Koran Sulindo – SEBUT saja namanya Isman, seorang pengusaha properti di Balikpapan Selatan, Kalimantan Timur. Ia kini sedang pusing tujuh keliling, karena sedang diburu penagih utang, yang disuruh pemilik lahan dan bank tempatnya mengajukan kredit. Situasi ini membuat Isman benar-benar panik dan melakukan berbagai cara untuk lepas dari persoalan itu.
Apa yang dialami Isman merupakan dampak dari lesunya penjualan properti yang hampir terjadi di seluruh penjuru negeri. Itu yang terjadi di Kalimantan Timur terutama di Balikpapan. Kondisi itu akibatnya anjloknya harga komoditas dunia termasuk batu bara yang kemudian memengaruhi penjualan properti.
Sesungguhnya keluhan ini tidak hanya dialami Isman, tapi juga seluruh pengusaha properti. Padahal, sebagian besar modal dari pengusaha bersumber dari pinjaman baik dari bank maupun kredit informal. Untuk menjalankan bisnis properti, pengusaha seperti Isman harus terlebih dulu mengeluarkan uang yang tidak sedikit dari koceknya seperti meratakan lahan dan mengurus izin. Jumlahnya: ratusan juta rupiah.
Isman menuturkan, pihaknya tidak pernah menyangka penjualan rumah akan sepi karena anjloknya harga komoditas seperti batu bara sejak akhir tahun lalu. Sementara, ia harus segera melunasi biaya pembelian lahan yang dijanjikan enam bulan setelah pembayaran tahap pertama yang jatuh tempo pada awal 2016. Perhitungan bisnis Isman meleset. Penjualan rumah sepi, pembayaran lahan tak bisa dipenuhi.
Ia tidak punya uang untuk melunasi biaya pembelian lahan. Bahkan pada bulan Ramadhan tahun lalu, rumahnya pernah didatangi preman, orang suruhan pemilik lahan untuk menagih pembayaran. Ia panik dan stres. Untuk mengakalinya, ia kemudian berpura-pura gila. Kepadanya istrinya ia berpesan dan mengatakan “Kalau ada orang yang mencari katakan sedang berobat ke dokter kejiwaan,” kata Isman seperti dikutip tribunnews.com akhir tahun lalu.
Untuk sementara waktu strategi Isman mujarab. Ia akan tetapi tidak mau berlama-lama demikian. Selepas Lebaran tahun lalu ia memberanikan diri menemui pemilik lahan dan mengakui bahwa keadaannya sedang seret karena sepinya penjualan rumah. Gayung bersambut. Pemilik lahan memahami kondisi Isman. Mereka lalu membuat kesepakatan bersama untuk mengelola lahan.
Situasi itu tidak hanya dialami pengusaha properti. Kontraktor di bidang infrastruktur juga mengalama hal serupa. Pembayaran proyek disebut acap mengalami keterlambatan. Situasi ini kemudian memicu peningkatan kredit macet (non-performing loan atau NPL) terutama di sektor konstruksi.
Catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan sebanyak 22 bank swasta memiliki rasio kredit bermasalah atau NPL di atas lima persen secara gross pada Januari 2017. OJK karena itu meminta bank-bank tersebut meningkatkan biaya pencadangan untuk mencegah risiko. OJK melaporkan data tersebut kepada Komisi XI DPR pada 30 Maret lalu.
Bank berkategori Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU II) paling banyak memiliki rapor NPL merah di atas lima persen, yakni 11 bank. Bank kategori BUKU III sebanyak enam bank, dan bank BUKU I sebanyak lima bank.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon mengatakan, 22 bank tersebut sudah diminta untuk meningkatkan pengawasan dan aspek kehati-hatian. Ia karena itu yakin dalam beberapa bulan ke depan, NPL 22 bank tersebut akan menyusut. Lagipula, secara nett, NPL 22 bank swasta tersebut di bawah lima persen.
“Kalau menurut peraturan kami itu, yang membatasi itu dari NPL nett-nya jangan sampai melebihi lima persen,” kata Nelson, seperti dikutip antaranews.com pada akhir bulan Maret 2017.
Catatan Kredit Macet OJK
Menurut Nelson, membengkaknya NPL pada awal tahun ini lebih karena masih lesunya perekonomian dalam negeri. NPL 22 bank tersebut sangat dipengaruhi penurunan kualitas kredit dari sektor industri pengolahan dan perdagangan besar. NPL secara gross itu disebabkan karena masalah makro. Bank semestinya mampu mengendalikan NPL secara nett.
