Koran Sulindo – Sudah sejak 1 November 2007, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkankan setiap tanggal 2 April sebagai World Autism Day atau Hari Austisma Sedunia. Di Amerika Serikat, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mengungkapkan, tingkat prevalensi autisma adalah 1 berbanding 68 pada tahun 2014. Itu artinya, dari 68 anak, 1 adalah penyandang gangguan spektrum autisma (autism spectrum disorder, ASD).
Tahun 2011, Badan Dunia untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) memperkirakan ada 35 juta orang dengan autisma di dunia. Artinya, rata-rata ada 6 orang penyandang autisma per 1.000 orang dari populasi dunia.
Di Indonesia, jumlah prevalensinya terus meningkat, dari waktu ke waktu. Pada tahun 2000, prevalensinya diperkirakan adalah 1 berbanding 150. Namun, hingga kini belum ada data resmi. Data Badan Pudat Statistik hanya memperkirakan, sejak 2010 dengan perkiraan hingga 2016 terdapat lebih dari 140 ribu anak di bawah usia 17 tahun menyandang autisma.
Padahal, menurut seorang ahli epidemiologi (Ilmu yang mempelajari pola kesehatan, penyakit, serta faktor yang terkait, di tingkat populasi) yang menjadi associate director dari Autism Speaks-Amerika Serikat, Michael Rosanoff, penelitian epidemiologi terkait autisma sangatlah penting. Dijelaskan Rosanoff, dari prevalensi yang ada, setiap negara bisa saling membandingkan. Hasilnya: bisa ditarik petunjuk tentang apa yang menyebabkan atau meningkatkan risiko autisma dan bagaimana faktor-faktor tersebut bisa berubah seiring waktu.
Penyandang autisma sendiri cenderung mengalami kesulitan berinteraksi secara sosial. Mereka sulit menangkap perubahan ekspresi wajah orang lain. Akibatnya, mereka sulit memberikan reaksi emosional kepada lawan bicara, sehingga banyak yang merasa terisolasi dan kesepian.
Tahun 2016 lalu, ilmuwan di Universitas Humboldt Berlin, Jerman, telah mengembangkan peranti lunak bagi penyandang autisma agar mereka dapat membantu deteksi perubahan emosi lawan bicaranya.
Mereka awalnya meneliti cara mengajarkan seseorang untuk menerjemahkan ekspresi secara benar. Bersama timnya, Isabel Dziobek mengembangkan metoda yang bisa diterapkan penyandang autisma untuk bisa bereaksi secara instingtif. “Harapan kami: membantu penyandang autisma, baik anak-anak maupun dewasa, agar bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan lebih baik. Bisa berinteraksi dengan orang lain adalah aspek yang sangat penting. Tidak hanya bagi kehidupan sosial, tetapi juga di dunia kerja. Bagi saya, sangatlah penting untuk bisa mengerti ekspresi orang lain,” katanya, sebagaimana dikutip laman Deutsche Welle.
Dziobek dan tim-nya kemudian mengembangkan peranti lunak tersebut. Lewat rekaman video diunjukkan 40 ekspresi wajah yang berbeda, antara lain ekspresi wajah saat sedih, frustrasi, atau bahagia. Perubahan kecil itu ditampilkan dalam ribuan ekspresi yang harus dipelajari penyandang autisma.
Saat latihan, penyandang autisma harus menyusun kombinasi yang benar antara ekspresi mata dan mulut. Dengan demikian, mereka bisa memahami korespondensi gerakan individual dengan kondisi emosional seseorang. “Kami pada studi awal menemukan, penyandang autisma cenderung tidak menatap mata saat lawan bicara dan menunjukkan perasaannya. Padahal, mata sangatlah penting jika ingin bisa membaca ekspresi seseorang,” ungkap Dziobek.
Itu sebabnya, para ilmuwan mengajarkan penyandang autisma mengarahkan pandangan mereka saat berbicara dengan orang lain. Latihan selaman tiga jam dalam sepekan cukup untuk memperbaiki kemampuan menafsirkan ekspresi wajah.
Dziobek dan tim-nya juga menemukan, kemampuan ini menggambarkan aktivitas otak yang bisa diukur. Juga bagian otak mana yang bertanggung jawab untuk itu. [PUR]