Abdul Madjid, tokoh Partai Nasional Indonesia [Foto: istimewa]

Koran Sulindo – Sampai akhir hayatnya, Abdul Madjid dikenal luas sebagai nasionalis yang tangguh. Karir politiknya di PNI, PDI, dan PDI Perjuangan, menorehkan catatan panjang tentang perjuangan nasionalisme di negeri ini.

Peristiwanya terjadi sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, sekitar Februari 1945. Hari itu, Bung Karno berkunjung ke Makassar dalam rangka pengibaran Sang Merah Putih Lapangan Karebosi, Makassar, pengibaran untuk pertama kali di Sulawesi, yang masih berada dalam kekuasaan Jepang. Kedatangan Bung Karno ini diganggu pasukan Sekutu yang melakukan bombardemen puluhan kali di luar kota Makassar. Sirene meraung-raung dan suasana kota sangat tegang.

Di acara yang bersejarah itu, Abdul Madjid—yang masa itu menjadi komandan asrama sekolah calon bupati di kota itu– menjadi komandan upacara, dan Manai Sophian jadi inspektur upacaranya.

Malamnya ada pertandingan pidato di hadapan Bung Karno, waktu itu ada lima orang yang ikut. Kelima orang itu sudah diseleksi. Abdul Madjid salah seorang yang lulus seleksi. “Semua peserta pidato pakai teks semua. Hanya saya yang pakai teks, karena sudah saya hafalkan semuanya. Pidato saya pakai langgamnya Bung Karno, gayanya Bung Karno, pokoknya persis semua,” kenang Abdul Madjid, dalam memoarnya– Nasionalis Sepanjang Zaman (ed. Irawan Saptono)—yang tidak diterbitkan.

Setelah kelima orang itu pidato selesai semua, kemudian giliran Bung Karno memberikan wejangan untuk membakar semangat pemuda-pemuda. Sebelum Bung Karno membuka pidatonya, dia bilang begini ”Wah pemuda-pemuda Sulawesi itu memang hebat, kalau saya dengar itu pidato tadi, saya merasa keok dengan pemuda yang bernama Abdul Madjid”.

Tentu saja Abdul Madjid bangga setengah mati. “Saya tidak peduli wejangan Bung Karno itu pujian atau bukan. Yang penting bagi saya, Bung Karno pernah mengaku keok oleh saya,” katanya.

Saat itu usia Abdul Madjid masih terbilang muda, belum tiga puluh tahun. Tapi, ia sudah tercatat sebagai anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) di Minahasa. Meski tidak duduk sebagai pengurus partai, ia sudah dikenal sebagai propagandis partai.

Di awal tahun 1953, Madjid ditarik bekerja di di kantor Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Karena keahliannya berpidato, ia ditempatkan di Departemen Propaganda dan Penerangan PNI. Ketika Pemilu 1955, Abdul Madjid ditunjuk sebagai salah seorang juru kampanye utama PNI. “Di Jakarta tiap malam saya bisa pidato di tiga tempat. Kalau saya sudah pidato pendengar mendengarkan meski saya tidak tahu mereka mengerti atau tidak. Saya juga sering ke daerah, kalau di daerah saya mendampingi Pak Sartono, Ketua parlemen,” tutur Madjid.

Masa-masa itu Abdul Madjid juga aktif sebagai Ketua KBM/KBPU (Kesatuan Buruh Marhaen/Kesatuan Buruh Pembangunan Umum), salah satu unit KBM yang terbilang solid. Waktu itu tiap departemen ada serikat buruhnya, serikat buruh marhaenis. Ketika itu, Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM) dipimpin Salim Sihaloho. Tiap kesatuan buruh punya orang di Kesatuan Buruh Marhaenis PNI.

Ketika Kongres KBM digelar, Abdul Madjid dimajukan sebagai kandidat Ketua DPP KBM. Meski arus bawah cukup kuat mendukung, DPP PNI ternyata memilih Salim Sihaloho sebagai Ketua KBM. Tapi, Madjid tidak mutung dengan keputusan tersebut, dan terus aktif di KBM dan PNI.

Dari Klerk sampai Politisi
Abdul Madjid lahir di Tanggul, Jember, Jawa Timur, 16 November 1917. Ia menamatkan sekolah dasar (HIS, Hollandsch-Inlandsche School) dan sekolah menengah (MULO, Meer Uitgrebreid Lager Onderwijs) di Banyuwangi.

