora II. Jabatan Menteri Luar Negeri diembannya menjadi Menteri Luar Negeri selama sebelas tahun (1966-1978). Kemudian sempat sebentar menjabat Ketua DPR/MPR, dan puncaknya menjadi Wakil Presiden RI (periode 1978-1983).

Di kalangan kawan-kawan dekatnya, Adam Malik punya beberapa nama panggilan akrab, tapi yang paling terkenal adalah julukan “Si Kancil”. Julukan itu dikarenakan memang ia seorang politisi yang cerdik dan lincah. Meski sekolahnya hanya sampai SMA, Adam Malik mampu belajar secara otodidak tentang berbagai hal yang berkaitan dengan politik dan diplomasi. Karena itu, ia kerap dipercaya memimpin posisi-posisi penting dalam pemerintahan, terutama yang berkaitan dengan diplomasi.

Semua Bisa Diatur

Kemampuan komunikasi Adam Malik terbilang hebat. Pernyataan yang sering diucapkan dan telah menjadi trademarknya adalah “semua bisa diatur”.

Suatu kali, seorang sahabatnya pernah bertanya: “Bung Adam, apa maksud pernyataan ‘semua bisa diatur’?”

“Ya memang begitulah,” jawab Adam. “Di muka bumi ini tidak ada masalah yang tidak bisa dipecahkan, kalau itikad kita memang bersih dan tulus. Semua bisa diatur kalau kita mau dan sungguh-sungguh.”

Pengalaman Adam Malik sendiri membuktikan memang “semua bisa diatur”. Salah satu cerita tentang bagaimana ia memimpin sidang saat menjadi Ketua Majelis Umum PBB ke-26, di tahun 1971. Dengan keterbatasan kemampuan berbahasa Inggris, Adam Malik cukup mengandalkan dua kalimat: “you stop” dan “you talk”. Jadi, kalau ada delegasi/perwakilan negara yang terlalu lama berbicara, ia bilang: “you stop”. Lantas, ia mempersilakan delegasi negara lain dengan ucapan “you talk”. Begitu terus sampai sidang selesai.

Adam Malik sendiri mengakui betapa penting, sekaligus beban berat, tugas yang harus dipikulnya sebagai Ketua Majelis Umum PBB itu. Dalam memoarnya Mengabdi Republik ia menulis:

“….. Saya menjalankan tugas sebagai pengemban PBB dengan rasa sepenuhnya sertta tanggungjawab yang sangat meletihkan pikiran dan menghabiskan tenaga. Tetapi, saya sadar bahwa pengangkatan ini sangat langka bagi Indonesia, bahkan hanya bisa sekali saja dalam abad kedua puluh ini. Karena itu, saya pergunakan kesempatan sebagai Ketua Sidang Umum PBB itu sebanyak mungkin untuk menyerap pengetahuan baru di bidang pergaulan antar-bangsa di seluruh dunia.

Dalam hal ini saya bertekad tidak hendak sekedar duduk di kursi ketua saja, tapi saya ingin menyelami segala permasalahan dunia sebagai akibat perilaku manusia di lingkungan masing-masing dan juga di pergaulan antar-bangsa. Dan saya harus akui permasalahannya sangat merepotkan.”

Salah satu persidangan penting yang dipimpinnya masa itu tentang keanggotaan Republik Rakyat Cina (RRC) di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan PBB kemudian adalah tetap mengakui RRC sebagai anggota PBB, yang masih berlaku hingga kini. Bahkan, RRC kemudian menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

Cerita tentang keandalan diplomasi Adam Malik juga diceritakan Sabam Sirait. Suatu kali, pertengahan tahun 1970-an , selaku anggota Komisi I DPR-RI, Sabam Sirait ikut dalam rombongan Menteri Luar Negeri yang berkunjung ke Amerika Serikat. “Selama mengikuti berbagai acara dan pertemuan dengan berbagai kalangan di Amerika Serikat itu, saya makin kagum kepada Bung Adam. Dengan kemampuan bahasa Inggris yang terbatas, ia bisa menarik perhatian dan meyakinkan orang-orang Amerika Serikat tersebut. Benar-benar ‘kancil’ yang cerdik dan penuh percaya diri,” kenang Sabam Sirait.

Berbekal kepercayaan diri tinggi itulah Adam Malik banyak mengasah kemampuannya sebagai politik dan diplomasi. Ia memang memiliki bakat sebagai diplomat. Semasa ia menjadi menteri luar negeri di masa awal Orde Baru, politik luar negeri Indonesia terbilang cukup dinamis. Bisa dikatakan, ia yang menggagas ASEAN– organisasi negara-negara Asia Tenggara. Berkat kepiawaiannya dalam berdiplomasi, tahun 1967, Deklarasi ASEAN disepakati oleh lima negara Asia Tenggara: Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina.

Ilustrasi: Adam Malik pada 1962/wikimedia.org

Adam Malik pula yang berinisiatif melakukan normalisasi hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok, di tahun 1978. Ketika itu, ia baru saja dilantik sebagai Wakil Presiden RI. Dalam sebuah pernyataannya di media-massa, Adam menyatakan bahwa Indonesia telah siap memperbaiki hubungan dengan Tiongkok. Menurutnya, normalisasi hubungan dengan Tiongkok itu akan membangun suatu citra bahwa Indonesia adalah negara non-blok dan dapat bersahabat dengan negara komunis. Selain itu, Adam Malik percaya bahwa dengan normalisasi hubungan Indonesia-Tiongkok, Indonesia dapat memainkan peran dominan dalam masalah-masalah internasional.

Tapi, rupanya Presiden Soeharto dan kalangan militer tidak sependapat dengan gagasan tersebut. Soeharto dan para jenderalnya masih dihinggapi kekhawatiran Tiongkok akan melanjutkan dukungan gerakan komunis di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Akibatnya, normalisasi hubungan Indonesia-Tiongkok tertunda cukup lama. Baru duabelas tahun kemudian, 1990, normalisasi hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok diresmikan.

Meski begitu, pernah juga Adam Malik mengucapkan pernyataan keliru. Suatu kali, sebagai Menteri Luar Negeri RI, ia mengeluarkan pernyataan di media-massa bahwa sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia bisa saja menjadi negara agama.

Publik sempat kaget membaca pernyataan itu. Sebab selama ini Adam Malik dikenal kukuh menegakkan Pancasila sebagai prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara. Maka, beberapa tokoh politik, termasuk Sabam Sirait dan Harry Tjan Silalahi, berinisiatif menemuinya untuk menanyakan soal penyataannya tersebut.

“Dalam pertemuan itu, Bung Adam mengaku telah salah mengucapkan pernyataan itu. Lantas, ia berjanji akan meralat pernyataan tersebut secara terbuka di media-massa. Dan benar saja. Keesokan harinya di media-massa muncul pernyataan ralat tersebut,” kata Sabam.

Bagi Adam Malik sepertinya memang “semua bisa diatur”. Tapi, ada hal yang tak bisa diaturnya, yaitu maut atau kematian. Awal September 1984, Adam Malik Batubara meninggal dunia karena penyakit kanker hati. Tapi, kepergian politisi dan diplomat ulung asal Siantar ini telah meninggalkan jejak kuat dalam dunia diplomasi Indonesia. [Imran Hasibuan]