A.M. Fatwa

Koran Sulindo – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Andi Mappetahang Fatwa atau A.M. Fatwa , dikabarkan mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit MMC, Jakarta, pada pukul 06.25 WIB. Informasi ini didapat lewat akun Twitter aktor Afrizal Anoda,  @afrizalanoda. Ia mendapat kabar duka tersebut dari putri A.M. Fatwa, Dian Islamiati.

Pada Rabu kemarin (13/12), A.M. Fatwa masih sempat diwawancarai via telepon oleh wartawan TVOne dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi. Fatwa diwawancarai perihal anggota DPD asal Bali, Arya Wedakarna, yang dianggap oleh banyak orang sebagai dalang presekusi Ustaz Abdul Somad saat akan berceramah di Bali.

Fatwa sendiri merupakan mantan Ketua Badan Kehormatan DPD. Ia juga pernah menjadi Wakil Ketua MPR dan Wakil Ketua DPR.

Lahir di Bone, Sulawesi Selatan, pada 12 Februari 1939, Fatwa merupakan alumni Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat dan pengurus Pengurus Besar HMI, pertengahan tahun 1950-an.

Pada awal tahun 1960-an, Fatwa menjadi anggota Dewan Mahasiswa Jakarta dan mulai terlibat b erbagai demonstrasi di jalan dan sempat mengalami penahanan karena kritik dan aksinya terhadap pemerintah, tanpa menjalani persidangan. Fatwa dibebaskan setelah pergantian rezim

Namun, di masa rezim yang dipimpin Presiden Soeharto, sikap kritis Fatwa terhadap kekusaan tak surut.  “Di Orde Baru, saya mendukung, tapi lama-lama kok setelah beberapa periode, kami melihat ini sudah menyimpang dari arah semula. Maka, ya, saya menyampaikan kritik-kritik, seperti melalui khotbah Jumat, yang isinya banyak dibuat dalam bentuk buku, sehingga buku-buku saya dilarang,” katanya semasa hidupnya, sebagaimana dikutip merdeka.com.

Dia pun mengalami teror fisik, sampai mengalami gegar otak. Bahkan, saat sedang menyetir, dia pernah dibacok celurit oleh orang tidak dikenal. Orang itu ingin membunuh Fatwa, tapi bacokannya meleset dan mengenai bibir atas.

“Mandi darah saya. Kemudian, saya ke Rumah Sakit Angkatan Laut. Yang mendorong saya ke ruang operasi itu dua jenderal purnawirawan, Jenderal Ali Sadikin dan Letnan Jenderal H.N. Darsono. Itu waktu saya menjadi Sekretaris Petisi 50,” katanya.

Petisi 50 adalah kelompok diskusi, yang namanya diambil dari petisi yang ditandatangani 50 tokoh, yang berisi kritik kepada Presiden Soeharto. Petisi ini diterbitkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta sebagai sebuah “Ungkapan Keprihatinan”. Yang menandatangani petisi ini antara lain mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal A.H. Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin, mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, dan Mohammad Natsir.

Mereka menilai Presiden Soeharto telah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila. Soeharto juga menganggap setiap kritik terhadap dirinya sebagai kritik terhadap ideologi negara Pancasila. Soeharto menggunakan Pancasila “sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya”.

Fatwa memang pernah menjadi “anak buah” Ali Sadikin. Pada tahun 1970-1979, Fatwa menjadi Kepala Sub Direktorat Pembinaan Masyarakat Direktorat Politik Pemda DKI Jakarta/Staf Khusus Gubernur Ali Sadikin untuk masalah-masalah agama dan politik. Namun, karena kritik dan aktivitas politiknya, Fatwa diberhentikan dengan tidak hormat pada 1979.

Pada tahun 1984, Fatwa ditangkap. Ia dituding membuat “Lembaran Putih” untuk Tragedi Tanjungpriok. Dia diadili dan jaksa menuntut hukuman seumur hidup. Namun, hakim memvonis Fatwa dengan hukuman 18 tahun penjara.

A.M. Fatwa saat menjalani sidang di masa rezim Soeharto, tak mampu berjalan karena mengalami siksaan.
A.M. Fatwa saat menjalani sidang di masa rezim Soeharto, tak mampu berjalan karena mengalami siksaan.

Selama di penjara, ia mengalami penyiksaan. Bahkan, Fatwa mengatakan, dirinya pernah dikurung dalam sebuah sel dan berdiri di atas sebuah kaca yang di sekelilingnya berisi kotoran manusia. Lalu, sekitar pukul 03.00 dini hari, dengan mata ditutup kain hitam, dia dibawa dengan mobil jip. Sepanjang perjalanan, kepalanya ditodong pistol dan badannya ditodong sangkur. “Disuruh turun di suatu tempat, katanya mau ditembak. Waktu itu ramai petrus [penembakan misterius]. Orang yang menangkap saya bilang, ‘Kamu akan dipetrus dan dikarungi. Apa pesan-pesan untuk keluarga?’ Saya diam saja. Tidak jadi ditembak,” kata Fatwa.

Ternyata, ia dibawa ke suatu tempat yang dia tidak tahu lokasinya karena sepanjang perjalanan matanya ditutup. Sebulan lamanya dia tidak tahu berada di mana. “Saat pemeriksaan oleh jaksa, saya baru tahu tempat itu di Cimanggis. Sekarang jadi rumah tahanan militer. Dulu tempat itu luas sekali dan masih hutan dan alang-alang,” ujarnya.

Selamat jalan, Pejuang! [PUR]