Koran Sulindo – Ternyata, tindakan sok kuasa oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia masih saja terjadi. Kali ini, yang lag-lagi menjadi korbannya adalah seorang wartawan. Nama korbannya Yudi Indrawan dari Trans Lampung. Pelakunya: anggota Kepolisian Resor Pesawaran, Lampung.

Yudi ditangkap oleh polisi saat sedang menjalankan tuas, meliput proses penangkapan tersangka pelaku perusakan Markas Polsek Tegineneng, Jumat pagi (17/3). Sebelumnya, seorang perempuan polisi meminta Yudi menunjukkan kartu identitas kewartawanannya. Ketika ditunjukkan, perempuna polisi itu malah mengambil kartu tersebut dan memberikan ke rekawan sejawatnya.

Tidak sampai di sana, polisi juga meminta Yudi menyerahkan telepon genggamnya. Yudi juga dipaksa naik ke mobil polisi dan untuk selanjutnya digelandang ke Mapolsek Tegineneng.

Padahal, sebagai wartawan yang sedang menjalankan tugasnya, Yudi dilindungi oleh Undang-Undang Pers Tahun 1999. Itu sebabnya, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia-Lampung, Supriyadi Alfian, meminta pihak Polres Pesawaran memberikan klarifikasi atas penangkapan Yudi.

Hal senada juga dinyatakan oleh Ketua Aliansi Jurnalis Independen Lampung, Fadli Ramdan. “Wartawan dilindungi Undang-Undang Pers. Seharusnya polisi tidak melakukan tindakan pelarangan terhadap wartawan yang sedang melakukan peliputan, apalagi sampai mengambil barang-barang alat kerja wartawan,” katanya. Kalau di lokasi kejadian itu ada perwira polisi, lanjutnya, seharusnya perwira itu memberikan arahan kepada bawahannya, bukan malah ikut menghalangi kerja wartawan.

Kalau ditelusuri ke belakang, kejadian polisi melakukan tindakan semena-mena semacam itu sudah banyak sekali. Korbannya bukan hanya wartawan, tapi juga anggota masyarakat lainnya. Bahkan, sering pula terjadi konflik antara anggota Polri dan anggota TNI.

Tampaknya, salah cara agar perilaku anggota kepolisian lebih terkontrol dan benar-benar maksimun menjadi pelindung masyarakat adalah menempatkan Kepolisian Republik Indonesia di bawah Kementerian Dalam Negeri. Wacana ini sempat mengemuka beberapa tahun lalu.

Presiden Ketiga Republik Indonesia, B.J. Habibie, misalnya, pernah menyarankan hal tersebut pada tahun 2013 lalu. Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Sohibul Iman, sewaktu menjadi Wakil Ketua DPR juga berpandangan yang sama dengan Habibie.

Begitu pula dengan guru besar sosiologi agama di Universitas Islam Negeri Jakarta, Azyumardi Azra. “Menurut saya, Polri harus ditempatkan di bawah Menteri Dalam Negeri,” kata Azyumardi, 10 Maret 2013, seperti dikutip banyak media. Polri di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri, tambahnya, diharapkan fokus pada penegakan hukum di daerah masing-masing.

Tahun 2014 lalu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga mengatakan, kepolisian di seluruh dunia berada di bawah kementerian. Namun, dia menyatakan, dirinya tidak punya kewenangan untuk menilai kementerian apa yang cocok membawahi Polri. Polri yang di bawah presiden seperti sekarang akan cukup merepotkan presiden. “Presiden itu repot, lo, banyak urusannya. Tidak bisa presiden sekarang urusin polisi, repot dia,” kata Ryamizard. [PUR]