Koran Sulindo – Program pengampunan pajak atau tax amnesty akan berakhir pada 31 Maret 2017. Sampai 8 Maret 2017 ada lebih dari 700 ribu wajib pajak yang berpartisipasi, dengan Rp 4.463 triliun harta dideklarasikan dan uang tebusan yang diraih mencapai Rp 105 triliun. Sementara itu, komposisi pulangnya dana warga Indonesia di luar negeri melalui tax amnesty (repatriasi) baru mencapai sekitar Rp 145 triliun. Padahal, target tax amnesty sebesar Rp 165 triliun dan target repatriasi sebesar Rp 1.000 triliun.

“Ancaman” pun sudah disiapkan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan bagi wajib pajak yang tak mengikuti program tax amnesty sampai 31 Maret mendatang. “Pasal 18 [Undang-Undang Pengampunan Pajak] akan diterapkan secara konsisten. Kami sedang persiapkan regulasi, sumber daya manusia, penghimpunan data juga jalan terus,” ungkap Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama, pada sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (8/3).

Regulasi untuk menjalankan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11/ 2016 tersebut sedang dikonsepkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), yang akan memberi kepastian jika ada harta yang belum diamnestikan. Ditjen Pajak akan membuat prosedurnya seringkas mungkin. Artinya, account representative (AR) atau yang mengawasi wajib pajak akan langsung menetapkan surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB). “Kami tidak perlu pemeriksaan menyeluruh all taxes. Tapi, dari harta itu saja langsung ditetapkan nilainya berapa dan pajak yang harus dibayarkan berdasarkan pasal 18 itu berapa, sehingga lebih efisien,” tutur Hestu.

Pasal 18 Undang-Undang Pengampunan Pajak berisi ketentuan mengenai perlakuan atas harta yang belum atau kurang diungkap dalam SPT laporan pajak. Wajib pajak yang menolak membereskan catatan perpajakan masa lalu dengan mengikuti program pengampunan pajak akan menghadapi risiko pengenaan pajak dengan tarif hingga 30% serta akan dikenakan sanksi atas harta yang tidak diungkapkan dan kemudian ditemukan.

“Pasal 18 itu merupakan wujud keadilan bagi wajib pajak yang patuh dan telah mengikuti program amnesti pajak,” ujar Hestu.

Bagi mereka yang telah mengikuti program pengampunan pajak, Ditjen Pajak berkomitmen membina, mengawasi, dan mengingatkan komitmen para wajib pajak itu. “Setelah mendapat pengampunan, kami mengingatkan komitmen mereka untuk menjadi wajib pajak yang patuh,” tutur Hestu.

Ditjen Pajak, tambahnya, akan mengupayakan pembinaan kepatuhan pajak secara terus-menerus kepada wajib pajak yang telah ikut program pengampunan pajak dan mendeklarasikan hartanya. “Mereka tidak akan diperiksa karena mereka bukan sasaran penegakan hukum [setelah amnesti pajak], tapi lebih pada konteks pembinaan dan pengawasan bahwa mereka kemudian lapor pajaknya benar,” katanya.

Dijelaskan Hestu, implementasi sistem perpajakan membutuhkan interaksi dari dua pihak, yaitu pemerintah dan masyarakat. “Pemerintah untuk membina dan menyederhanakan regulasi, sementara masyarakat harus ada kemauan dan kesadaran,” tuturnya.

Dalam kesempatan itu, Hestu juga mengungkapkan mengenai pentingnya peran konsultan pajak untuk membina wajib pajak. Ia menyayangkan masih sedikitnya jumlah konsultan pajak di Indonesia, yakni kurang-lebih 4.000 orang. Padahal, di Jepang, ia mencontohkan, ada sekitar 40 ribu konsultan pajak dengan jumlah total populasi 127 juta jiwa. “Asosiasi-asosiasi pengusaha juga perlu ikut bertanggung jawab membina anggotanya untuk taat pajak dan kami sangat terbuka kepada asosiasi yang datang ke kami untuk belajar pajak,” ujar Hestu.

Soal ipar Jokowi dan kasus pajak….