Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu Hemas [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Kubu GKR Hemas mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk membatalkan pelantikan pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang baru. Terlebih, ia merasa tidak pernah mengundurkan diri dari jabatan pimpinan DPD.

Karena itu, ia mengaku heran dengan sikap Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial Suwardi yang melantik Oesman Sapta Odang, Nono Sampono dan Darmayanti sebagai pimpinan DPD yang baru. Ia karenanya berharap betul ada penjelasan dari Suwardi soal itu.

Hemas menilai, tindakan Suwardi itu justru bertentangan dengan putusan MA. Apa yang dilakukannya saat ini bukan semata-mata mempertahankan kekuasaan, tapi karena mengingatkan agar politik tunduk pada hukum. Ia karena itu meminta Suwardi untuk menjelaskan perihal tersebut ke publik dalam waktu 1×24 jam.

Pemilihan pimpinan DPD beberapa waktu lalu sempat ricuh karena perbedaan pandangan di antara anggota mengenai masa jabatan pimpinan. Berdasarkan tata tertib yang kemudian dibatalkan MA, masa jabatan pimpinan hanya 2,5 tahun. Setelah dibatalkan MA, masa jabatan pimpinan disesuaikan dengan masa jabatan anggota DPD yakni lima tahun.

Kendati demikian, sebagian anggota DPD tetap beranggapan tata tertib yang telah dibatalkan itu tetap berlaku. Itu sebabnya mereka mendesak dilakukannya pemilihan pimpinan yang baru. Alhasil, desakan orang-orang ini berhasil mendudukkan Oesman, Nono dan Darmayanti.

Situasi yang terjadi di DPD, menurut Hemas, menjadi penting untuk diperhatikan terutama soal penegakan hukum. Dinamika yang terjadi menggambarkan rasionalitas dan tindakan yang tidak masuk akal secara politik serta hukum. Dan pelantikan pimpinan DPD yang baru menjadi bagian dari gambaran yang tidak masuk akal secara politik serta hukum.

KY Teliti Putusan MA
Secara terpisah, Komisi Yudisial (KY) akan meneliti kesalahan penulisan putusan MA soal masa jabatan pimpinan DPD. Kesalahan itu akan dinilai apakah melanggar etika atau hanya ketidakcermatan.

Ketua KY Aidul Fitriciada menuturkan, pihaknya akan melihat apakah kesalahan penulisan tersebut terletak pada hakim atau panitera. Dalam putusannya, MA menuliskan “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” bukan “Dewan Perwakilan Daerah” dan “Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017” tetapi “Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017”.

Meski menjadi persoalan serius, Aidul menyebutkan, kesalahan penulisan bukan sesuatu yang baru dalam dunia peradilan. Dan itu sama sekali tidak memengaruhi putusan MA. Itu tidak hanya terjadi di MA, tapi juga pengadilan tingkat bawah.

Ia berjanji lembaganya tetap akan meneliti dugaan pelanggaran kode etik dalam putusan MA tentang masa jabatan pimpinan DPD. Namun, perkaranya tetap menjadi kewenangan MA. [KRG]