Moh Abduh Azis

Koran Sulindo – Sejarah perfilman di negeri sudah cukup panjang, dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1926, misalnya, seorang produser film bernama David membuat film bisu berjudul Lely van Java di Bandung. Kemudian, tyahun 1927/1928, produser Kruger Co membuat film berjudul Eulis Atjih dan selanjutnya diproduksi film berjudul Lutung Kasarung oleh produser film Carli.

Kemudian dibuat juga film Tjunt Jonat oleh Wong Brothers dan Pareh oleh South Pacifik Film Co pada tahun 1929/1930. Pada tahun 1936, di Jalan Bidara Cina 123-125-127 (sekarang Jalan Oto Iskandar Dinata 125-127, Jakarta Timur, yang menjadi kontor Perum Produksi Film Nasional, PFN), seorang Belanda bernama Albert Balink dibantu oleh Wong Brothers mendirikan sebuah studio film bernama Algemene Nederlands Indische Film (ANIF) yang bergerak membuat film film berita (newsreels) dan film cerita (feature film).

Namun, tahun 1940, ANIF jatuh bangkrut dan dijual ke NV Multi Film Harlem Holland.  Sejak itu, NV Multi Film Harlem hanya membuat film-film berita dan dokumenter. Setahun kemudian, pecah Perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik, yang membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda takluk kepada pemerintah fasis Jepang pada awal tahun 1942. Dampaknya, seluruh kekayaan yang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda diambil oleh Jepang, termasuk NV Multi Film, yang kemudian namanya diganti dengan Nippon Eiga Sha, di bawah pengawasan Sandenbu (Barisan Propaganda) Jepang yang dipimpin Kolonel Matshushida dan seorang sipil bernama S Ohya.

Nippon Eiga Sha dikepalai dengan seorang Jepang yang bernama Ishimoto dan wakilnya seorang Indonesia yang bernama RM Soetarto. Nippon Eiga Sha memproduksi  film berita, film dokumenter, film cerita, dan membuat rekaman film-film Jepang dalam bahasa Indonesia. Film-film itu kemudian diedarkan oleh Eiga Haikyu Sha .

Saat kemerdekaan Indonesia berkumandang di tahun 1945, karyawan film Indonesia yang bergabung dalam Berita Film Indonesia (BFI) yang dipimpin RM Soetarto melakukan liputan peristiwa- peristiwa sejarah, termasuk Perang Kemerdekaan, secara sembunyi sembunyi walaupun berada di bawah ancaman dan pengawasan tentara Jepang dan Nippon Eiga Sha. Peristiwa yang sangat bersejarah yang dapat diabadikan oleh BFI antara lain rapat raksasa di lapangan Ikatan Atletik Djakarta (Ikada) pada 19 September  1945. Rapat ini merupakan rapat besar pertama yang dilakukan oleh pemerintahaan Republik Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan.

Pada 6 Oktober 1945, para karyawan film yang tergabung dalam BFI melakukan tindakan cepat dan tegas mengambil alih Nippon Eiga Sha. Penyerahan Nippon Eiga Sha secara resmi diwakili oleh Ishimotto, sedangkan BFI diwaliki Soetarto serta disaksikan Menteri Penerangan Amir Syarifudin. Peristiwa ini sangat penting dan bersejarah bagi dunia perfilman Indonesia umumnya dan Perum PFN khususnya. Karena, dengan pemindahan tersebut lahirlah secara resmi BFI di bawah Kementerian Penerangan Republik Indonesia—yang merupakan cikal-bakal Perum PFN.

Setelah lahirnya BFI secara resmi, peran BFI semakin nyata. Pada 10 November 1945, misalnya, melakukan liputan sejarah penting: Pertempuran Surabaya—yang kemudian tanggalnya ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.

Bagaimana dengan kondisi Perum PFN ini sekarang? Ternyata, kondisi perusahaan pelat merah yang punya sejarah panjang ini memprihatinkan. Bahkan, sejak tahun 2000-an, PFN sudah tidak memproduksi berbagai jenis film. Padahal, pada tahun 1980-an, bendera PFN sempat berkibar-kibar lagi, dengan laboratorium perfilman yang termasuk terbesar se-Asia Tenggara. PFN juga memproduksi film propaganda Orde Baru—yang diakui banyak pihak memiliki kualitas yang bagus, terlepas dari konten sejarahnya—dan film untuk anak-anak Si Unyil yang legendaris. Ketika itu, selain laboratorium perfilman yang canggih pada masanya, PFN juga memiliki beberapa studio dan bioskop.

