Aboebakar Atjeh (1909-1979)
Aboebakar Atjeh (1909-1979)

Aboebakar Atjeh adalah salah satu intelektual publik terkemuka yang berasal dari Aceh, Indonesia. Ia dikenal luas melalui karya-karyanya yang berpengaruh di bidang keagamaan, filsafat, dan kebudayaan.

Lahir di Peureumeu, Aceh Barat, pada 28 April 1909, Aboebakar tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Ayahnya, Teungku Haji Sjah Abdurahman, adalah Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, sedangkan ibunya, Hajjah Na’in, berasal dari perkampungan Peulanggahan, Banda Aceh.

Nama lengkap Aboebakar sejatinya hanya “Aboebakar.” Namun, tambahan “Atjeh” diberikan oleh Presiden Sukarno, yang kagum akan luasnya pengetahuan yang dimiliki Aboebakar.

Pengakuan ini mencerminkan penghormatan tinggi yang diterima oleh Aboebakar di kalangan intelektual dan pemimpin nasional pada masanya. Bahkan, Aboebakar Atjeh diakui sebagai salah satu dari seratus tokoh Islam paling berpengaruh di Indonesia .

Pendidikan dan Karir

Sebagai anak dari keluarga ulama Aceh, Aboebakar menerima pendidikan agama sejak usia dini di beberapa dayah terkemuka di Banda Aceh, seperti Dayah Teungku Haji Abdussalam Meuraxa dan Dayah Manyang Tuanku Raja Keumala.

Selain pendidikan agama, Aboebakar juga menempuh pendidikan formal di Volkschool (Sekolah Rakyat) Meulaboh dan Kweekschool Islamiyah (Sekolah Guru Islam) di Padang.

Ia melanjutkan pendidikannya ke Yogyakarta dan kemudian pindah ke Jakarta, di mana ia mempelajari berbagai bahasa seperti Arab, Belanda, Inggris, Jepang, Prancis, Jerman, serta menguasai bahasa daerah seperti Aceh, Gayo, Minangkabau, Jawa, dan Sunda .

Aboebakar juga sempat belajar di Makkah untuk memperdalam ilmu agama. Kemampuannya yang luar biasa dalam menguasai berbagai ilmu pengetahuan membuat teman-temannya memberinya julukan “Ensiklopedia Berjalan.”

Kehidupan Pribadi dan Kontribusi Sosial

Dalam kehidupan pribadinya, Aboebakar menikah dua kali. Pernikahan pertamanya dengan Soewami tidak menghasilkan keturunan. Dari pernikahan keduanya dengan Soekarti, Aboebakar dikaruniai enam orang anak: Umarah Sri Angsani, Inayah Sri Soewami, Muhammad Furqan, Maisarah Sri Widari, Rahmah Sri Wardani, dan Farhan A .

Aboebakar aktif dalam berbagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan sejak muda. Ia menjadi aktivis Sarekat Islam di Aceh pada tahun 1923 dan turut mendirikan organisasi Muhammadiyah di Aceh pada tahun 1924.

Aktivismenya dalam organisasi keagamaan membawanya ke pulau Jawa, di mana ia bertemu dengan banyak tokoh besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia .

Peran di Era Kolonial dan Kemerdekaan

Pada era kolonial, Aboebakar bekerja sebagai pustakawan dan editor di Kantor Urusan Dalam Negeri sejak tahun 1930 hingga jatuhnya Hindia-Belanda ke tangan Jepang.

Selama pendudukan Jepang, ia menjadi kepala asrama dan pegawai perpustakaan pada Shumubu Nito Syoki serta guru kursus dai. Setelah kemerdekaan Indonesia, Aboebakar bekerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1945, dan setahun kemudian menjadi Kepala Perpustakaan Islam di bawah Kementerian Agama serta pimpinan Partai Masyumi di Yogyakarta .

Karya dan Pengaruh

Aboebakar juga dikenal atas karyanya dalam penulisan biografi KH. Wahid Hasyim, tokoh besar yang menjadi salah satu Menteri Agama Indonesia. Buku biografi tersebut berjudul “Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar” yang diterbitkan pada tahun 1957.

Buku ini menjadi bukti akan keluasan dan kedalaman pengetahuan yang dimiliki Aboebakar serta mempererat hubungannya dengan komunitas pesantren di Indonesia .

Sebagai seorang ulama dan cendekiawan, Aboebakar banyak memberikan pengajian di masjid-masjid dan menjadi dosen di berbagai perguruan tinggi di Jakarta. Pada tahun 1967, ia dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ilmu Agama Islam dari sebuah Perguruan Tinggi Islam di Jakarta.

Warisan dan Peninggalan

Aboebakar Atjeh meninggalkan banyak karya penting yang menjadi warisan intelektual bagi bangsa Indonesia. Beberapa karya terkenalnya meliputi “Sejarah Al-Quran,” “Teknik Kubah,” “Perjuangan Wanita Islam,” “Kemerdekaan Beragama,” “Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf,” “Sejarah Syi’ah di Nusantara,” “Pengantar Ilmu Tarekat,” dan “Perbandingan Mazhab Ahlussunnah Waljamaah.”

Ia juga menerjemahkan karya-karya penulis Eropa tentang sejarah Aceh ke dalam bahasa Indonesia dan membantu menyusun Kamus Aceh, “Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek,” karya Hoesein Djajadiningrat .

Aboebakar Atjeh wafat di Jakarta pada 18 Desember 1979. Meskipun telah tiada, kontribusinya terhadap dunia keagamaan, pendidikan, dan kebudayaan di Indonesia terus dikenang dan menjadi inspirasi bagi generasi penerus. [UN]