Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai (kanan)/lpsk.go.id

Koran Sulindo – Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan aturan pemerintah yang memperberat hukuman para pelaku kejahatan seksual anak belum dilaksanakan.

“Aturan sudah ada tapi belum tahu bisa dilaksanakan atau tidak. Karena sampai saat ini masih ada pro dan kontra, baik dari dokter yang diminta melakukan kebiri bagi predator anak, maupun penolakan dari para aktivis hak asasi manusia,” kata Semendawai, dalam sebuah seminar LPSK, di Jambi, Selasa (4/4), seperti dikutip lpsk.go.id.

Aturan untuk memperberat hukuman bagi predator anak dituangkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penambahan hukuman antara lain pemberatan sanksi pidana, pengumuman identitas pelaku, ditambah ancaman hukum tambahan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik untuk pelaku dewasa.

Sementara itu Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani menyoroti angka kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke polisi terus meningkat. Sebelumnya kasus yang mendominasi laporan di Polri adalah pencurian dengan pemberatan maupun pencurian dengan kekerasan. Namun belakangan kasus kekerasan seksual anak mencuat.

“Angka korban kekerasan tinggi, tapi masih ada “dark number” yang belum terungkap,” kata Lies.

Ancaman Nyata

LPSK melihat kekerasan seksual terhadap anak sebagai ancaman yang nyata, terutama terungkapnya beberapa kasus kekerasan seksual terhadap anak dimana korban maupun pelakunya cukup masif.

“Ini yang terungkap, tentunya jumlah korban dan pelaku pada kasus tersebut sangat mungkin bertambah,” kata Semendawai, 29 Maret lalu.

Misalnya, penangkapan grup Facebook Official Lolys Candy 18++; atau korban pencabulan pemulung di Karanganyar dengan korban 17 anak; atau penculikan dan pemerkosaan seorang siswi oleh 13 sopir angkot di Samarinda.

“Melihat masifnya korban maupun pelaku, perlu ada langkah yang tepat agar kecenderungan kekerasan seksual terhadap anak tidak semakin meningkat,” katanya.

Triwulan pertama 2017 LPSK menerima 6 permohonan perlindungan kekerasan seksual terhadap anak. Dari jumlah tersebut 5 pemohon dikabulkan permohonannya, yaitu kasus di Sumatera Utara. Sementara 1 permohonan dari Sidoarjo ditolak karena tidak memenuhi unsur materiil.

“Jumlah ini sangat mungkin bertambah dari pemohon kasus pencabulan Karanganyar yang sedang kami jemput bola permohonannya,” kata Semendawai.

Kekerasan Seksual terhadap Anak merupakan tindak pidana yang korbannya mendapat prioritas perlindungan LPSK, sesuai amanat UU Perlindungan Saksi dan Korban. UU tersebut mengamanatkan pemberian layanan kepada korban kekerasan seksual, diantaranya rehabilitasi medis, psikologis, psikososial, fasilitasi restitusi, dan pemberian keterangan secara terpisah.

Dalam layanannya LPSK bekerja sama dengan instansi dan lembaga lain. Seperti dengan Dinas Kesehatan setempat, IDI, HIMPSI, dan institusi lain yang sesuai dengan layanan yang dibutuhkan korban. Sementara terkait perlindungan LPSK seringkali bekerjasama dengan KPAI, Komnas Anak, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) setempat, dan penegak hukum yang menjadi pihak-pihak terdepan yang bersentuhan dengan korban.

“Kerja sama-kerja sama antara unsur-unsur ini penting untuk mengimbangi modus pelaku yang semakin berkembang dan dampak dari perbuatan pelaku yang mendalam,” kata Semendawai. [DAS]