Kondisi PFN dalam beberapa tahun ini memang seperti hidup segan-mati tak mau. Kondisi keuangannya juga pas-pasan. Karena itu, ketika Moh Abduh Aziz diangkat menjadi Direktur Utama PFN pada 22 Juli 2016 lalu, banyak kalangan menaruh harapan besar kepada dirinya. Abduh didamba untuk membuat gebrakan yang dapat mengangkat “batang terendam” itu. Karena, Abduh memang seorang praktisi perfilman yang memiliki wawasan sejarah perfilman yang memadai. Lelaki pendiam ini adalah sejarawan lulusan Universitas Indonesia, yang memiliki pengalaman sebagai manajer produksi, produser, sutradara, dan penulis naskah beberapa film cerita dan dokumenter. Ia juga dikenal sebagai sosok yang rajin memfasilitasi lokakarya pembuatan film dokumenter untuk kalangan pelajar, mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, televisi, dan masyarakat umum di seluruh Indonesia. Abduh pun pernah menjadi Direktur Program Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Sekretaris DKJ, Ketua Pelaksana Festival Film Indonesia (FFI) 2011, dan Ketua Pengurus Koalisi Seni Indonesia.

Untuk lebih memahami kondisi mutakhir PFN, Hano Zahaban dari Koran Suluh Indonesia sempat mendatangi Abduh di kantornya barunya itu, beberapa hari setelah pelantikannya sebagai Direktur Utama PFN, Juli lalu. Berikut petikannya.

Bagaimana Anda menyikapi kondisi PFN yang memprihatikan ini?

Langkah awal yang harus saya lakukan adalah revitalisasi PFN. BUMN ini kan punya sejarah yang panjang. Tugas utama PFN adalah sebagai public relations bagi pemerintah, kalau tidak mau dikatakan sebagai alat propaganda. Kalau masa lalu perusahaan ini digunakan oleh rezim sebelumnya sebagai alat propaganda, masa kini harusnya berbeda, harus sangat smooth dan persuasif.  Yang harus diusung adalah values atau nilai-nilai, termasuk yang di dalam Nawacita. Rencananya, kami akan memanfaatkan berbagai media visual yang ada sekarang ini untuk kembali mengangkat PFN. Sekarang kan kita film bisa dinikmati melalui smartphone dan bisa juga diunggah di media sosial seperti Youtube. Saya belum merancang program-programnya karena saya baru beberapa hari di sini. Yang pasti, saya akan tetap berpegang pada fungsi utama PFN sebagai main government public relations.

Kira-kira, sepengalaman Anda selama ini, apa tantangan yang harus dihadapi terlebih dulu sebelum melaksanakan program-program kerja?

Soal koordinasi. Sekarang ini kan banyak kementerian dan lembaga juga yang mengurus soal kebudayaan, termasuk di dalamnya film. Misalnya Ditjen Kebudayaan Kemendikbud, Badan Ekonomi Kreatif, dan lembaga lain, kan juga punya wilayah kerja yang berkaitan dengan perfilman. Semuanya selama ini berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada strategi bersama. Nah, saya akan berupaya agar koordinasi terjalin dan PFN menjadi leading sebagai pembuat produk audio-visual bagi negara.

Rencana lain?

Kami ingin membuat karya yang akan menjadi tontonan wajib bagi anak-anak Indonesia. Misalnya, tahun depan kan 100 tahun Balai Pustaka. Kami ingin membuat beberapa film yang membicarakan karya-karya sastra Indonesia, sehingga anak-anak Indonesia mengetahui tentang karya sastra bangsanya. Seperti di Inggris, anak-anak dan pelajar di sana kan tahu dan paham siapa itu Shakespeare dan karya-karyanya, misalnya lakon Hamlet atau Othello. Jadi, intinya, PFN itu harus berbicara kebudayaan, karena menyangkut nilai-nilai kemanusiaan. Kita mau membangun manusia, kan? Pertanyaan selanjutnya, manusia seperti apa yang mau kita bangun? Ini menjadi penting kalian melihat fenomena yang terjadi di tengah masyarakat sekarang ini, yang penuh dengan aksi kekerasan dan jungkir baliknya nilai-nilai, sampai teroris dieluklekukan seperti pahlawan.

Harus diakui, pemerintah kalah cepat dalam menggunakan media. Kita bisa belajar dari masa lalu, zaman Pak Harto. Dia memang memakai untuk kepentingan rezimnya, namun dia sudah menggunakan satelit, Sistem Komunikasi Satelit Domestik Palapa, yang ketika itu tak banyak negara memiliki. Soeharto sudah jauh berpikiran ke depan, bagaimana dia menguasai Indonesia melalui radio dan televisi. Nah, saya akan berusaha bagaimana pemerintah melalui PFN bisa menanamkan nilai-nilai kebangsaan, keindonesian, lewat berbagai media sehingga PFN juga berkontribusi bagi pembangunan karakter bangsa. [PUR]