Koran Sulindo – Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) berpotensi menimbulkan praktik korupsi. Pasalnya, para politikus lokal acap menjadikan pemberian izin itu sebagai sumber dana kampanye mereka.
Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko menuturkan, potensi korupsi akibat pemberian izin itu meliputi penyalahgunaan kekuasaan hingga gratifikasi. Adapun potensi korupsi itu dalam IUP mulai dari tahapan penetapan wilayah pertambangan (WP), pelelangan wilayah IUP hingga penerbitan IUP terutama IUP Eksplorasi.
“Kami menilai ini berdasarkan berbagai permasalahan dan kesenjangan dalam sistim dan tata kelola pemberian IUP. Hasilnya terdapat 35 risiko dalam pemberian IUP yang dapat memicu praktik korupsi, dimana 20 risiko di antaranya dikategorikan sangat tinggi,” tutur Dadang seperti dikutip antaranews pada Rabu (11/10).
Ia menceritakan, munculnya potensi korupsi itu antara lain karena lemahnya sistem audit dan pengawasan baik keuangan maupun pertambangan. Tertutupnya akses data dan informasi di sektor pertambangan. Lalu, buruknya penegakan hukum atas ketidakpatuhan dan praktik korupsi dalam proses pemberian IUP, serta lemahnya koordinasi vertikal dan horizontal terkait pemberian IUP.
Kerangka aturan yang mendukung tata kelola sektor pertambangan yang baik tidak kuat. Minimnya kepatuhan dalam melaksanakan Undang Undang tentang Mineral dan Batubara Tahun 2009 serta turunannya. Juga tidak lengkapnya informasi geologi dan tidak menyertakan masyarakat khususnya yang terdampak kegiatan pertambangan dalam proses pemberian IUP.
Karena itu, untuk mencegah potensi korupsi dalam pemberian IUP, TII melalui penelitinya Rivan Prahasya menyebutkan Kementerian Dalam negeri perlu memperkuat sistem integritas penyelenggaran pemerintahan provinsi termasuk perizinan sektor pertambangan. Lalu, perlunya mengatur lebih rinci kewenangan pemerintah provinsi di bidang pertambangan termasuk mengenai alokasi anggaran provinsi untuk audit dan pengawasan pelaksanaan IUP.
Kepada Kementerian ESDM, TII merekomendasikan untuk meningkatkan akses data dan informasi soal pemberian IUP. Yang tidak kalah penting adalah memperkuat mekanisme penanganan/pengelolaan pengaduan dan masukan masyarakat yang transparan dan akuntabel soal IUP. Lalu, meningkatkan kapasitas inspektur tambang di daerah serta penetapan standar operasional dan kinerja inspektur tambang.
Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu berperan menjadi fasilitator para pihak yang berkepentingan dalam membangun sistem integritas dalam pengelolaan sumber daya alam selaras dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam. [KRG]