Ada Apa dengan Cina?

Ilustrasi: Kerusuhan Jakarta 1998

IKoran Sulindo – Bandung, penghujung 1996. Karena tidak bisa menonton konser Iwan Fals, sekerumunan remaja mengamuk. Mereka melempari toko milik orang-orang Cina. Penguasa militer setempat pun bertindak. Media massa tidak boleh menuliskannya

Kerusuhan anti-Cina di Indonesia bukanlah hal baru. Gerakan anti-Cina yang terjadi pada masa sekitar pendirian Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1911, misalnya, muncul sebagai akibat gerakan golongan pribumi berusaha menandingi penguasaan ekonomi oleh orang-orang Cina di tanah air.

Pada 10 Mei 1963, serangkaian kekerasan anti Cina yang dimulai dari Cirebon,menjalar ke kota-kota lain di Jawa Barat, Jawa Timur, dan berakhir di Yogyakarta pada 22 Mei 1963.

Kerusuhan anti-Cina berulang lagi antara Oktober hingga Desember 1965, kerusuhan terparah terjadi di Makassar dan Medan, dan dalam tiap-tiap kasus kekerasan itu berkaitan dengan demonstrasi ke Konsulat Cina. Di Makassar demonstrasi anti-Cina pada 1 0 November 1965 diselenggarakan organisasi mahasiswa dan pemuda Islam HMI dan GP Ansor. Sasaran demonstrasi ditujukan kepada gedung dan bangunan milik orang Cina lainnya.

Kerusuhan anti-Cina sempat menimbulkan krisis serius di Jawa Timur. Pada April 1967 huru-hara anti-Cina terjadi di Situbondo, Panarukan dan Besuki. Sejumlah besar  pemuda yang dipimpin anggota front aksi membakar sebuah pabrik milik orang Cina.Mereka menjarah toko dan rumah, melemparkan perabotan rumah dan kendaraan ke api unggun. Mereka memukuli setiap orang Cina yang ditemui.

Dalam buku “Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina” karya Ong Hok Ham disebutkan orang Cina memang mendapat peranan sebagai perantara dalam hubungan produsen dan konsumen, setelah sebelumnya warga Cina berbondong-bondong datang ke nusantara untuk berdagang. Belanda memerlukan mitra maka kedudukan sebagai pemungut pajak diberikan kepada orang Cina, sehingga makin memudahkan pergerakan mereka dalam ekonomi.  Kedudukan pemungut pajak seringkali dilelang dan berkat koneksi dengan para pejabat, Keluarga tertentu dapat meraih posisi tersebut dan sering berlanjut sampai keturunannya.

Pada awal abad ke-17, VOC kalah bersaing dengan maskapai dagang Inggris, Britisch East India Company. Alhasil VOC pusat menekan VOC Hindia Belanda untuk menaikkan pendapatan. Lantas makin banyaknya imigran Cina yang masuk ke Batavia bukan lagi dianggap bantuan, melainkan ancaman. Pada 1719, jumlah etnis Cina baru sekitar 7.500 jiwa, sementara tahun 1739 melonjak jadi lebih dari 10 ribu.

Di pasar dunia, harga gula yang menjadi andalan VOC menurun karena banyaknya ekspor gula ke Eropa. Pabrik gula di Hindia Belanda terus merugi. Angka pengangguran termasuk para buruh gula Tionghoa di Batavia pun meningkat.

Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu Adriaan Valckeneir memberlakukan aturan izin tinggal yang ketat. Ancamannya: penjara, denda atau di deportasi. Para etnis Tionghoa kaya merasa diperas. Semenatara itu isu berkembang, jika aturan izin tinggal tak dipenuhi, para buruh dan pengangguranTionghoa dikirim ke Zeylan (Sri Lanka). Etnis Tionghoa didera kecemasan.

Sementara kaum Tionghoa terdiskriminasi oleh pembatasan itu, oknum pejabat diduga memanfaatkan aturan untuk meraup duit ke kocek mereka sendiri. Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan terjadi pada 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gula, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia keesokan harinya.

Pada 9 Oktober 1740, tentara VOC mengatasi pemberontakan, berbalik mengejar pemberontak. Rumah-rumah dan  pasar warga Tionghoa dibumihanguskan. Ratusan warga Tionghoa lari ke kali, diburu & dibantai: Kali Angke dan Kali Besar banjir darah. Razia etnis berlanjut, bahkan Dewan Hindia menjanjikan hadiah per kepala Cina yang dipancung. Hadiah itu memancing etnis lain ikut memburu.