Ia kemudian bekerja sebagai klerk atau juru tulis di Palopo, mengikuti kakaknya yang bekerja di Dinas Pertanian di Sulawesi. “Gajinya 30 gulden, cukup banyak, bukan main. Masa itu, klerek itu sudah elit,” kata Abdul Madjid. Tahun 1944, Madjid masuk sekolah pamong praja di Makassar.

Di Makassar, Madjid bergaul dekat dengan tokoh-tokoh nasionalis di kota itu, seperti Manai Sophiaan, Saelan, dan Suwarno. Madjid bersama tokoh-tokoh nasionalis di Makassar, baru bisa mendengar kabar Proklamasi Kemerdekaan RI– yang dibacakan Soekarno- Hatta di Jakarta, 17 Agustus 1945—beberapa hari kemudian. Waktu itu  belum ada media massa yang dengan cepat menjangkau seluruh Indonesia. Radio Republik Indonesia (RRI) baru bisa didengar di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Kepemilikan radio oleh penduduk juga belum banyak. Maka, Proklamasi harus dikabarkan secara lisan. “Waktu itu, saya mendapat tugas menyebarkan kabar kemerdekaan itu ke seluruh Sulawesi. Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi, yang menugaskan saya,” kenang Abdul Madjid.

Tahun 1954, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo membentuk Biro Irian di kantornya, dan perlu seorang sekretaris di biro tersebut. Pimpinan PNI mengusulkan Madjid yang menjadi sekretaris Biro Irian. Maka, ia pun pindah ke Jakarta. Sembari menjalankan tugasnya sebagai birokrat, ia pun aktif di PNI. Bahkan, ia pernah menjadi anggota DPR-GR di masa Orde Lama.

Saat perpecahan melanda PNI sejak akhir dekade 1960-an—hingga bermuara menjadi dua kubu: PNI Ali Sastroamidjojo-Surachman (PNI Asu)  dan PNI Osa-Usep—Madjid berada ditengah-tengah perpecahan tersebut.
“Yang menyebabkan perpecahan PNI Asu dan PNI Osa-Usep, pertama, soal ideologi. Surachman, Sekjen PNI ASU, ingin memasukkan marxisme ke dalam marhaenisme. Yang kedua, intervensi Angkatan Darat. Paling tidak, Kolonel Ali Moertopo melihat unsur radikal atau komunis di tubuh PNI bisa digunakan untuk menghancurkan PNI. Saat kongres 1971 di Semarang, Hadi Subeno, yang direstui pemerintah, didudukkan sebagai ketua umum. Saya tahu persis saat itu ada aparat Bakin bernama Pitut Suharto. Dia itu orangnya Ali Moertopo. Sejak itu, PNI terus dikerdilkan,” tulis Madjid dalam memoarnya.

Di PNI, Madjid dekat dengan Isnaeni dan Hardi, tokoh-tokoh PNI Osa-Usep. Tapi, justru beliau mendukung PNI ASU. Dan, hal itu tak pernah disembunyikannya.

Pernah Menteri Dalam Negeri di masa Orde Baru, Amir Machmud, mengatakan: “Wah, PDI masih banyak asunya.”

Mendengar itu, Madjid langsung menjawab: “Pak, saya ini juga PNI ASU.”

Lantas Amir Machmud bilang lagi, “Pak Madjid kan lain.”

Kenapa Abdul Madjid mendukung PNI ASU? “Alasan saya sederhana saja. Ali dan Soerachman itu dipilih langsung oleh Kongres dan semua pengurusnya dipilih oleh Kongres PNI di Purwokerto, tahun 1963. Jadi kalau mau diganti, ya harus lewat kongres yang fair juga, bukan main intervensi pemerintah,” jawabnya.

Deklarator Fusi PDI
Abdul Madjid juga ikut menandatangani Deklarasi Fusi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), di tahun 1973. Ia mewakili PNI. Dalam rapat-rapat pembahasan fusi partai, ia termasuk orang yang ngotot agar PNI—sebagai partai terbesar diantara partai-partai lainnya yang akan berfusi—mendapat proporsi yang besar dalam kepengurusan PDI. Tapi, tokoh-tokoh dari partai lain bertahan agar proporsi tiap-tiap partai di kepengurusan PDI diseimbangkan saja. Akhirnya, kepengurusan PDI memang dibagi secara seimbang antar setiap partai politik yang berfusi.