NPL gross merupakan rasio kredit bermasalah yang dihitung dari total kredit sebelum dikurangi nilai Penghapusan Penyisihan Aktiva Produktif (PPAP) bank. Sedangkan NPL nett, rasio kredit bermasalah dari perhitungan total kredit yang sudah dikurangi PPAP.
OJK memberi empat instruksi kepada 22 bank tersebut. Pertama, agar mereka mengurangi ketergantungan terhadap debitur inti. Kedua, bank harus menambah setoran modal untuk mengantisipasi penurunan CAR karena buruknya kualitas kredit. Ketiga, bank tersebut harus melakukan uji tekanan tentang kecukupan modal dan rentabilitas bank setelah ditambahkannya biaya Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Keempat, bank diminta memperbaiki infrastruktur perkreditan.
Secara umum, kredit bermasalah perbankan di Indonesia sudah mencapai level tiga persen. Hal itu menyebabkan ruang pembiayaan perbankan semakin sempit. Fakta itu sudah terjadi sejak akhir tahun lalu. Jika dibandingkan 2015, NPL masih berada di level 2,2 persen. Kemudian, pada 2016, NPL meningkat menjadi 2,98 persen. Naiknya kredit macet ini memaksa bank untuk menambah pencadangan. Itu sebabnya, laba bank menjadi tergerus. Bank Mandiri, misalnya, labanya menyusut hingga 30 persen. Sedangkan Bank Permata Tbk, menanggung kerugian hingga Rp 6 triliun.
Soal peningkatan NPK sejak tahun lalu, OJK pernah menerbitkan Statistik Perbankan Indonesia pada November 2016 dengan memerinci total nilai kredit bermasalah yang disalurkan ke pihak terkait senilai Rp 791 miliar. Kendati secara angka masih relatif kecil dibandingkan dengan nilai kredit lancar yang mencapai Rp 49,30 triliun, pertumbuhan kredit macet naik sebesar 185,55 persen dibanding dengan akhir 2015 senilai Rp 277 miliar (year to date/ytd).
Soal peningkatan NPL ini, tim eknomi Bank Mandiri sudah memnperkirakan sebelumnya. Mereka meyakini tekanan NPL pada 2017 akan tetap tinggi. Ia akan tetapi menilai pencadangan permodalan industri perbankan masih cukup untuk mengantisipasi risiko krisis pada bank. Tim ekonomi Bank Mandiri memperkirakan NPL tidak akan melebihi 3,5 persen pada 2017.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan mengatakan, perbankan masih mewaspadai penyaluran kredit ke sektor pertambangan dan juga transportasi. Belajar dari tahun lalu, penurunan kualitas kredit banyak terjadi untuk sektor perdagangan, pertambangan dan juga transportasi. Data Bank Indonesia membenarkan hal tersebut. NPL untuk perdagangan dan transportasi melebihi empat persen. Sedangkan NPL sektor pertambangan di level tiga persen.
Risiko kredit macet merupakan risiko paling besar di industry perbankan. Survei yang dilakukan PricewaterhouseCoopers terhadap industri perbankan Indonesia pada tahun ini mencatat, NPL masih menjadi kekhawatiran utama para bankir. Sebanyak 94 persen bankir yakin NPL masuk tiga tantangan tertinggi tahun ini. Sensivitas terhadap risiko kredit berada pada tingkat tertinggi sejak survei yang dilakukan sejak 2010.
Menanggapi situasi ini, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad akhir tahun lalu menilai harus ada alternatif pembiayaan lain. Dari pasar modal ruang yang tersedia sekitar Rp 250 triliun. Ruang lainnya adalah dari dana pensiun dan asuransi. Penggunaan dana pensiun di Indonesia disebut belum maksimal terutama untuk keperluan investasi jangka panjang.
Untuk itu, OJK telah menyiapkan aturan agar ruang tersebut dapat dioptimalkan. Namun, memang perlu ada sosialisasi lebih lanjut kepada pemegang dana tersebut, agar paham akan risiko dari penempatan dana yang dilakukan. Dengan demikian penempatan dana untuk investasi tidak sembarangan. [Kristian Ginting]