Diperkirakan hanya sekitar 600 hingga 3.000 etnis Tionghoa yang selamat akibat insiden itu. Kekerasan yang dinamai Chineezenmoord (Pembantaian orang-orang Cina) itu membuat Cina kembali terpuruk secara ekonomi dan politik.

Setelah peristiwa itu, VOC mengeluarkan keputusan yang disebut passenstelsel: Orang Cina harus mempunyai surat jalan khusus (semacam paspor) apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat mereka tinggal. Dengan surat jalan ini, VOC dapat mengawasi aktivitas sosial warga Cina, mencegah percampuran budaya (untuk memelihara perbedaan ala rasisme), dan mencegah interaksi sosial-politik-ekonomi komunitas Cina dengan penduduk lain. Selain passenstelsel, VOC juga mengeluarkan peraturan yang disebut wijkenstelsel. Peraturan ini melarang orang Cina untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan mereka untuk membangun suatu ghetto khusus sebagai tempat tinggal, yang kelak dikenal sebagai “Pecinan”. Tujuan peraturan ini jelas untuk mengisolasi dan memutus kontak Cina dengan penduduk lain.

Sentimen anti Cina ternyata juga dimiliki oleh pejabat Belanda yang menganggap pribumi harus dilindungi dari kelicikan orang Cina.

Di sisi lain kekayaan keluarga Cina yang melimpah membuat mereka mencoba memasuki dunia pemerintahan.  Seperti Han Tik-Ko yang membeli tanah Banyuwangi yang berupa perkebunan pada masa pemerintahan Raffles.

Han Tik-ko bahkan bertindak lebih jauh dengan mengangkat diri sebagai penguasa Banyuwangi dengan gelar Tumenggung.  Ia mencoba mendapatkan kembali harga yang dikeluarkan untuk pembelian tanah tersebut dengan mengenakan pajak tinggi terhadap para petani. Hasilnya adalah pemberontakan yang menyebabkan keluarga Han Tik-Ko melarikan diri ke Pasuruan.

Aseng

Hingga kini sentimen anti-Cina masih cukup kuat di Indonesia. Kata “aseng” yang merupakan sebutan peyoratif-sarkastik untuk Cina, yang kini lalu lalang di media sosial semacam Facebook dan Twitter adalah bagian dari “bahasa simbol” sekaligus ekspresi dari sentimen anti-Cina. “Bukti belum punahnya sentimen anti-Cina ini adalah mudahnya masyarakat bawah untuk diprovokasi, digiring, dan disulut oleh sejumlah kelompok dan “oknum” yang memiliki kepentingan politik-ekonomi untuk melakukan tindakan pelecehan dan kekerasan terhadap warga Cina,” tulis Sumanto al Qurtubi, dalam Sentimen Anti-Cina di Indonesia di situs DW awal Januari lalu.

Politik segregasi model kolonial Belanda ini kelak difotokopi oleh pemerintah Orba. Berbagai macam peraturan diskriminatif, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Surat Keputusan Kabinet, dibuat agar jurang perbedaan antara Cina dan etnis lain tetap terpelihara dengan baik. Setidaknya ada sekitar 21 peraturan perundang-undangan yang rasis-diskriminatif diterapkan oleh Orba terhadap etnis Cina. Bahkan dulu dibuat satu badan intelijen khusus yang bertugas untuk mengawasi “masalah Cina” yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC).

Anehnya, perlakuan diskriminatif ini tidak berlaku bagi “etnis asing” lain seperti Arab. Lebih ironis lagi, berbagai keputusan diskriminatif itu diambil bersamaan ketika rezim Orba memakai banyak pengusaha Cina dalam program pembangunan ekonominya. Rupanya, sentimen rasis dipelihara oleh Orba untuk mengontrol kepatuhan Cina terhadapnya.

Kasus penistaan agama yang dituduhkan pada Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) membuat sentimen anti-Cina kembali bergaung, atau ramai digaungkan. Tindakan pejabat keturunan etnis Cina tersebut menjadi medium bagi kaum rasis muncul.