PNI mendapat jatah ketua umum, menunjuk Mohammad Isnaeni sebagai Ketua Umum PDI. Jabatan Sekjen dijabat Sabam Sirait, dari Parkindo. Abdul Madjid sendiri duduk sebagai salah seorang ketua.

Madjid pula yang bersikukuh keanggotaan fusi ini bersifat pasif. Artinya anggota partai-partai yang berfusi secara otomatis menjadi anggota partai hasil fusi. Anggota PNI secara otomatis menjadi anggota PDI, kecuali mereka yang tidak setuju dengan keanggotaan PDI.

“Selama PDI berdiri tidak ada satu pun anggota PNI yang keberatan menjadi anggotanya. Manai Sophiaan menyatakan tidak setuju fusi tapi tidak pernah menulis surat keberatan. Supeni baru di belakang menyatakan tidak setuju PNI ikut fusi. Para tokoh PNI waktu itu takut, sebab fusi ini dipaksa secara halus oleh Presiden Soeharto. Karena kalau menolak bisa diindikasikan pendukung G 30 S/PKI. PNI waktu itu memang dekat dengan PKI. Jadi kalau tidak setuju bisa ditangkap. Diincar terus. Pokoknya bisa digarap oleh Orde Baru,” tulis Madjid.

Tetapi di PNI sendiri timbul perpecahan yang berimbas kepada pada gejolak di PDI, yang membuat partai hasil fusi itu hampir tidak jalan. Madjid menulis: “Akhirnya Soeharto mengambil tindakan untuk menggantikan Isnaeni. Dia diganti oleh Sanusi Hardjadinata, dan Usep Ranawijaya– yang waktu itu masih menjabat sebagai Duta Besar RI di Vietnam—menjadi wakil ketua. Jadi Kongres pertama PDI, April 1976, mengukuhkan Sanusi dan Usep menjadi ketua dan wakil ketuanya. Tetapi Sunawar masih menggarap terus, dan mempengaruhi Sanusi.”

Di masa kepempinan Sanusi Hardjadinata, PDI kembali dipersulit rejim Orde Baru. Kongres PDI kedua, yang direncanakan pada Januari 1981,dibikin repot oleh pemerintah. Tidak ada dana dan tidak ada bantuan dari pemerintah, juga sulit mencari tempat. Lalu Sanusi dipanggil Laksamana Sudomo, Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) waktu itu. Mereka bicara empat mata. Setelah dipanggil Sanusi mengundurkan diri. Semua orang kaget, karena dia tidak menyebut apa alasannya. Tetapi di belakang Sanusi memanggil saya dan Usep. Dia bilang, ”Saya mengundurkan diri karena disuruh Pak Domo.”

Rupanya, dalam pembicaraan empat mata itu, Sudomo memberi jaminan kepada Sanusi bahwa Kongres kedua PDI bisa berjalan lancar, semua biaya akan ditanggung pemerintah, semua fasilitas pendukung akan disediakan, tetapi dengan syarat dua orang tokoh PNI tidak masuk dalam DPP: Usep Wanawijaya dan Abdul Madjid. Sanusi menolak mentah-mentah  tawaran Sudomo. Ia pamit pulang, dan memilih mengundurkan dari. Jabatan Ketua Umum PDI kemudian diambilalih Sunawar yang menerima tawaran pendanaan Kongres dari Sudomo dengan syarat menyingkirkan Abdul Madjid dan Usep Ranawijaya.

Ketika Megawati Soekarnoputri– sebagai ketua umum PDI yang terpilih dalam Kongres Luar Biasa di Surabaya, akhir 1993—dikuyo-kuyo rejim Orde Baru, Abdul Madjid termasuk dalam barisan yang mendung putri Bung Karno tersebut. Ia juga tercatat sebagai salah seorang pendiri PDI Perjuangan, dan ia kemudian duduk sebagai anggota DPR (periode 1999-2004).

Tapi, belakangan, ia memilih mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) bersama sejumlah eksponen PDI Perjuangan lainnya. Abdul Madjid meninggal pada 1 Juli 2012 di rumahnya di kawasan Jalan Setiabudi, Jakarta Selatan, di usia 94 tahun. Ia pantas dikenang sebagai seorang nasionalis sepanjang zaman. [Satyabudi/IH]