Koran Sulindo – Selama ini Indonesia masih fokus dalam meningkatkan layanan kesehatan sekunder (rumah sakit), sedangkan pada layanan kesehatan primer masih jauh tertinggal. Akibatnya, masih banyak masyarakat yang berobat ke rumah sakit, dan imbasnya banyak menghabiskan anggaran kesehatan nasional.
Hal ini diungkapkan Sekretaris Pokja Nasional Dokter Layanan Primer, dr. Mora Claramita, MPHE., Ph.D., dalam Seminar Internasional Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia di Hotel Tentrem, Yogya, Senin (3/4)
“Kalau di dunia internasional rata-rata angka rujukan layanan sekunder hanya 5-10 persen, sedangkan Indonesia rujukan lebih dari 80 persen,” tutur Mora.
Tingginya rujukan itu, menurut Mora, dikarenakan kurangnya akses kesehatan akibat kondisi geografis Indonesia. Selain itu, persoalan minimnya fasilitas kesehatan, kompetensi dokter dan tenaga kesehatan di layanan primer, serta kualitas penyedia layanan kesehatan.
“Karenanya fasilitas kesehatan di layanan primer seperti puskesmas, klinik dokter mandiri, dan klinik pratama harus ditingkatkan, tidak hanya dokter tapi juga tenaga kesehatan lain. Tidak lupa juga kerja sama kolaboratif,” kata Mora.
Sementara itu Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek yang menjadi keynote speaker menegaskan, untuk memperkuat pelayanan kesehatan primer maka diperlukan pembentukan Dokter Layanan Primer (DLP). Diingatkan, pendidikan DLP telah dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Prodi ini dibentuk untuk mempersiapkan pendidikan lanjutan yang sesuai bagi dokter yang bekerja di layanan primer. Rencananya, lama pendidikan DLP di Indonesia berkisar 2 tahun.
“Dokter yang telah lama praktek 5-10 tahun, pembelajaran masa lampu juga dihitung. Sehingga akan menjalani studi 6 bulan saja karena sudah berpengalaman dan hanya akan menilai kompetensinya menjadi DLP,” ujarnya.
Moeloek menambahkan, pendidikan DPL ini selain untuk meningkatkan kompetensi dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama, juga untuk memperbaiki layanan kesehatan masyarakat di layanan primer, dan mengurangi jumlah rujukan ke rumah sakit. Dengan kata lain, dokter di layanan ini diharapkan dapat menangani pasien sehingga tidak perlu memberikan rujukan ke rumah sakit maupun dokter spesialis.
“Misalnya sakit mata atau belekan tidak harus ke dokter mata, bisa diobati di dokter layanan primer atau puskesmas. Kalau bisa menahan rujukan, sistem rujukan harus ditegakkan untuk JKN,” kata Moeloek. [YUK]