Direktur Eksekutif dan Peneliti Utama Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani, mengatakan bahwa sebenarnya kelompok rasis ini berjumlah kecil. Dari penelitian SMRC antara 2001 hingga 2016,  kelompok yang paling dibenci adalah Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS); diikuti warga lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT); Partai Komunis Indonesia (PKI), dan sisanya merata antara Yahudi, Wahabi, dan etnis Cina.

“Kebencian terhadap warga turunan Tionghoa bukan sesuatu yang bersifat masif,” kata Saiful, dalam diskusi “Ada Apa di Balik Sentimen Anti-Cina?” yang diselenggarakan Sejuk, di Jakarta, akhir Desember 2016 lalu.

Isu ini dinilainya selalu ada karena ada kelompok-kelompok yang mencoba memanaskannya secara konstan. Dalam kasus Ahok, motif serupa juga terjadi.

“FPI yang membawa framing double minority dan klaim penistaan agama Islam, temannya bertambah banyak ketika kontestasi politik nyata di DKI terjadi,” kata Saiful.

Para lawan Ahok dan gerbong pendukungnya dalam Pilkada DKI membuat framing itu membesar. Bagi mereka, bukan lagi kasus penistaan agama, tetapi bagaimana bisa mengalahkan Ahok.

“Jadi bukan massa, tapi kelompok tertentu dan diakomodasi oleh media,” kata Saiful, sambil menyimpulkan membesarnya sikap anti Cina belakangan ini bukan kasus seluruh warga Indonesia.

Hoax

Sentimen anti Cina itu dalam beberapa bulan terakhir diperkuat dengan membanjirnya “berita” palsu, hoax, atau memang sengaja provokasi yang sistematis diulang terus-menerus oleh media online abal-abal.

Peneliti Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto, dalam diskusi yang sama, mengatakan  isu “10 juta tenaga asing Cina” sebenarnya adalah pelintiran dari berita target wisatawan mancanegara Kementerian Pariwisata.

Kementerian itu menargetkan 10 juta turis dari Tiongkok hingga 2020 mendatang. Namun oleh situs berita palsu, angka tersebut dikonsepkan menjadi tenaga kerja asing, dan dibumbui judul yang provokatif.

“Artikelnya sebenarnya berbentuk opini, atau sumbernya tidak kredibel,” kata Ignatius.

Media online dan medsos itu nampaknya bukanlah sekadar sentimen, karena persoalan intoleransi itu digodok dengan cermat dan sistematis. Ini persoalan elit politik dengan motif-motif tertentu yang diinginkan.

“Solusi intoleransi bukan meminta masyarakat toleran, tetapi paling sistematik adalah pembenahan hukum dan law enforcement,” kata Syaiful.

Pada akhir Desember 2016 lalu Presiden Joko Widodo memerintahkan penegakan hukum tegas dan keras pada media-media online yang sengaja memproduksi berita-berita bohong tanpa sumber yang jelas, dengan judul yang provokatif,  dan mengandung fitnah. Menurut Presiden, belakangan ini media sosial memberikan dampak yang negatif bagi masyarakat, seperti berseliwerannya informasi yang meresahkan, mengadu domba, dan memecah belah.

“Muncul ujaran-ujaran kebencian, pernyataan-pernyataan yang kasar, pernyataan-pernyataan yang mengandung fitnah, yang provokatif,” kata Presiden, dalam rapat terbatas di Istana Negara, Kamis (29/12).

Menurut Jokowi, bahasa-bahasa yang dipakai dalam medsos belakangan ini juga bahasa-bahasa yang istilahnya bunuh, bantai, gantung,  bukanlah budaya dan kepribadian Indonesia.

Sementara itu Menko Polhukam Wiranto mengatakan pemerintah akan melakukan tindakan tegas kepada siapapun yang menggunakan media sosial (medsos) untuk mengunggah informasi yang menjurus kepada provokasi, agitasi, propaganda, menyesatkan, pengelabuan, kebohongan, dan melakukan ujaran-ujaran kebencian kepada pihak lain.

“Ini bukan, bukan tindakan sewenang-wenang. Tapi keras seperti ini, tegas seperti ini, demi kemaslahatan kita bersama agar masyarakat lebih tenteram, lebih tenang, lebih damai, sehingga kita dapat melakukan satu pembangunan yang bermanfaat untuk banyak orang,” kata Wiranto.

Wiranto mengatakan dasar hukum yang akan digunakan adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

Bola sekarang ada di tangan polisi. [Didit Sidarta]