Koran Sulindo – Presiden Joko Widodo mengatakan masalah yang terjadi antara Republik Indonesia dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) adalah urusan bisnis. Presiden Jokowi mengharapkan urusan bisnis antara kedua pihak dapat diselesaikan dengan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.
“Kita ingin ini dicarikan solusi menang-menang. Kita ingin itu, karena ini urusan bisnis,” kata Presiden, di Gedung Olahraga POPKI, Cibubur, Jakarta Timur, Kamis (23/2).
Pemerintah Indonesia sesungguhnya telah berupaya memberi kemudahan-kemudahan pada PTFI menjalankan bisnisnya di sini.
“Tetapi kalau memang sulit diajak musyawarah dan sulit kita ajak berunding, ya kita nanti akan bersikap,” kata Jokowi.
Pemerintah sudah memberikan izin kepada PT. Freeport untuk menjadi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan mengikuti ketentuan sebagaimana diatur Undang-Undang. Namun PT Freeport Indonesia bersikukuh pada Kontrak Karya yang sudah berlaku sejak 1967.
Perusahaan induk PTFI, Freeport-McMoran Inc., berniat menempuh jalur peradilan internasional (arbitrase).
Jonan
Pada Sabtu (18/2) lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignatius Jonan, mengatakan PTFI menolak perubahan dari KK menjadi IUPK, dan menuntut KK tetap berlaku.
PTFI telah mengajukan rekomendasi ekspor melalui surat No 571/OPD/II/3017 tanggal 16 Februari 2017 dengan menyertakan pernyataan komitmen membangun smelter. Sesuai IUPK yang telah diterbitkan, Dirjen Minerba menerbitkan rekomendasi ekspor untuk PTFI No 352/30/DJB/2017 pada 17 Februari 2017.
Menurut informasi yang beredar, kata Jonan, PTFI juga menolak rekomendasi ekspor tersebut.
“Saya berharap kabar tersebut tidak benar karena Pemerintah mendorong PTFI agar tetap melanjutkan usahanya dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi, termasuk perpanjangan izin, yang akan dikoordinasi oleh Ditjen Minerba dan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu serta BKPM,” kata Jonan, melalui rilis media.
Menurut Jonan, soal wacana PTFI membawa persoalan ini ke arbitrase, itu adalah langkah hukum yang menjadi hak siapa pun. Namun Pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum, karena apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan.
“Namun itu langkah yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan Pemerintah. Korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga, dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata,” kata Jonan.
Freeport Menolak
Sebelum pernyataan Jonan itu, pada Jumat (16/2) Kementerian ESDM memberikan izin Freeport mengekspor konsentrat tembaga sebanyak 1,1 juta ton. Izin itu berlaku 1 tahun.
Namun izin itu baru berlaku jika Freeport menerima perubahan dari Kontrak Karya menjadi IUPK sesuai amanat UU Minerba yang mulai berlaku Januari 2017 lalu.
“Freeport hanya setuju pada izin ekspor itu jika tetap memakai sistem keuangan dan perlindungan hukum yang sekarang ini berlaku,” kata Eric Kinneber, juru bicara perusahaan tambang yang berpusat di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat itu.
Sejak 12 Januari 2017 izin ekspor konsentrat tembaga Freeport dibekukan Indonesia, saham Freeport sempat jatuh sekitar 1 persen menjadi $14.91.
Pada Jumat pekan lalu ketika izin diberikan dan Freeport menolak, saham Freeport turun 5 persen lagi. [setneg.go.id/esdm.go.id/Reuters/DAS]